2 jari kananku 2 jari kiriku digabung jadi 4 jadilah kamera cekrek
Aku menulis untuk menjernihkan pikiran, untuk menemukan apa yang kupikir dan rasakan - V.S Pritchett
"Hp terus kamu ya? Kayak dapat duit aja."
Bapak Sayang yang kerjanya serabutan itu berkomentar pedas. Di hari libur ini, Sayang sedang di rumah orang tuanya di desa. Rumah petak yang ditempati oleh para guru, rumah ini terletak tepat di belakang sekolah tempat ibu Sayang mengajar. Ibu Sayang adalah guru honorer yang puluhan tahun mengabdi tapi tidak juga diangkat menjadi PNS.
Sayang mencoba tersenyum menjelaskan apa yang ia lakukan. "Ini aku lagi nulis cerita, Pak. Siapa tau nanti bisa diterbitin terus buku aku bisa masuk toko buku."
"Halah, ngayal aja sana kamu kuat-kuat," tandas Bapak dengan nada meremehkan.
"Iya, jangan buang-buang waktu. Belajar yang bener, nanti bantuin Mbak Kasih sekolahin adik-adik kamu," tambah Asmara, ibu Sayang sebelum masuk dapur.
Sayang menghela napas. Seolah ada benda berat yang membebani bahunya. Apa impiannya cerita yang ia tulis dapat terbit dan masuk toko buku itu memang mustahil untuk dicapai? Apakah dia bahkan tidak berhak untuk menginginkannya?
Bapak dan Ibu nggak tau Sayang sedang semangat-semangatnya menuangkan imajinasinya di sela kegiatannya sekolah dan bekerja sana-sini agar meringankan beban Mbak Kasih walau hanya sedikit. Terkadang Sayang mengunjungi Perpustakaan Kota untuk menumpang jaringan WiFi gratis.
Sayang sadar tidak semua orang mendukung hobinya menjadi penulis seperti halnya Mbak Kasih. Padahal Sayang nggak minta apa-apa. Sayang hanya ingin sesuatu yang disukainya juga dihargai oleh orang-orang terdekatnya. Tapi bapak dan ibu sepertinya tidak akan pernah mengerti.
"Motor matic bapak yang bawa," ujar Tomo, bapak Sayang mengambil kunci motor dan memasang jualannya yang berisikan mainan anak-anak.
Asmara yang baru saja keluar dari kamar mandi naik pitam melihat motor itu dibawa suaminya.
"Dasar kurang ajar bapak kalian itu! Ibu udah servis motor itu, udah kuisi bensinnya. Enak banget dia tinggal bawa! Pas rusak kemarin mana ada mau bawa ke bengkel!" omel Asmara meledak-ledak.
Asmara menyisir dan mencepol rambutnya sembarang. "Ibu ke pasar dulu. Kalian bersihkan rumah. Kalau ada barang kalian yang masih berantakan jangan salahin ibu kalau langsung ibu buang!"
Sayang kemudian membantu ibunya untuk menyalakan motor bebek tua itu. Sayang berusaha keras menaikkan standar tengah motor. Kemudian ibu dan Sayang bergantian menginjak starter kaki kuat-kuat beberapa kali sampai motor itu akhirnya bisa menyala.
"Kamu suruh adik-adik bersihin rumah," titah ibu.
"Iya, Bu. Hati-hati...."
Sayang lalu masuk rumah sambil menghapus peluh. Ia duduk sejenak berselonjor menyalakan kipas angin yang rangka depannya sudah copot itu. Lelah sekali rasanya. Energinya seolah terkuras hanya untuk menghidupkan motor. Sedangkan Cinta dan Rindu sudah mulai berbenah.
"Cinta ... Rindu ... kalian lipet baju kalian sama bersihin kamar ya. Biar Mbak masak sama cuci piring. Nanti kita sapu sama pel sama-sama."
"Iya, Mbak Sayang."
Daripada sakit hati memikirkan bapak dan ibu, Sayang mengalihkan pikirannya ke hal yang indah-indah. Ia tersenyum-senyum sendiri membayangkan adegan manis yang akan ia tulis nanti. Sementara itu, tangannya bergerak aktif mencuci tumpukan piring kotor.
Sehabis mencuci piring, Sayang memasak nasi. Kemudian ia dan adik-adiknya, Cinta dan Rindu gotong royong membenahi rumah dan menyisihkan benda-benda yang tak terpakai. Rumah mereka sudah sangat kecil, tak ada tempat untuk barang tak berguna. Cinta duduk di bangku kelas 3 SD sementara Rindu kelas 5 SD.
Selesai berbenah, Sayang akhirnya merebahkan tubuhnya yang terasa sangat amat pegal. Sayang pun meraih ponsel dan menuliskan idenya di memo ponselnya. Ide itu harus ditangkap dan diabadikan agar tidak terlupakan. Tiba-tiba horden kamar ditarik dan membuat Sayang tergeragap.
"Sayang, ayo bantu ibu. Jangan main hp terus kamu," ujar Asmara yang baru pulang menenteng kresek belanjaan.
Sayang lantas meletakkan hpnya di atas lemari. Sayang menghela napas dan berjalan ke dapur. Sementara ibunya berganti baju, Sayang mengupas singkong. Sementara Cinta dan Rindu mengupas bawang.
"Mbak Sayang kasih hadiah apa? Aku ranking satu lagi lho, Mbak," ujar Cinta.
"Cinta mau apa?" tanya Sayang lembut.
"Aku mau ikut Mbak Kasih sama Mbak Sayang aja. Biar nggak denger bapak sama ibu berantem," kata Cinta pelan.
"Aku juga mau ikut," timpal Rindu merengek.
Sayang tersenyum menahan sedih. Tahu hal itu tak mungkin diwujudkan untuk saat ini. Karena selain adiknya harus bersekolah, meninggalkan rumah ini bukan hal yang mudah. Terlebih dari faktor ekonomi. "Semoga kita nanti punya rumah sendiri ya."
"Aamiin," koor adik-adiknya.
"Mbak Kasih kapan ke sini?" tanya Rindu.
"Sore, mungkin."
Cinta mengedipkan matanya yang terasa perih mengupas bawang. "Terus Mbak Kasih sama Mbak Sayang balik hari ini juga?"
"Mungkin besok shubuh..." jawab Sayang.
"Yah...." keluh Cinta dan Rindu bersamaan.
Memang, tinggal di kos bersama Mbak Kasih bagi Sayang merupakan sebuah keuntungan. Walau ia harus bekerja dan mengurus diri sendiri dalam berbagai hal, juga tidak bisa merasakan enaknya masakan ibu.
Namun, Sayang hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Tidak mendengar keluhan ibu tentang bapak atau membantu ibu berjualan. Juga mendapati perdebatan orang tuanya. Sayang menatap adiknya dengan perasaan bersalah.
Tak dapat dipungkiri Sayang memendam rasa tidak nyamannya atas perkataan ibu yang menuduhnya main hp terus. Padahal ia seolah baru saja bisa bernapas setelah melakukan berbagai macam hal di rumah ini. Mengusir perasaan itu, Sayang memilih memikirkan alur ceritanya. Imajinasinya yang indah.
Gerakan Sayang dalam mengupas singkong seketika terhenti saat bapak datang membawa dagangan mainan anak-anak sederhana yang kelihatannya tak laku banyak. Tampak dari raut wajah bapak yang masam. Sayang menegang saat ibunya keluar dari kamar dan bertemu bapak.
"Bajuku belum kau cucikan?" tanya Tomo emosi. Bajunya masih terendam di dalam baskom di kamar mandi.
Asmara mengabaikan dan duduk di samping Sayang untuk mengupas singkong. Cinta dan Rindu saling pandang. Sayang memejamkan mata sejenak karena tau bapak dan ibunya akan kembali berdebat.
"Kami sibuk, nggak lihat? Bisa cuci sendiri?" tanya Asmara dengan muka ketus.
"Aku baru saja pulang kerja. Kau tak lihat?" balas Tomo dengan nada meninggi.
"Ini baru jam berapa, ha?" Hari menunjukkan matahari masih terang benderang. "Kenapa juga masih mempertahankan pekerjaan kamu itu? Kalau tidak menghasilkan, coba cari pekerjaan yang lain. Balik modal saja tidak."
Tomo berdecak. "Banyak omong. Cucikan bajuku sebentar, apa susahnya?"
"Memangnya mau bagaimana? Modal kamu berjualan aku yang berikan. Kalau kamu punya uang juga habis untuk rokok dan bensin. Pernah kamu kasih anakmu uang? Nggak pernah. Mana ada? Aku semuanya, aku!"
"Kalau nggak mau cucikan bajuku ya sudah. Nggak usah merembet ke mana-mana. Ada suami kayak aku ini? Nggak pernah dilayani. Baju nyuci sendiri, makan ambil sendiri."
Sayang berdiri, meminta Cinta dan Rindu untuk masuk ke kamar. Debat kedua orang tuanya semakin memanas.
"Emangnya kamu raja? Apa-apa mau dilayani tapi tau diri aja nggak. Aku galon angkut sendiri. Ban pecah, aku yang bawa ke bengkel. Kamu tinggal bawa kendaraan yang bagus, yang bensinnya sudah kuisi." Asmara menepuk dadanya yang terasa sesak. Matanya berkaca, tak ada air mata yang mengalir tapi sorot keAsmarahan terasa sangat nyata. "Orang sampai kira aku ini nggak punya suami."
"Mulut kau itu ha! Beracun. Berani sangat kau sama suami. Istri durhaka!"
"Kamu yang durhaka! Kerjaan kamu hanya menuntut hak. Istri harus begini, harus begitu. Memangnya sebagai suami kamu sudah memenuhi kewajiban?!"
Sayang tersentak saat bapaknya menendang wadah-wadah berisi jualan tepat di depannya.
"Begitu bisamu, mengamuk. Memecahkan barang."
Tomo berlalu, menghidupkan motor dan meninggalkan rumah. Asmara masih menggerutu sambil membereskan wadah berserakan yang ditendang suaminya. Sayang membantu dan menahan tangis mati-matian.
Suara ketukan pintu dari depan membuat Asmara dan Sayang menoleh.
"Biar ibu aja," cegah Asmara saat Sayang ingin keluar.
Seorang pemuda dengan seragam khas berwarna merah turun dari motor dan menemui Asmara.
"Maaf, Mas. Tanggal 26 ya, sekarang saya belum ada uangnya," ujar Asmara minta pemakluman.
"Seminggu yang lalu, Bu Asmara bilang hari ini," kata penagih cicilan motor itu sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Iya, Mas. Janji tanggal 26. Honor daerah saya insyaAllah sudah masuk." Honor daerah yang baru dibayar tiga bulan sekali itu lah harapan Asmara selain berjualan.
"Bener ya, Bu? Kalau nggak, motornya terpaksa harus saya tarik."
Asmara mengangguk."Bener, Mas."
Asmara menarik napas berat saat kembali duduk di samping Sayang. Hening sejenak dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Sayang, kamu jangan sampai kayak ibu. Sekolah yang benar. Ibu nggak bisa menguliahkan kalian. Makanya kamu, kalau bisa harus dapat beasiswa kayak Mbak Kasih. Satu lagi, jangan sampai berhutang. Jangan dimulai. Dapat uangnya senang, bayarnya nggak senang. Harus gali lubang tutup lubang. Kepala ibu udah mau pecah. Yang terpenting, jangan salah pilih suami. Kayak bapakmu. Nggak tau diri."
Sayang terdiam mendengar kata-kata ibu, tidak seperti hal-hal indah yang ia baca di wattpad atau adegan manis yang ia khayalkan sebagai bahan tulisannya. Inilah realita pahit yang terjadi dalam hidupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top