Si Yang Tertindas dan Si Kulkas Sultan Tujuh Turunan
Apa kalian pernah merasakan apa yang kurasakan saat ini? ditindas oleh setiap orang tanpa henti hanya karena aku tidak seperti mereka. Namaku Irina Weasley, tapi kebanyakan orang di kelasku malah mengubah nama keluargaku jadi Witless yang artinya dungu. Mereka sengaja membuat panggilan itu acap kali melihatku. Ada beberapa alasan kenapa mereka menindasku. Pertama, aku bukan tipe orang yang tertarik akan style. Penampilanku selalu apa adanya. Kedua, aku selalui memakai kacamata bulat besar yang memang sangat nyaman untukku, seperti Harry Potter katanya. Ketiga, aku tidak tahu menahu soal lagu yang sekarang sedang populer atau penyanyi-penyanyi ternama. Keempat, aku tidak tahu soal merek ternama atau mahal. Kelima, aku tidak pandai di bidang akademik, tapi soal pelajaran ramuan aku bisa mengatasinya. Keenam, jangan tanya soal olahraga, aku sangat payah. Ketujuh, aku terlihat culun di mata mereka. Itulah kenapa banyak yang tidak mau berteman denganku.
Jika kalian menajdi aku—oke kurasa tidak perlu menjadi aku—cukup menghindari tujuh alasan tadi, kalian bisa diterima di kalangan murid sekolah ini. Sekolah ini bukan sekolah biasa yang kalian pikirkan, ada sebuah pelajaran yang memang hanya bisa ditemukan di sekolah tertentu saja. Pelajaran itu adalah pelajaran meracik ramuan, kedengarannya menyenangkan, tapi sebenarnya menyebalkan. Tak ada yang berhasil dalam ramuan, hanya segelintir orang saja dan aku termasuk ke dalam yang berhasil.
Kembali ke topik awal, jika kalian tidak bisa menghindari tujuh alasan tadi, mungkin kalian akan bernasib sial seperti aku. Jika seandainya terjadi, aku hanya bisa memberi saran sebaiknya pergilah dari tempat terkutuk ini. Memohonlah pada orang tua kalian supaya bisa pindah dan terlepas dari penindasan. Namun, jika orang tua kalian tetap bersikeras untuk mempertahankan kalian di sini, maka siap-siap untuk selalu ditindas. Kebanyakan dari orang-orang yang ditindas malah berujung tragis. Ada yang stres sehingga harus dilarikan ke rumah sakit, bahkan ada yang sampai nekat bunuh diri.
Aku sempat memikirkan untuk mengakhiri hidupku, tapi selalu gagal. Masalahnya, cowok dengan wajah datar selalu saja mencoba menghalangi aksiku. Dia bahkan nekat membuntutiku setiap saat, mungkin berjaga-jaga jikalau aku memutuskan untuk loncat lagi dari lantai tujuh. Acap kali kutanya namanya, dia memilih tidak menjawab dan pergi.
Aku punya kakak laki-laki yang juga termasuk ke daftar siswa tertindas, tapi tidak separah diriku. Lucunya, alasan ia masuk ke daftar itu adalah karena dia kakakku. Dia juga termasuk siswa daftar hitam karena sering membuat onar. Setelah ia mulai ditindas oleh kaum populer, sifatnya berubah drastis. Kadang ia peduli padaku, kadang tidak. Seperti memiliki kepribadian yang berbeda. Kadang, ia juga turut menyebutku witless.
Dengan sikapnya begitu, aku jadi merasa sendirian. Pernah, sewaktu-waktu aku tak ingin menemui kakakku, sebab ia menyaksikan kala diriku ditindas dan tak berbuat apa-apa. Aku marah, benci, juga berharap dia mati saja. Namun, tiba-tiba sifatnya berubah lagi saat kami di rumah. Sering menanyai kabarku, mengobati lukaku, bahkan membantuku mengerjakan tugas. Sebenarnya, dia ini kenapa?
Hingga suatu hari setelah bel sekolah berbunyi, dan cowok wajah datar lagi-lagi mencegahku menenggelamkan diri. Karena kesal aksiku gagal, kakiku memilih berlari meninggalkan lingkungan sekolah. Tak sengaja kala berhenti sejenak di halte bus depan sekolah, kakakku duduk di sana dengan bawah bibirnya lebam. Pasti dia habis baku hantam.
“Berhenti menatapku, Witless!” gerutu kakak.
Aku yang kepalang bad mood langsung bersidekap. “Kau ini aneh, ya? Dasar idiot! Lagi pula siapa yang mau melihatmu.”
Aku benar-benar merindukan dia yang lama, rasanya tidak mungkin jika aku harus memutar waktu kembali untuk mendapatkan kakakku yang lama. Tapi, aku malas ditindas dua kali lipat jika waktu diputar kembali. Kalaupun ada jin teko yang siap mengabulkan tiga permintaan, seperti aku hanya minta para penindas menjadi kecoa agar aku bisa menginjaknya. Lalu, lenyapkan kasus penindasan di seluruh dunia, dan aku ingin semuanya terwujud.
Cukup Irina kau hanya berkhayal, mana ada jin teko yang akan mengabulkan permintaanmu. Ini bukan dunia dongeng yang hanya dengan bernyanyi semuanya bisa menjadi kenyataan, atau tiba-tiba ada pangeran berkuda putih yang menyelamatkanmu. Tidak. Di sini, kau harus berjuang sendiri.
[]
Seperti biasa, suasana koridor kelas hening seketika saat aku lewat. Mungkin aku terlalu terkenal di kalangan mereka sampai semua mata tertuju padaku. Beberapa orang berbisik, beberapa orang menatap jijik. Gadis yang selalu menindasku tak ada di sana. Padahal biasanya ia selalu berdiri di koridor dengan angkuh sambil melontarkan ribuan cemoohan, sesekali ia melemparkan kertas yang sudah dikepal padaku.
Kuhentikan langkah dan menatap satu per satu murid di sini. Mereka yang berbisik langsung terdiam, menatapku tajam bagaikan silet. Sesuatu mengeni kepalaku, memang tidak sakit, tapi itu sungguh menyebalkan. Lantas, kupungut kertas itu dan membukanya.
Jangan harap kau lebih populer dariku.
Ini pasti ulah dia, siapa lagi kalau bukan Renata si gadis populer sekolah. Ia dulu pernah terpilih untuk mewakili sekolah sebagai Miss School. Bukan hanya itu saja, dia juga siswi paling pintar kedua di sekolah. Baru menduduki peringkat kedua saja belagunya sudah melebihi langit.
Tatkala mataku mencari keberadaan Renata, terdengar suara gaduh di belakangku. Seperti biasa, kakakku kembali berkelahi dengan Ronald. Para gadis masih menatapku, tapi sebagian sudah bergabung untuk menjadi suporter perkelahian mereka.
Cepat-cepat, aku menghampiri mereka sambil membetulkan kacamata. “Cukup!” teriakku.
Namun, mereka mengabaikanku dan malah semakin menjadi. Para gadis saling bersorak juga tepuk tangan. Teman-teman Ronald membantunya untuk memukuli kakakku. Kalau memang aku harus turun tangan, kenapa tidak? Aku menegpalkan tangan dan mengayunkannya. Kepalan tanganku persis mendarat di pipi kanan Ronald. Sontak saja, kakakku yang melihat itu langsung terbelalak. Gadis-gadis langsung menjerit dan tertawa bersamaan. Tindakanku adalah yang paling berani, menurutku.
Ronald memegang pipi kanannya, sekarang dia sudah tidak memukuli kakakku lagi. “Irina?”
“Kumohon jangan berkelahi lagi.” Kupasang wajah memelas supaya Ronald bisa menerapkan apa yang baru saja kukatakan.
“Kau bisa apa, dungu?” Suara itu bukan suara Ronald, tapi suara seorang gadis yang kukenal.
“Setidaknya aku hanya berusaha untuk melerai,” kataku sambil menoleh ke sumber suara.
“Jangan berlaga seperti pahlawan, Irina. Kau hanya gadis dungu,” ejek Renata. Para siswa tertawa terbahak-bahak, aku hanya mendengkus pelan dan hendak meninggalkan tempat itu kalau saja teriakan Renata tidak menghentikan langkahku.
“Pergilah, pergilah yang jauh!” teriak Renata.
Dengan keberanian yang kumiliki aku balas membentaknya. “Jangan mentang-mentang kau populer, Renata!”
Hening, tak ada suara sedikit pun. Aku yakin mereka semua menatapku dan tatapannya seolah aku ini serangga yang harus dibasmi. Lantas, kusunggingkan senyum tipis. Renata tak menjawab. Seolah-olah aku berhasil menang sekarang, tapi kurasa masalah baru malah bertambah.
Dengan cepat, Renata menjambak rambutku dan menyeretku. Para siswa tertawa melihat itu, mereka tersenyum puas seolah serangga yang harus dibasmi itu benar-benar sudah dibasmi.
“Kau memulai masalah baru, Irina.” ketus Renata.
Aku pasrah, aku memang selalu seperti ini. Inilah kehidupanku, ditindas oleh gadis populer dan akan terus seperti ini sampai gajah benar-benar bisa terbang. Namun, seolah keputusasaanku ini terdengar oleh takdir, cowok wajah datar tiba-tiba menepis tangan Renata. Membuat gadis itu terbelalak.
“Mikaela!” pekik Renata.
Oh, rupanya nama cowok datar itu Mikaela. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu sering disebut-sebut oleh banyak siswi. Namun, kenapa ia jadi bahan gosip? Sekarang pun orang-orang tengah berbisik satu sama lain, beberapa dari mereka bahkan tersenyum-senyum.
“Sudah cukup. Tindakanmu keterlaluan. Yang benar saja siswi terhormat menindas siswi lain. Apa kau tidak malu dengan posisimu saat ini?” ujar Mikaela.
“Mikaela, kenapa kau membelanya?” tanya Renata dengan wajah tidak percaya.
“Karena tindakanmu itu salah.” Tanpa menunggu ucapan Renata, Mikaela menarik lenganku dan membawaku ke suatu tempat.
Sebelum aku meninggalkan tempat itu, dapat kulihat wajah merah padam Renata dan bisikan orang-orang, termasuk tentang Mikalea yang cukup membuatku terkejut.
[]
Entah ini yang dinamakan pangeran berkuda putih datang menyelamatkan dari negeri dongeng, atau hanya kebetulan saja? Mikalea si cowok muka datar yang selalu menggagalkan misi bunuh diriku, dan kini tiba-tiba saja ia maju paling depan untuk mencegah Renata menindasku. Aku mungkin harus menyebut keberuntungan. Bisa saja ini keberuntungan lima tahunku digunakan saat ini.
Kami berdua menuju ruang musik, di sana cowok itu merapikan rambutku yang berantakan sembari mendengkus pelan. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan, tetapi tidak jadi.
“Lain kali, pukul saja Renata seperti saat kau memukul Ronald,” pungkas Mikaela sambil bersidekap. Wajah datarnya tidak pernah luntur. Aku jadi ragu dia punya ekspresi.
“Aku pernah mencobanya sekali, tapi Renata dan kawan-kawannya melemparku dengan telur busuk,” timpalku sembari memilin ujung baju.
Bisa kudengar Mikaela mengembuskan napas keras. “Beritahu aku jika dia macam-macam lagi. Sini, kuberikan nomor teleponku.”
Tanpa mengatakan apa pun, aku langsung menyodorkan ponsel pada Mikaela. Cowok itu lekas saja mengetikkan nomornya sebelum menyerahkan kembali ponselku. Saat itu, aku mulai meyakini diriku jika malaikat baru saja tiba untuk melindungiku dari orang-orang jahat seperti Renata.
“Kenapa? Kenapa kau membantuku?” tanyaku pelan.
Mikaela memalingkan wajah, netra birunya memperhatikan lukisan di dinding kelas. Lama ia terdiam sebelum akhirnya membuka suara. “Aku hanya tidak suka kelakuan Renata yang selalu menganggap dirinya benar.”
“Ka-kalau begitu—“
“Sampai jumpa lagi, Irina,” potong Mikaela cepat seraya melambaikan tangan dan pergi meninggalkan ruang musik.
Dari sorot matanya, ada sesuatu yang cowok itu sembunyikan. Tapi, aku tidak tahu apa itu.
[]
Sore itu, aku ketiban sial lagi. Sebenarnya, sudah tahu pasti jika Renata akan balas dendam. Jadi, sebelum ia mencegatku di koridor, cepat-cepat aku mengamankan semua barangku di loker dan bersembunyi di gor sekolah yang ada kolam renangnya. Namun, sial. Renata tahu keberadaanku. Alhasil, aku didorong hingga terjatuh ke kolam yang dalamnya dua meter.
Suara tawa bak nenek sihir jahat terdengar menggelegar di sana. Cukup tidak enak didengar telinga. Untung saja aku bisa mempertahankan tubuhku supaya tidak tenggelam, tidak berani mendekati pinggiran kolam karena tahu Renata pasti akan menenggelamkanku.
Lho, bukannya ini kesempatan bagus? Kalau aku mati tenggelam, gadis sialan itu bisa kena tuduhan pembunuhan.
“Dengar, ya, dungu. Jangan mentang-mentang Mikaela membelamu kau jadi bisa jalan bebas di sini. Lagi pula, kau itu tidak selevel status sosialnya dengan Mikaela yang seorang anak konglomerat," cibir Renata sambil mengibaskan rambut.
“Iya, kau itu cuma kutu beras rakyat jelata!” tambah Inaya sebelum menjulurkan lidah.
Beberapa teman Renata pun berkata sama. Terus-terusan merendahkanku dan menganggapku pakai pelet untuk menarik perhatian anak orang kaya macam Mikaela. Sumpah, memang minta dijadikan topping mie instan mereka itu. Jika aku punya niat untuk menggunakan pelet, sejak dulu juga aku gunakan untuk menarik perhatian hampir semua cowok di sekolah ini. Jadi, Renata dan kawan-kawannya tidak menindasku.
Aku tak menimpali ucapan mereka, sebab mataku tertuju pada satu titik. Jadi, kubiarkan saja mereka menghinaku sepuasnya.
“Kau lagi. Mau sampai kapan bertindak keterlaluan seperti ini?” celetuk Mikaela yang berhasil membuat Renata dan yang lainnya membeku.
Cowok itu berjalan ke sisi kolam renang, kemudian mengulurkan tangannya padaku. Paham maksudnya, aku lekas berenang ke tepian dan meraih tangan si cowok. Aku langsung dibantu untuk naik, bahkan Mikaela menyampirkan jaketnya padaku.
Renata yang sejak tadi bergeming dengan wajah tercekat, kini memberanikan diri untuk mengeluarkan suaranya. “Kenapa kau membela dia, sih? Dia bahkan tidak setara denganmu!”
“Bisa tidak kau gunakan mulutmu lebih bijak? Kalau yang bisa mulutmu keluarkan cuma hinaan, jahit saja mulutmu itu!” seru Mikaela dengan tatapan nyalang. “Sudah cukup aku melihat orang ditindas, sudah cukup aku berdiri dan tak berbuat apa-apa. Aku lelah melihat orang-orang yang tertindas harus kehilangan semangatnya, harapannya, bahkan hidupnya! Orang-orang sepertimu, Renata, yang seharusnya kehilangan semua itu!”
Aku tertegun mendengar ucapan Mikaela. Dugaanku selama ini benar, cowok itu menyimpan sebuah rahasia yang menjadi motivasinya melindungiku. Mungkin, seharusnya aku bersyukur karena masih ada yang melihatku, peduli padaku. Jika seandainya waktu masih mengizinkanku bernapas di bumi ini lebih lama, aku ingin membalas kebaikan Mikaela.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top