Seserpih Cerita Dalam Kisahmu
Untuk kesejuta kalinya, aku mengembuskan napas, suatu tindakan yang menyimbolkan kepasrahan—atau lelah. Menunggu, benda yang mendapat cap smart berbunyi—sekadar untuk menyadarkan diri bahwa aku punya gawai dan harapan.
Entah kita telah bersua berapa kali. Aku lupa. Kau lupa. Dunia pun ikut lupa. Kesibukan merenggut kita satu-satu ke kutub yang berbeda. Kau sibuk mengurus berkas untuk S2, sedangkan aku sibuk menunggumu lowong, demi ajakan: “Ke tugu yuk!”
Entah kapan, perasaan ini tumbuh seiring perkembangan kita ke tahap yang lebih tinggi melewati pubertas. Tak seperti ke sepupu-sepupu, meski mereka ganteng, mereka terlarang untuk digebet.
Sejak kecil kita sudah mulai main jungkat-jungkit dan saling mendorong di atas perosotan. Umurmu berbeda empat tahun denganku. Meski demikian, pemikiranmu lebih sering kekanakan ketimbang milikku. Terbukti dari ibumu yang kerap menitipkanmu di rumahku ketimbang sebaliknya.
“Nak, tolong jaga Dodi ya.”
“Siap, tante!” Aku menatapmu dengan sorot puas dan penuh kuasa. “Nah Dodi, pas makan siang jangan buang sayurnya ya.”
Aku ingat, kamu cuma bisa meringis saat itu. Antara kesal, pasrah, dan hasrat ingin menjitak kepalaku: siapa sih, bocah songong ini?!
Lambat laun kita berteman. Yang awalnya sering main pasir, kini merambah ruang lingkup ke perpustakaan, toko buku, rental kaset, warnet, tugu dan bawah jembatan. Selalu berdua, selalu bersama. Kau membawaku saat pertama kali mendaftar kuliah. Kamu membantuku mengurus berkas-berkas untuk masuk ke SMA, tempatmu pernah menimba ilmu dahulu.
“Hati-hati sama Bu Yosha, dia killer abis.” Kamu memasang raut takut. Kusikut dirimu supaya sadar dan mempercepat potongan gorengan. Supaya antrian tak bertambah di belakang kita.
Selesai memotong-motong gorengan jadi kecil, kemudian menyiraminya dengan sambal petis. Aku menggenggam dua gelas es kelapa muda, sedangkan kau membawa sepiring gorengan. Lalu kita beranjak ke tepi sungai.
Di sini sejuk, ada terasering berundak-undak bak tangga raksasa ke bawah sana. Aku dan kau duduk di salah satu anak tangga. Memandangi cokelat-gelap air sungai Kahayan. Dinaungi bayang-bayang jembatan yang menjulang tinggi di atas.
Inilah bawah jembatan. Tempat santai wadahku menghabiskan waktu bersamamu. Waktu yang menyeretku ke pusaran kenyataan bernama suka. Seperti yang kubilang, aku tidak tahu persisnya kapan. Karena sekarang, berduaan bersamamu terasa ganjil dan genap. Degap-degup. Kadang ada badai perasaan, kadang gelenyar itu lenyap, lalu gejolak emosi itu meledak kembali ketika tanganmu tak sengaja tersentuh jemariku saat menusuk gorengan dengan garpu.
Kau cuek. Tetap makan dan menyedot es kelapa dengan santai. Sedangkan aku, kalut sendiri rasa yang entah bagaimana menjeratku semakin erat.
Hari-hari selanjutnya terlewati seperti mimpi. Setiap malam, di awal-awal masuk SMA, per-chat¬-tingan kita tidak lagi diisi topik tentang anime, film, dan game. Melainkan satu topik bahasan yang mengguncang duniaku ke badai level selanjutnya: “Ada cewek yang kusuka.”
Deg! Alih-alih menghentikan diri, aku justru menyarankannya untuk cerita lebih lengkap. Maka bermunculanlah balon-balon pesan berisi kisah manismu yang merah muda. Kau menyukai senyumnya, tawanya, caranya menyelipkan rambut ke balik telinga.
Malam itu aku menyesal seumur hidup.
Aku hanya bisa memberikan nasehat umum, tembaklah sebelum ditembak orang lain, kalau sudah suka sama suka cepat-cepatlah pacaran.Teriringi senyum palsu penyembunyi luka dan air mata. Ada gemuruh yang menyesakkan, menyumbat detak jantungku sekarang.
Selepasnya, aku ingat semalaman menangis di atas bantal. Membengkakkan mata, dan esok paginya di sekolah, tak ada yang lebih ingin kujauhi selain pertanyaan-pertanyaan, matamu kenapa?
Kadang aku berpikir, berteman denganmu itu sudah cukup. Bersahabat sebagaimana manusia-manusia melakukannya. Ketemu, main, nongkrong, makan gorengan, saling serobot es kelapa, bertingkah konyol di ruang tamu masing-masing: kaki selonjor ke atas dan kepala menjuntai ke bawah.
Tapi semua itu buyar saat kau tiba-tiba jatuh tidur di pundakku waktu maraton film di malam minggu, saling menapak tangan yang kebetulan nganggur di atas sofa, sampai kedua telapak tangan kita tertumpuk seperti roti lapis, lama, bergenggaman, kemudian berubah jadi permainan erat-eratan jabat tangan yang menggemeretakkan tulang.
Kadang kau juga sering membuatku istimewa tanpa sengaja. Di depan cewek lain, kau bersikap layaknya anak baik-baik jebolan pesantren, padahal di depanku kau seolah iblis cacingan yang terlalu lama ngendap di neraka dan baru tahu namanya internet, film, game, makanan, dan manusia.
Di saat-saat demikian, aku merasa punya kekuatan untuk mengungkapkan perasaanku. Sebuah dorongan, untuk jujur dan mengecup bibirmu sekejap.
“Tahu gak?”
“Apa?” Wajahmu terlihat meneduhkan. Seperti bayang-bayang pohon di tengah teriknya matahari.
“Aku diterima. Tadi di kampus, aku nembak dia waktu jam kosong. Sekarang kami resmi pacaran. Keren kan? Makasih saran-sarannya.”
Aku lupa, di bawah teduh pohon itu ada sulur-sulur penjerat jantung. Yang membelit tubuhku dan menariknya ke bawah tanah. Ke tempat yang gelap, tanpa cahaya dan harapan.
Sampai beberapa bulan, ketika hatiku sedikit demi sedikit kehilangan kepingannya. Kau mengabarkan habis diputuskan. Aku senang bukan kepalang. Kelewat girang sampai-sampai hampir jatuh dari atas kasur saking bahagiannya.
Ini kesempatan.
Lalu di hari yang telah kutentukan di kalender khususku. Di depan tugu pahlawan, kita kembali berdua.
“Asli, andai Soekarno hidup lebih lama, Palangka beneran bakal jadi ibu kota.” Aku membuka topik, membuka laptop, dan membuka mulut untuk memakan gorengan tempe berlumur saus tomat.
“Kok bisa gitu?”
“Indonesia Raya, pasti klop dong dengan Palangka Raya.”
“Hahaha, ada-ada aja.”
“Ih, serius tahu.”
“Oke, sekarang aku yang serius. Minggu depan, aku ada KKN ke desa-desa. Mungkin ke Tumbang Nusa, Pilang, atau Pulang Pisau.”
Gorengan di tanganku hampir jatuh. KKN? Minggu depan?
Berarti hanya saat ini waktunya. Waktu yang tersisa sebelum kamu pergi ke tempat yang tak mungkin kujangkau meski naik mobil, bus, perahu, atau helikopter—kecuali semuanya digabung jadi satu. Karena realitanya, tak mungkin kamu kukunjungi karena itu pedalaman. Jauh!
Kemudian kamu bercerita tentang seorang temanmu yang amat beruntung karena KKN di kampung halaman sendiri. Juga persiapan-persiapannya. Juga hal-hal kecil tidak penting lainnya—enaknya bawa celana dalam berapa banyak ya.
Aku tidak punya tempat yang pas untuk menjeda atau sekadar menyelipkan topik lain. Karena begitu cepat cerita banting setir ke film, kemudian ke komik, ke dorama Death Note, dan lain-lain. Kau yang menahkodai cerita ke mana-mana, aku cuma bisa manut sampai ke satu topik yang mengguncangkan alam semestaku, lagi.
“Kayaknya aku gak mau pacaran lagi. Trauma.” Lalu kau menolehkan kepala dari layar laptop ke arahku. “Aku senang punya sahabat kayak kamu. Kita gini terus ya?”
Rasanya seperti dicekik. Dijerat puluhan tali rafia yang berumbai-umbai, ditusuk-tusuk garpu gorengan, lantas digilas meteor dengan label nama “Friendzone”.
Maka akhirnya aku pasrah. Melepasmu yang KKN dari rumah. Kemudian setelahnya, bulan-bulan kuliahmu semakin sibuk. Aku pun ikut menyibukkan diri dengan termenung dan menatapi layar laptop sendiri. Menonton, membaca komik, main game, tanpamu, tanpa senyum yang meneduhkan sekaligus mematikan.
Tak terasa setahun telah berbalu. Begitu pula dengan kontak ke Dodi yang kian hari kian renggang. Dulu semalam sekali kami saling bertukar cerita. Kini sebulan sekali pun kalau: kalau ingat, kalau ada sinyal, kalau ada kesempatan, kalau gak ketiduran, dan kalau-kalau lainnya.
Sekembalinya Dodi dari KKN, kupikir ia akan jadi lebih hangat. Temu kangen, kemudian memelukku erat-erat dan ketika itulah kuutarakan perasaanku yang selama puluhan purnama terkubur. Namun, semua ekspektasi tinggal ampas di dasar khayalan.
Dodi pulang. Berwajah dingin. Hanya menyapa sekilas. Ia bilang, hari-harinya mulai sekarang akan jauh lebih sibuk daripada sebelum-sebelumnya. Tak ada lagi waktu untuk bermain. Apalagi kedua orang tuanya terus merongrong menggedor-gedor otaknya untuk lulus lebih cepat.
Dodi tak bisa lagi selonjoran di atas sofa, membicarakan hal-hal random demi sekadar mewarnai malam yang dominan hitam.
Hari-hari kami berlalu begitu saja. Seperti sepasang asing yang tak pernah bertemu.
Perasaanku dibiarkan tenggelam. Karam di dasar laut perasaan. Tanpa suara, tanpa pernah muncul ke permukaan, aku kubur erat-erat dan membawanya pergi ke tempat dimana tak seorang pun tahu kecuali aku dan Tuhan.
Menginjak kelas duabelas, hidupku tak lagi sama. Hari-hari terjalani dengan segenap pengejaran materi super kilat dan padat. Les sana-sini, bimbel dimana-mana, sekolah menerapkan aturan menambah jam belajar di kelas. Yang awalnya pulang jam tiga sore, harus pasrah ditendang jam lima mendekati maghrib. Belum lagi bila ada les di petang hari.
Sampai suatu hari, ada pesan:
“Ke bawah jembatan yuk!”
Kamu ... masih mengingatku. Hampir berkaca-kaca rasanya mata, seolah penantianku telah terbalas. Ada senang, bingung, bahagia dan cemas menyaru jadi satu. Aku membalas:
“Hayuk. Jam tiga.”
Kebetulan, hari ini sekolah pulang cepat karena guru-guru harus rapat. Mungkin memikirkan cara lain agar murid-murid lebih lama dan serius belajar: mari tambahkan jam belajar-mengajar menjadi 12 jam per hari!
Persetan. Aku mau mandi dan dandan.
Maka sesampainya di bawah jembatan, ditemani sepiring gorengan dan sepasang gelas es sirup. Kami terdiam dalam hening. Canggung. Beberapa menit, kegiatan kami hanya melamun ke depan sambil makan dan menyeruput es. Membayangkan, andai air sungai Kahayan itu bening, andai air sungainya benar-benar bisa diminum seperti susu cokelat, andai ada pertunjukkan orang bunuh diri dari atas, andai jembatan ini rubuh, andai aku dapat mengutarakan perasaanku, andai Dodi mengerti arah persahabatan di mataku saat ini, andai ...
... aku lebih suka jembatan ini rubuh ketimbang dicibir Dodi karena telah menyukainya. Padahal sudah ada pakta perjanjian tak tertulis, bahwa haram namanya perasaan suka berkadar cinta di dalam persahabatan.
“Dodi,” panggilku. Pengakuan itu tertahan di tenggorokan. Alih-alih mengungkapkan, aku justru menelannya kembali. “Sesibuk itu ya, kuliahmu sekarang?”
“Ya, sibuk. Kenapa?”
“Gak sih, kangen aja, lama gak main bareng.”
“Sama.”
Lantas, kami kembali terdiam. Hening.
Aku bingung, kemana percakapan random kami dahulu. Yang tahan berjam-jam memelototi layar hape sampai kering kedua mata.
Meski matahari tergelincir ke barat sekali pun, dunia kami tetap bisu. Pulang. Lalu masuk ke dalam rumah masing-masing tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Malamnya, Dodi menelpon. Tumben.
Setelah tersambung, Dodi mengaku bahwa ia sangat canggung tadi. Sudah lama tak bertemu, rasanya aneh karena ia tak bisa mencari topik pembicaraan apa-apa. Aku tertawa, mengaku, bahwa aku juga sama mengenaskannya. Kami terlalu asyik pada tugas dan pikiran masing-masing sampai-sampai lupa bertindak mau apa demi memecah keheningan.
Obrolan pun lumer begitu saja. Merembet kemana-mana, bercabang, tak terkendali. Dari kisah-kisah kocak Dodi saat KKN, mantannya yang tak sengaja terperosok ke lumpur—nyaho! Dodi mensyukuri—SMA-ku yang tak kalah sibuknya, neraka bernama bimbel, dan PTN-PTN yang ingin kupilih nanti.
Tak terasa tengah malam sudah terlampaui. Detik-detik beranjak semakin jauh, padahal jarum jam tetap di sana. Berputar, dalam lingkaran yang tetap dan konstan. Tak seperti kehidupan kita yang melonjak naik-turun dengan tajam. Kupikir, keberuntungankulah yang sering beranjak dari singgasananya.
Karena aku tetap pada pengakuan yang terkubur. Dodi dan segudang aktifitasnya.
Dan persahabatan yang menjeratku semakin kuat.
Mungkin memang begini seharusnya. Aku tetap menjadi sahabatnya. Bukankah itu saja sudah cukup?
Kemudian hari-hari bernama bumi terbelah itu hadir. Dodi lulus, sudah wisuda. Aku diajak ke sesi foto-foto tidak penting tersebut. Namun setelahnya, Dodi mengaku ia harus mengejar S2-nya ke luar kota. Ke tempat yang nun jauh dari jangakauanku.
Teringat rasanya saat ditinggal KKN, tapi ini lebih parah lagi. Dodi tidak akan pulang untuk waktu beberapa bulan. Ia benar-benar akan pergi, entah setahun, dua tahun, lima tahun! Bagaimana kalau dia tidak pulang-pulang? Saking betahnya memilih untuk menetap, mencari istri, membuat anak, memelihara keturunan, kerja dan menua bersama uang pensiun.
Sedangkan aku sudah teronggok menjadi tulang yang terlalu lama menanti dan menanti.
Akhirnya ia benar-benar pergi. Aku memeluk dan merangkulnya erat-erat. Menangis. Tidak mau pisah. Tidak mau lepas. Masih ada batu yang menyumbat tenggorokanku. Masih ada pengakuan yang selama bertahun-tahun ini tak pernah kuutarakan.
Dodi ...
Tubuhmu pun melenyap bersama mobil yang membawa anganku minggat dari tangan. Sampai sekarang, sampai orang tuamu ikut pindah dari sebelah rumah. Hatiku ikut kosong mengikuti kondisi rumahmu yang kini dikontrakkan.
Menangisi betapa jarang kita melakukan kontak lagi.
Kiranya, aku hanyalan lembaran masa lalu untukmu. Lembar yang menua dan menunggu untuk disimpan dalam sebuah lemari bernama kenangan. Bahwa pada masanya, akan dibuka kembali untuk sekadar nostalgia bersama anak-cucu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top