Jodoh Kakak
Alya terkekeh kecil di balik gelas anggurnya. Menertawakan kabar entah yang mana karena segalanya sudah berkerumun ribut macam lalat berebut hinggap di atas makanan basi. Kepala Alya sudah penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang ia sendiri tidak tahu akan mengarah ke mana.
Satu sesap cairan kemerahan itu kembali membasahi mulut Alya. Memberi sensasi dingin menyenangkan saat anggurnya melewati kerongkongan.
“Gantikan kakakmu menikah dengan Regan. Papa nggak mau nama keluarga kita jelek karena perjodohannya dibatalkan sepihak.”
Alya kembali terkekeh, kali ini sampai napasnya sesak saking kerasnya dia tertawa. Keluarganya ini lucu sekali. Representasi keabsudran yang dibungkus dalam bentuk keluarga. Alya sampai tidak habis pikir bagaimana logika orang tuanya berjalan.
Kakaknya yang membuat nama keluarga mereka buruk, kan? Dan sekarang, Alya yang dituntut bertanggung jawab untuk kesalahan sang kakak.
Komedi macam apa, sih, yang sedang dia perankan sekarang?
Alya sampai di tahap percaya bahwa dirinya dilahirkan hanya untuk menjadi bayang-bayang kakaknya. Hanya diperlakukan layaknya putri saat ia harus menutup segala borok yang disebabkan tingkah urakan kakaknya.
Padahal, dia juga darah daging orang tuanya. Alya memiliki hak yang sama dengan sang kakak perihal kasih sayang di rumah. Sayangnya, segala belas asih orang tuanya, mungkin sudah dihabiskan penuh untuk sang kakak.
Alya itu tidak punya kesempatan memilih jika sudah berada di balik bangunan bernama rumah. Segalanya, sudah ditentukan oleh orang tuanya sejak awal. Tugas Alya, hanya duduk diam dan menerima saja.
Sedari awal, bahkan jauh sebelum orang tuanya mengabarkan sang kakak akan dijodohkan dengan putra rekan bisnisnya, Alya sudah lebih dulu mengatakan dirinya mempunyai kekasih. Namun, ucapannya hanya dianggap angin lalu. Bahkan saat ia ingin mengenalkan sang kekasih pada Papa dan Mama, keduanya langsung menolak mentah-mentah gagasan tersebut.
“Anak kecil kayak kamu tahu apa sih soal laki-laki? Paling pacar kamu itu cowok yang gak jelas asal-usulnya bagaimana.”
Kalimat pertama yang Mama katakan saat Alya mengatakan kekasihnya ingin bertemu. Begitu saja, tanpa mau repot-repot berkenalan atau paling tidak bertemu terlebih dahulu.
Maka, sampai di sana saja. Hubungan Alya dan sang kekasih, positif tidak akan pernah bisa berlanjut.
Sekarang, dengan semena-mena Papa meminta Alya menggantikan Kakak untuk mengikuti perjodohan bisnis mereka. Apakah di mata keluarganya, Alya hanya lelucon tanpa harga diri? Bebas digunakan jika mereka melakukan kesalahan sewaktu-waktu.
Konyol sekali.
Sayangnya, sekali lagi, Alya itu tidak memiliki hak memilih. Yang disematkan sejak dia lahir adalah kewajiban menuruti kemauan orang tuanya. Meski permintaan tersebut menembus logika yang bisa Alya mengerti.
Alya benci mengandai sesuatu yang mustahil terjadi di kehidupannya. Namun, isi kepalanya sedang menolak diajak bekerja dengan sehat.
Andai. Andai kakaknya tidak hamil dengan laki-laki lain, apakah perjodohan sang kakak dengan anak rekan bisnis Papa tetap berlanjut? Apakah dengan begitu, Alya bisa memiliki sedikit kebebasannya?
Bahkan setelah ketahuan tidur dan hamil dengan laki-laki selain calon suaminya, kakak Alya masih memiliki muka untuk mencecar.
“Bagus kan, Al? Akhirnya kamu bisa ngerasain jadi Kakak. Kapan lagi kamu bisa menikah sama anak CEO kayak Regan? Harusnya kamu makasih ke Kakak karena kasih kesempatan ke kamu. Ya walau akhirnya Kakak harus kehilangan Regan.”
Bukankah seharusnya perempuan yang berstatus kakaknya itu sedikit saja memiliki perasaan malu? Ditambah perempuan yang dua tahun lebih tua dari Alya itu harus terpaksa menikah dengan laki-laki mata keranjang yang menjadi ayah dari calon bayinya.
Lagi, Alya menertawakan kondisi mereka sekarang. Keluarganya itu jelas sebuah kebobrokan yang memaksa tetap terlihat baik-baik saja. Menjadikan Alya bulan-bulanan untuk keserakahan mereka.
Satu teguk kembali melewati bibir Alya. Memberi sengatan kecil di lidah, saat cairan alkohol bersentuhan dengan organ tanpa tulang itu.
Alya meringis kecil, menikmati sapuan dingin yang membasahi mulut juga kerongkongannya. Nyaman sekali.
Satu minggu lagi pernikahan Alya dan laki-laki yang mendadak menjadi calon suaminya akan digelar. Dan malam ini, pertama kalinya Alya bertemu dengan Regan. Pertama kali, setelah titah turun dari Papa.
Alya sengaja datang satu jam lebih awal, ingin menikmati kesendiriannya sebelum bertemu dengan Regan. Ponselnya sedari tadi dia letakkan di atas meja, dia biarkan begitu saja karena menunggu calon suaminya yang akan menghubungi sebelum datang ke sini.
Regan, ya. Alya sudah pernah bertemu dengan laki-laki itu. Terlebih, setiap acara makan malam kedua keluarga, Alya selalu ikut serta. Dulu, saat calon istri Regan masih kakaknya.
Calon suaminya itu, Alya akui, laki-laki tampan, representasi pengusaha muda yang biasa diidam-idamkan banyak perempuan. Sebuah wujud yang sempurna untuk membuat banyak gadis meneteskan liur hanya karena melihat visualisasi seorang Regan.
Tutur kata laki-laki itu juga lembut, bisa Alya konfirmasi sendiri pada acara keluarga keduanya. Regan selalu merendahkan badan setiap berbicara dengan yang lebih tua. Sopan-santun dasar agar membuat lawan bicaranya merasa nyaman.
Alya tidak ingin terang-terangan menatap Regan, yang saat itu masih berstatus calon suami kakaknya. Hanya saja, entitas Regan jelas mencuri atensi Alya sejak awal. Bahkan saat laki-laki itu memainkan ponsel di tengah acara makan keluarga, tidak lepas dari pengamatan Alya.
Masih ada tiga puluh menit sampai Regan akan menunjukkan diri di hadapan Alya. Perempuan itu juga sudah mengonfirmasi pada Regan akan datang lebih dulu. Sedangkan Regan, tidak bisa datang lebih cepat karena ada pekerjaan yang harus dibereskan.
Perasaan Alya sekarang tidak dapat dideskripsikan. Terlebih menit demi menit terus berjalan, waktu keduanya untuk bertemu semakin dekat.
Sampai ponsel di depan Alya berdering lembut, memunculkan nama Regan di layar gelapnya.
Seulas senyum tercetak di bibir Alya, sebelum tangannya bergerak meraih benda pipih dari atas meja.
“Halo?” sapa Alya, begitu sambungan dia angkat.
“All done, Baby?” tanya laki-laki di seberang, mengundang tawa lembut dari bibir Alya.
“Perfect,” jawab Alya. “Kerjaan kamu sudah selesai?”
Kali ini, Regan yang tertawa kecil. Menyenangkan sekali saat tawa itu memasuki telinga Alya. “Sempurna.”
“Hurry up, aku kangen,” pinta Alya, sambil merajuk kecil pada suaranya yang sengaja dia buat sedikit mendayu.
“On my way, Pretty. Akhirnya, ya.”
Alya mengangguk senang pada kalimat Regan barusan. “Iya. Akhirnya, nggak perlu sembunyi-sembunyi buat ketemu kamu.” Lantas, sambungan terputus.
Sejatinya, Alya menerima saja tidak diberi hak memilih. Sadar sejak awal, kehadirannya sudah dibelenggu tanggung jawab yang seharusnya tidak jatuh di atas pundaknya.
Namun, saat mereka mulai berlebihan, Alya tidak bisa terus diam, kan?
Maka, jangan salahkan Alya jika dia juga ingin mendapatkan bahagianya. Karena rumah bukan tempatnya mendapat suka, Alya akan mencarinya dari tempat lain yang sangat berbeda.
Regan Ardikana, namanya. Laki-laki yang lima tahun belakangan menjadi kekasihnya. Bahagia pun kebebasan yang tidak pernah Alya cecap, semuanya dia dapatkan dari sosok Regan.
Maka, saat laki-lakinya terancam terenggut dari pelukannya, ketika bahagianya nyaris diambil darinya, jangan salahkan Alya dia melakukan semuanya.
Kehamilan kakaknya, bukan tanggung jawab Alya. Melainkan karma karena perempuan itu berniat mengambil sesuatu yang dari awal adalah milik Alya.
Kabar baiknya, Regan Ardikana akan selalu berada di sisinya. Mendukung setiap permainan dan sudah Alya persiapkan sejak awal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top