Lontar Hambar, Ketidakjelasan Para Nolep

Bel dipukul nyaring sekali. Dua anak di depanku sudah berdiri mengumpulkan lembar jawabannya ke meja guru dan keluar disusul teman-teman lain dari bangku belakang, sementara dua soal uraianku masih belum kujawab. Satu anak lain yang masih mengerjakan di sampingku tertangkap lewat sudut mata. Aku sudah menyelesaikan salah satu soal, tinggal satu lagi tersisa. Otakku dibanjiri naluri untuk segera menulis apa saja yang terpikir saat itu. Pak Harmadi berdeham pelan. Namaku pasti akan segera dipanggil sebentar lagi. Tanganku mulai bergerak sama cepatnya dengan puluhan langkah kaki di koridor. Satu kalimat - tidak masuk akal, dua kalimat pendukung - tidak nyambung, tiga kalimat pelengkap - asals.

Selesai!

Aku mengembus napas dan berdiri tepat sewaktu mulut Pak Harmadi terbuka. Aku tersenyum bermaksud memberi sapa, lalu mengambil langkah menuju pintu ketika menyadari tinggal aku dan guru pengawas itu saja yang masih di dalam kelas.

Sepoi angin bertiup dari arah selatan, lokasi taman hijau terbuka yang berlawanan arah dari gerbang depan. Hanya berkisar beberapa menit setelah bel tanda ujian usai dibunyikan, kini koridor sudah sangat sepi. Hanya ada tiga anak perempuan duduk dan tampak asik mengobrol di depan kelas, salah satunya berkacamata. Bisa terdengar mereka sedang membahas jawaban dari soal-soal ujian tadi.

Aku mengalungkan tas sembari mengunci loker, ada suara decit yang lumayan keras dari pintunya membuat tiga anak tadi menoleh sejenak ke arahku. Kuambil telepon genggam dari saku agar tampak seolah-olah ada yang kutunggu. Koridor makin sunyi, mereka masih belum bersuara lagi. Aku menyeret kaki ragu hendak pulang, sebelum akhirnya kuurungkan niatku dan berbalik sambil masih memandangi layar kosong, kemudian berlari kecil melewati sekelompok anak perempuan tadi yang tak kusangka salah satunya mengenalku dan menyapa.

"Baru keluar, Mbar?" tanyanya - yang memakai kacamata.

Langkahku memelan spontan dan terhenti, kepalaku mengangguk. "Iya, ada apa?"

Bingkai kacamatanya merah hati dan pipi putihnya ramping sedikit merona kepanasan. Dia menggeleng ceria. "Sedang mencari siapa?"

Sok kenal dan basa basi. Aku membenci kriteria manusia seperti ini. "Teman," jawabku agak malas senada pertanyaan. Kedua bibirnya tipis rata, menggumam 'mhm ...' dan tersenyum. "Ada apa?" tanyaku sekali lagi.

"Enggak .... Ya sudah, hati-hati!"

Apa sih? Aku mendesis, jengah sendiri. Kutinggalkan mereka ke arah seberang, menuju taman terbuka oleh sebab belum berhasrat pulang. Tiga suara tawa yang berbeda menerobos ke telingaku dan seketika itu juga kakiku tanpa sadar mulai berlari. Aku membayangkan diriku sendiri menghilang ke balik tembok dari sudut pandang tiga anak perempuan tadi. Ada sesuatu yang lucu dari caraku berjalan? Seragamku, atau caraku merespon pertanyaan? Ataukah mereka tahu aku menjawab asal pada soal terakhirku tadi? Bersamaan dengan mencepatnya tempo napas, pikiranku menderas. Aku merasakan kepalan tanganku basah dan kakiku lemas.

Di depan sebuah bangunan kecil di sudut taman terbuka itu, aku membuka pintu dengan sekali hentakan keras. Sontak pintu terbanting ke dinding amat nyaring. Empat mata menatapku nyalang. Sama-sama bergeming. Tubuhku menggigil sedetik setelah angin bertiup kencang dari belakang, menyebar aroma segar khas pohon Willow. Hening. Aku memutar badan.

"Enggak main ke sini dulu, Mbak?" Suara serak nan berat itu seperti menginterupsiku untuk berbalik.

"Hawanya sebentar lagi hujan." Suara lain, yang lebih jernih dan ringan. Menahanku diam seperti ikan beku. Depak kakinya mengalun tenang di telinga seperti melodi angin bulan Januari. Aku merasakan frekuensi napasku perlahan kembali normal, tetapi berbanding terbalik dengan degup jantung. "Kupikir kalau pulang sekarang, kamu bakal kebasahan sampai jembatan."

Kini aku benar-benar berbalik badan. Mulutku berat. "Hambar,"sapanya tenang. "Lama enggak ngobrol denganmu."

Kuhirup udara hingga merasa volume tubuhku naik sedikit, lalu membuangnya ketika mengayun langkah kembali ke serambi bangunan sudut itu. Masuk dan melewati pasang matanya tanpa melirik sama sekali.

Aku menyalami Ajik, kemudian duduk setelah dipersilakan di tempat tidur gantung yang biasa digunakannya atau tukang kebun lain beristirahat. Sementara Ajik sendiri sekarang duduk di dipan panjang dari rotan dan bambu, berhadapan dengan anaknya yang bernapaskan Januari. Ada formasi indah dan khusus bidak-bidak catur di antara mereka berdua. Aku termenung. Ajik melihatku dengan tatapan datarnya yang biasa, bertanya, "Ujiannya selesai hari ini 'kan, Mbak?"

Serak sekali. Aku mengangguk.

"Kalau begitu, di sini saja dulu nggak masalah 'kan, nunggu hujan? Itu ada sawut yang dibawakan istri dari rumah." Aku sekali lagi mengangguk, tak bisa mendengarkan suara Ajik begitu jelas. Di depanku seperti ada yang mengarahkan untuk menggeser atensi pada dua bola mata lain yang seakan menatapku, lalu benar, mata kami bertemu. Tidak ada rasa canggung. Tidak ada keinginan untuk menghindar, melainkan tatapan sama-sama rindu untuk berbincang sekaligus perasaan tidak ingin sama sekali menyuarakannya. Aku memotong arus dengan membelokkannya ke pergerakan hati-hati tangan Ajik yang hendak mengubah posisi gajah hitam. Jantungku berdegup kian kencang. Bukan karena aku tahu akan ada skakmat dari bidak putih tiga langkah lagi, tetapi karena sesuatu benar-benar menggedorku dari dalam.

Hujan turun seketika lebat. Pintu terbuka dengan gaya yang sama dengan saat aku membanting pintu tadi. Sosok dibalut bayangan sekonyong-konyong berdiri di tengah pintu. Sontak kami memandangnya kaget. Perasaan ini. Aku seperti melihat diriku beberapa bulan lalu.

Aku datang kemari pertama kali dengan berbalut krim manis yang lengket di sekujur tubuh. Saat itu perayaan ulang tahun sekolah baru saja usai. Sepulang sekolah, panitia membeli sebuah kue sebagai bentuk syukur sebab kegiatan bhakti terakhir kami berjalan sukses. Kami berperang suka cita. Yang tidak kutahu adalah bahwa aku akan mendapat serangan ultra dari sebagian besar panitia yang mengetahui bahwa tanggal lahirku hari itu. Aku kabur dan mengunci diri dari dalam, sebelum akhirnya benar-benar lupa kalau sebetulnya sedang bersembunyi.

Bangunan sudut ini mempunyai aura yang cukup membuatku merasakan sedikit hawa kebebasan, aku sempat berpikir ruang penyimpanan peralatan kebun ini mempunyai pintu yang menghubungkan taman terbuka sekolah kami dengan salah satu dataran luas di Arizona. Volumenya prisma segi enam, dengan dua lantai dan satu tangga tanpa pagar pengaman yang di bawahnya bergantung beberapa tempat tidur gantung. Di sisi lain - seberang rak penggantung sapu dan bermacam-macam alat kebun, menempel sebuah rak kayu lain yang panjang dan berisi buku-buku. Otakku seperti kehilangan sistem pengaturan motorik dan begitu saja, tanganku bergerak sendiri menyentuhnya satu-persatu. Meraih sebuah berdasarkan naluri, kuhirup aromanya dan kudekap untuk duduk.

Pemandangan ruangan ini ruah. Seperti yang kulihat dalam frame sebuah film klasik yang alur ceritanya tentang bagaimana bertahan hidup di dalam kegelisahan tubuh seorang non-konformis, aku bisa tahu di sini biasa berdiri seorang yang saat itu belum kuketahui laki-laki atau perempuan, tetapi dia adalah orang yang bisa kurasakan kuat medannya berkebalikan denganku; dia seorang yang kupikir akan eksentrik pendiam dan perasa.

Begitulah kupikir awalnya, hingga ketika gedoran di pintu menjingkatkanku. Aku mengendap menepi ke dinding, karena pintu bangunan ini dibuat dengan lubang. Semacam ventilasi atau celah yang bisa digunakan petugas razia mengintip anak-anak nakal jika diperlukan atau melihat luar tanpa ketahuan seperti yang kulakukan. Saat kutahu dia bukan ancaman, aku membuka pengait. Pintu terbuka, dan beberapa langkah kaki basah bersama-sama dengan rintik air hujan masuk mengembus seperti terbawa angin. Laki-laki bernapas hujan bulan Januari.

"Ketua OSIS," ucapnya senada menerka keberadaanku di sini, menyeka tetes air di almamaternya.

"Hai." Aku kehilangan kata. Dia sibuk mengusap-usap lengan, masih lekat melihatku yang diam. Aku spontan menggaruk leher dan melanjutkan berkata, "Hambar, panggil saja Hambar."

Aku mengulurkan tangan, dan dengan perasaan syukur aku senang dia menyambutnya. "Lontar."

"Sudah pulang," katanya setelah segera melepas salaman dan bergerak membuka almari cepat-cepat, mengambil sesuatu.

"Apa?" Oh, jas hujan.

"Mereka, teman-temanmu mengira kamu kabur dan pulang. Kini lapangan sudah kosong." Dia memakainya sambil terus menatap tepat ke arah mataku. Keliru, dia lebih berani dari yang kupikir. Aku mundur ketika tiba-tiba tangannya melewati mukaku. "Kalau mau pulang menunggu hujan reda di sini saja tidak masalah, tetapi ada payung di sebelah sana kalau mau. Kembalikan besok," katanya sambil sudah memegang sapu dan alat pengeruk.

Dia bergerak begitu cepat dan tangkas. Menali sepatu, kemudian keluar menerjang hujan. Bahkan sebelum aku menjawab apa-apa tentang itu. "Mau ke mana?!"

"Ke lapangan," teriaknya beradu dengan hujan.

"Kenapa?"

"Membantu ayahku membersihkan kekacauan kalian." Suaranya menjadi semakin menjauh.

Ayahnya tukang kebun? "Kenapa sekarang?"

Dia berhenti, berbalik, dan aku bersumpah tidak pernah mengira dia akan melayangkan sinar mata yang entah bagaiamana bisa membuatku merasa bodoh sudah bertanya hingga termenung cukup lama. Melihat punggungnya lenyap di balik pohon Willow yang bergoyang-goyang diterpa angin bulan Januari.

Sebelum ini, aku tidak pernah berpikir akan seperti apa susahnya membersihkan sisa kekacauan kegiatan besar di sekolah. Tugasku sebagian besar hanya mengatur dan memantau, selebihnya adalah tugas panitia bagian seksi dan petugas khusus dari guru. Meski properti-properti sudah disingkirkan, tetap saja banyak sampah seperti kertas, kap, dan sisa-sisa konfeti yang amat susah dikumpulkan ketika hujan. Belum lagi kotoran makanan dan kue bekas perang yang menjijikkan bertebaran tidak karuan disapu air, aku sungguh merasa berdosa membuat orang lain kesusahan.

"Maaf, membuat kalian kerepotan begini." Aku bisa merasakan dia dan ayahnya terkejut melihatku menyusul dan langsung menyaruk tumpahan kue menggunakan tangan ke tempat sampah. Mukaku panas, tidak bisa melihat wajah mereka tanpa perasaan malu.

"Kubilang ada payung 'kan?" Benar.

"Aku sudah kotor kok, jadi sekalian bersih-bersih saja." Aku seharusnya bilang "seragamku". Mengapa suaranya terus membuatku malu?

"Bandel."

Suara deras air hujan mengisi liang pendengaran kami keras sekali sebelum suara serak memecah hening yang aneh. "Bersihkan dulu yang lembek dan sisa makanan, lainnya kita lanjutkan setelah hujan reda." Lalu begitu saja alat gerak tubuh kami kembali seperti baru saja diaktifkan dari mode tidur.

Alunan harmonika memenuhi ruangan tempat kami meneduh, Lontar yang meniupnya, sementara orang tua yang kutaksir berumur lima puluhan itu meniup benda pipih berujung menyala yang diapitnya dengan jemari. Sekarang bukan hanya musik, aku dikelilingi juga oleh asap. Ruang dan waktu yang kuingat sebagai permulaan cerita tentang sepasang mata yang terus menanam tatap, sambil menguncinya dengan Sajak-sajak Bukan Kata yang melantun lewat harmonika beberapa bulan ke depan.

Romantis yang dingin. Sebelum kemudian aku melenyapkan diri dari hadapannya karena sesuatu.

"Tiba-tiba hujan deras sekali."

Bayangan itu memudar dan mulai membentuk bingkai kacamata merah hati seiring kudengar suaranya.

"Oh? Sudah ketemu, ya?" Pertanyaan riang itu mengarah kepadaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top