Monroe's Bruises
Perkenalkan, namaku Jessyln Kamikaze Maartje. Seorang keturunan Belanda-Jepang yang lahir di Toronto, Kanada. Suraiku berwarna pirang, terkadang membuat guru-guru mengira aku sengaja mewarnainya. Padahal, itu warna rambut asliku. Aku tak ingin menyemirnya menjadi hitam bak burung gagak, karena aku cinta sapuan warna surai asliku. Tinggiku tak tinggi-tinggi amat, hanya 170 cm. Kulitku pucat namun tak begitu kemerahan, khas campuran Eropa-Asia Timur. Kedua mataku agak besar dengan iris cokelat hazelnut.
Aku cukup populer di sekolahku, sebagai bad girl. Dulu, aku sempat masuk geng motor saat masih SMP, berperan sebagai donatur terbesar untuk gengku. Namun, sekarang aku sudah tobat. Semenjak pindah ke sebuah vila elit di pegunungan, aku hanya hidup bersama kelimabelas pembantuku. Daddy yang merupakan pemilik yayasan Sekolah Rumput Hijau sangat sibuk setiap harinya, tak pernah WFH—Work from Home. Sementara itu, Mommy sibuk mengurusi usaha seblak takoyakinya.
Tak ada seorang pun yang tak tahu namaku. Jesslyn Kamikaze Maartje, sosok yang selalu melanggar peraturan sekolah. Mulai dari peraturan tentang seragam, jam kedatangan di sekolah, sampai etika dasar seperti sopan santun terhadap guru. Fortunately, aku cuman dapat sanksi teguran. Yap, tahu alasannya?
Sebab Daddy adalah pemilik yayasan sekolahku.
Yap, klise memang. Kisah seorang bad girl yang selalu bebas dari hukuman karena Sang Ayah adalah pemilik yayasan sekolah. Ditambah lagi, bad girl ini malah kepincut sama kakak kelas nerd.
Ring ding dong ring ding dong ... digiding digiding ding ding ....
Ring ding dong ring ding dong ... digiding digiding ding ding ....
Bel jam istirahat berbunyi. Secepat kilat, aku langsung berlari ke kantin.
"Tungguin anjir!" teriak Giselle yang ketinggalan jauh di belakangku.
"Siapa suruh lama bangsat." Aku berhenti sejenak hanya untuk membalikkan badan, lalu menjulurkan lidah ke arahnya. Setelah itu, aku kembali berlari menuju kantin, melewati koridor kelas sebelas--kawasan kakak kelas.
Seorang laki-laki berkacamata bulat, keluar dari kelas XI MIPA 1. Kelas unggulan di sekolahku. Seperti rem blong, aku tidak bisa menghentikan laju kecepatan lariku. Alhasil,
bruk!
"Sori, sori, gue enggak sengaja anjir, Kak!"
Buku-buku tebal yang dibawa laki-laki itu pun jatuh berhamburan karena aku menabraknya. Panik, aku langsung berjongkok dan membantunya mengambilkan buku-buku itu. Gini-gini walaupun bad girl, aku masih tahu diri!
Laki-laki itu ikut berjongkok bersamaku. Lalu, mengambil buku-bukunya yang berhamburan. Seperti dalam drama telenovela, tak sengaja tangannya menyentuh punggung tanganku. Sontak, aku dan dia saling bertatapan. Entah darimana angin berhembus, seakan menghentikan detak waktu. Napasku tertahan begitu melihat kedua matanya yang berkilauan di balik kedua lensa tebal itu.
Sumpah,
Kakak nerd ini ganteng banget anjirlah!
"Gue minta maaf ye Kak, abisnya rem kaki gue blong hahaha," ucapku. "Tapi lo enggak kenapa-napa, 'kan, Kak?"
Kakak nerd itu masih terdiam. Tak berkutik sama sekali.
"Halooo?" Aku menggoyang-goyangkan telapak tanganku di hadapannya. "Haloo, ada oraaang?" lanjutku. Apaan, sih, Jess? Fadil Jaidi kali, batinku, merutuki diriku sendiri.
Kakak itu mengerjap-ngerjap.
"Marilyn ... Monroe ...." gumamnya.
"Hah?" Aku mengernyit. Lalu, meraih sejumput surai pirangku dan tertawa ke arah kakak nerd yang aneh itu. "Oh, gue baru ngecun hahaha," kataku. "Ya gue emang mirip sih sama dia. Bedanya, rambut gue panjang menjuntai. But, jangan sama-samain gue sama dia. Just ... don't."
Aku berdiri, lalu meninggalkannya begitu saja yang masih berjongkok. Namun, tiba-tiba dia ikut berdiri dan mencegatku dengan satu tangannya yang tidak memeluk buku-buku. Aku menoleh.
"A ... anu, memangnya ... kenapa kamu enggak mau disama-samain sama dia?" tanyanya, grogi.
"Yeah, I just don't want it."
Kakak nerd itu terdiam mendengar jawabanku.
"Oh," katanya. "Tapi ...." Entah mengapa, tiba-tiba bicaranya lancar, seperti bukan nerd yang biasanya. "You remind me of her. Walaupun kamu anak yang urakan dan sering melanggar peraturan sekolah, kamu mengingatkan saya sama Monroe. Si pirang cantik yang bodoh," ucap si Kakak nerd.
Setelah mengatakan hal tersebut, wajahnya seketika memerah dan dia langsung lari meninggalkanku. Nyaris saja dia menabrak Giselle kalau saja Giselle tidak buru-buru menghindar. Sementara itu, aku termangu. Walaupun penampilannya seperti seorang nerd, tetapi cara bicaranya barusan tidak terdengar seperti nerd. Bahkan, terdengar seperti anak Jaksel. Who are him, really?
"Lo dibilang bodoh sama Kak Burhan anjir, hahaha!" Giselle tertawa sampai memukul bahuku. "Bisa-bisanya anjir hahaha ...."
"Owh fuck! Sakit bege!" seruku sambil balas memukul Giselle. "Eh wait ...." Aku berhenti memukulnya. "Namanya Kak Burhan?"
"Iya," jawab Giselle. "Lo enggak tau? Dia terkenal paling nerd anjir di sekolah!"
Aku cuman terdiam.
Lambat laun, aku kepikiran kedua mata indah Kak Burhan sampai kebawa mimpi, juga saat dia menyebutku sebagai 'si pirang cantik yang bodoh'. Karena kepikiran terus, aku pun terobsesi padanya. Persis sekali seperti cerita bad girl atau bad boy yang tiba-tiba terobsesi pada nerd girl atau nerd boy. Ya, aku seperti itu. Entahlah, ini aneh atau memang wajar terjadi?
Suatu hari, aku dan Giselle keluar dari ruang BK karena ketahuan bolos jam tambahan. Karena aku anak pemilik yayasan dan Giselle merupakan anak salah satu petingginya, aku dan Giselle hanya diberi teguran. Sementara itu, anak-anak lain yang membolos, disuruh lari keliling lapangan sebanyak 10 kali di bawah panas terik matahari. Aku dan Giselle pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk pergi ke kantin, yang searah dengan jalan ke gerbang belakang.
"Lo mau ke mana, Jess?"
Aku tak mengindahkan pertanyaan Giselle, dan berjalan ke arah gerbang belakang. Sebab, ada yang menarik perhatianku.
Punggung si nerd. Kak Burhan.
"Lo ngapain ngikutin nerd itu, sih? Dah lah, gue ke kantin sendiri aja ...," ucap Giselle.
Yowes. Up to you.
Gaya jalan Kak Burhan memang khas. Tipikal anak-anak culun, berjalan dengan agak membungkuk dan menundukkan kepala. Namun, tiba-tiba saja saat berada di luar gedung sekolah, Kak Burhan melepas kacamatanya dan menaruh kacamata tersebut di saku celananya. Lalu, dia mengacak-ngacak rambutnya yang tadi disisir lurus, dan berlari memanjat gerbang yang sepertinya ditinggal satpamnya beli rokok.
Setelah Kak Burhan menghilang dari gerbang itu, aku hendak mengikutinya. Sayangnya, aku pakai rok abu-abu ketat. Rok yang hanya bisa dipakai untuk lari, bukan memanjat gerbang. Namun, aku tak hilang akal. Aku langsung melepas rokku, meninggalkan celana olahraga ketat yang tidak kulepas setelah pelajaran olahraga tadi.
Setelah memanjat gerbang sekolah, aku pun diam-diam mengikuti Kak Burhan sampai ke koridor sempit. Lalu, sampailah aku di depan sebuah gedung kosong tak berpenghuni, yang dinding semennya nyaris penuh dengan coretan. Vandalisme. Juga, terlihat motor-motor sport yang diparkir di sekitar depan gedung. Pasti milik anak-anak geng motor.
Kulihat, Kak Burhan menghampiri sekelompok laki-laki dengan jaket hitam berlambang garpu tala dari arah pintu besi yang terbuka lebar.
Aku tahu, itu adalah jaket kebangsaan geng motor Garpu Tala! Garpu Tala, geng yang paling terkenal bengis di sekitar wilayah ini. Tak kusangka, rupanya Kak Burhan adalah Terrabyte, pemimpin geng Garpu Tala yang paling ditakuti seantero jagat. Bahkan, dulu aku yang saat SMP merupakan pemimpin geng Black Dwarf dengan nama Monroe pun, tak berani macam-macam padanya. Dia dikenal semengerikan itu.
Ah, Monroe ....
Dia sempat menyebutku Monroe, si pirang cantik yang bodoh! Mengapa aku tidak sadar waktu itu, mengingat yang tahu identitasku hanyalah sesama anak geng motor.
"Hari ini, gue minta lima orang untuk ngebantu gue melawan geng Hua Hua. Geng yang telah membuat salah satu anggota kita membelot ke geng sialan itu," ucap Kak Burhan, alias Terrabyte dengan suaranya yang menggelegar. "Kita akan membawa anggota kita kembali, lalu berusaha buat ngeyakinin dia untuk stay di Garpu Tala," lanjutnya.
"Terus, gue juga sempat ketemu sama Monroe yang udah lama ilang," ucapnya. "Ciri khasnya, rambut pirang alami dan mata agak besar yang cantik dengan warna bola mata cokelat hazelnut," ucap Kak Burhan. "Cuman Monroe satu-satunya pemimpin geng yang punya mata cokelat itu. Udah lama gue nyari dia, dan ternyata selama ini dia ada di sekolah gue. Mana cukup populer pula dia sebagai bad girl. Sekaligus putri pemilik yayasan sekolah gue."
Shit, aku ketahuan. Lantas, aku langsung mundur perlahan. Ancang-ancang untuk kabur.
"Owh, fuck!" Sialnya, aku malah menabrak seseorang di belakangku. Saat aku melihat sosok yang kutabrak, rupanya dia adalah Seven Eleven. Orang yang dulu sempat menjadi bawahanku sebelum akhirnya bergabung ke dalam ... entah nama gengnya apa.
"Oh, Monroe?" Dia langsung mengenaliku, tidak seperti Terrabyte yang harus mengenali lewat mata cokelat hazelnut-ku juga. Sontak, aku menempelkan telunjukku di depan bibir. Namun, mantan bawahanku itu masih bebal bersuara.
"Monroe, gue mau perang sama geng Garpu Tala—akh!"
Dia ambruk ke atas tanah, setelah aku menendang sebelah pipinya dengan kaki kananku. Tak lama setelah itu, para anggota lain—teman satu geng bawahanku tadi—langsung bersimpuh di hadapanku, dipimpin oleh ketua mereka. Sementara itu aku malah was-was. Apa mereka sudah gila? Geng selevel Garpu Tala saja mereka lawan! Padahal, kekuatan rata-rata mereka sepertinya jauh di bawah kekuatanku dan anggota-anggota geng lamaku, Black Dwarf.
Ya. Terlihat sekali dari cara mereka yang langsung tunduk di hadapanku, setelah aku menyerang orang yang sepertinya si jago karate mereka. Dulu, bawahanku—Seven Eleven—itu juga si paling jago karate. Hanya saja, dia tidak akan bisa mengalahkanku yang sudah sabuk hitam sejak SD.
"Gila lo ya?!" Aku hampir membentak si Seven Eleven yang tengah berguling di atas tanah sambil meringis kesakitan. "Pulang lo semua, Garpu Tala itu bukan lawan kalian!"
"Monroe sayangku, kenapa kamu meremehkan mereka begitu?"
Jantungku berdegup kencang begitu terdengar suara Kak Burhan alias Terrabyte di belakangku. Dengan tubuh gemetaran, aku membalikkan badan. Nyaris enggan menatap Terrabyte yang sudah mulai mengeluarkan smirk-nya.
"Ayo mulai," ucap Terrabyte. Di belakangnya, sudah ada pasukan yang tengah bersiap-siap. "Ngomong-ngomong, selamat datang di markas kami, geng Hua Hua."
Geng Hua Hua tadi langsung ketakutan. Ketuanya bahkan memohon-mohon padaku untuk menolong mereka. Aku berdecak sebal. Salah sendiri cari gara-gara! Bukankah cara terbaik bagi mereka adalah dengan meminta maaf pada Garpu Tala, lalu menyerahkan anggota yang membelot itu pada Garpu Tala? Kalau sudah begini, aku yang repot.
"Ya udahlah njir, sini lawan gue!" seruku pada Terrabyte dan antek-anteknya. Walaupun agak takut, tetap kupaksakan diriku untuk berani. Kalau aku terlihat takut juga, mau dikemanakan harga diriku di hadapan para pecundang yang tergabung dalam geng Hua Hua ini?
Tak disangka-sangka, Terrabyte malah tertawa.
"Kalau gitu, ayo buat taruhan, Monroe sayang. Satu lawan satu. Kalau kamu bisa lawan kelima anggotaku, geng Hua Hua harus mengembalikan anggota kami yang membelot itu. Juga ...." Terrabyte menjilat bibir bagian atasnya. "Monroe harus jadi pacarku, mau enggak mau."
"Oke deal!" seruku, tanpa pikir panjang. "Terus, gimana kalau gue yang menang?"
"Geng Garpu Tala, aku serahkan dengan penuh rasa cinta ke Monroe sayangku," jawab Terrabyte.
Akhirnya, pertandingan dimulai. Lawan pertamaku adalah anggota yang kurus kerempeng. Tak hanya itu, dia juga sangat lemah. Dalam satu tendangan, dia sudah ambruk seperti Seven Eleven tadi. Lalu lawan kedua yang maju, juga kurus kerempeng sampai tulang selangkanya jelas terlihat. Dia agak lebih susah dilumpuhkan. Namun, akhirnya lumpuh juga.
Aku menyeka keringat di dahiku setelah melumpuhkan tiga lawan. Lawan keempat, rupanya jauh lebih berisi. Dia juga terlihat lebih manly dibanding lawan ketiga yang sepertinya seumuran denganku. Terlihat lawan keempat ini lebih tinggi daripada lawan ketiga yang tingginya nyaris sama denganku. Namun, pada akhirnya lawan keempat ini lumpuh juga.
"Wah, hebat!" Terrabyte bertepuk tangan. "Monroe bisa ngalahin Jefferey—"
"Fresh graduated fresh on campus damn—anjir malah nyanyi. Fokus, Jesslyn!" Aku menampar pipiku bolak-balik sampai meringis sendiri. "Lawan terakhir mana, Cuk? Payah bener perasaan antek-antek lo Kak, padahal Garpu Tala!" Aku mulai beringas, seperti tak takut mati. Lebam-lebam mulai menghiasi wajahku pasca melawan empat lawan tadi.
"Semangat, Bos Monroe!" seru Seven Eleven.
Lah iyanya. Cuman bisa semangatin saja. Benar-benar tak peduli dia pada lebam yang ada di wajah dan tubuhku.
Lawan kelima membuatku menelan ludah. Seriously, dia seperti Big Boss dalam game level terakhir! Tubuhnya bongsor, auranya mencekam. Aku pun melawannya dengan susah payah. Berkali-kali, tubuhku dibantingnya ke tanah. Sampai akhirnya aku tidak sanggup lagi. Ibarat dalam perang, aku mengibarkan bendera putih.
Orang tadi ... kekuatannya memang gila. Aku hanya bisa berbaring seperti orang yang tengah menunggu ajal. Terakhir kalinya sebelum kedua mataku terpejam, Terrabyte mengatakan sesuatu.
"Mulai hari ini, Monroe jadi milikku. Enggak ada yang bisa ngerebut Monroe dari Terrabyte, Monroe sayangku."
Ini semua gara-gara geng Hua Hua sialan. Aku kalah,
dan berakhir jadi pacar ketua geng motor terbengis yang pernah ada.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top