Jembatan Kaya
(R-18)
“Bridgeton Aldera Mitzla, menjauh! Jangan pernah dekati aku lagi.” Dia, Kayanzie Tabitha, memberi ultimatumnya.
Namun, bukan Bridge namanya, jika menurut begitu saja dengan perkataan perempuan muda yang terpaut usia enam tahun darinya. Pria berperawakan tegap dengan rambut tertata rapi ke sisi kiri tidak pernah gagal menunjukkan statusnya. Setelan jas yang labelnya mencolok mata, jam tangan seharga rumah gedongan, sampai kilau sepatu yang membuat debu enggan menempel di atasnya.
“Terkadang perempuan itu selalu beda antara apa diucapkan dan yang disimpan dalam hati. Seperti sekarang, ketika kamu meminta aku menjauh. Sebenarnya hatimu meminta untuk aku mendekat. Kalau bisa menempel denganmu.” Dia tersenyum lebar, seakan tengah memamerkan deretan gigi rapi yang berkilau bak berlian di bawah sorot lampu.
“Eh, Jembatan. Kamu tuli, ya? Sekali aku bilang pergi itu artinya pergi!”
“Mau pergi ke mana? Kan, kita sudah menikah. Mau bagaimanapun juga, kamu terjebak denganku, di sini, selamanya.” Suara tawa keras penuh kemenangan menggema di kamar yang luasnya bak lapangan sepak bola.
Suara pintu tertutup terdengar menelan kebisingan dan Kaya berakhir sendiri dengan kegalauannya. Masih meradang, dia berjalan menghentak lantai. Suara hak sepatu membentur marmer menandakan emosi yang panas membakar hati. Berdiri di depan cermin, dia memandang bayang seorang perempuan berusia sembilan belas tahun, bertubuh mungil dengan rambut bergelombang memanjang sampai belikat. Wajah bulat dengan bintik matahari di sekitar hidung dan mata almond beriris cokelat terang menyempurnakan penampilannya.
Dia seharusnya terlihat menarik—sangat menarik—jika senyum menghias wajahnya. Namun, kini tidak ada kehangatan yang terpancar, hanya dingin yang mampu meretakkan kaca.
“Aku benci kamu!”
Masih mengenakan gaun putih pernikahannya yang sederhana dengan riasan natural, dia menjatuhkan tubuhnya di empuknya kasur. Emosi yang menggerus energi perlahan memaksa kedua kelopak matanya untuk menutup sampai akhirnya terpejam sempurna.
Mimpi membawanya ke waktu enam bulan yang lalu. Masa tergelap di kehidupannya, di mana perusahaan kedua orang tuanya hancur dalam waktu singkat akibat pengkhianatan teman bisnis yang sudah lama bekerja dengan sang ayah. Beberapa kali ayahnya harus menunduk—bahkan bersujud—ke beberapa CEO yang perusahaannya pernah terikat kerja sama. Namun, nilai jual saham yang sudah keburu anjlok, menggagalkan semua rencana.
Sampai akhirnya takdir mempertemukan Bard—Ayah Kaya—dengan pria angkuh si mata keranjang yang tidak pernah puas dengan satu perempuan.
“Tuan Bard, tahukah kamu bagaimana buruknya kondisi perusahaanmu sekarang di mata investor?” Suara berat Bridge terdengar angkuh di ruang kerja bernuansa monokrom.
“Saya tahu, karena itu saya datang untuk meminta bantuan kepada Anda, Tuan Bridgeton yang terkenal jenius dalam bidang bisnis.” Bard Tabroni berusaha merendah tanpa mengurangi martabat dalam pengucapannya.
“Baru kali ini aku mendapat laporan saham suatu perusahaan yang turun drastis sampai 25 persen dalam waktu beberapa jam saja. Apa yang sebenarnya kamu lakukan? Apa kamu 'mengerti’ cara menjalankan suatu perusahaan, Tuan Bard?” Dia menarik salah satu sudut mulut dan melipat kedua tangan di depan dada.
“Sepertinya orang tua ini mulai kehilangan sentuhan dalam berbisnis. Karena itu saya membutuhkan banyak bantuan dari Tuan Bridge untuk kembali bisa ikut serta memanaskan pasar saham.” Bard sedikit menunduk, tidak lagi ingin bertatapan dengan pria yang dinginnya bisa membekukan kembali es yang mencair di antartika.
“Anda tahu berapa harga aset perusahaanku ini Tuan Bard? Apakah milikmu bisa memberi nilai minimal seperempat darinya?”
“Jika Tuan Bridge berkenan membantu, saya yakin perusahanku bisa saja melampaui setengahnya.”
“Masih saja mengucap kalimat manis denganku.” Suara derit kursi terdengar diikuti langkah berat dan berwibawa Bridge. “Aku penasaran apa Anda masih bisa berbicara manis lagi setelah aku mengatakan ini. Berikan anak gadismu dan aku akan membantumu,” bisiknya di akhir kalimat.
Mata Bard membola, denyut jantungnya seakan kehilangan detaknya sesaat, dan lidah yang berulang kali membentuk kata manis berubah kelu. Perlahan dia mengangkat kepala, berharap akan melihat tawa menghias wajah. Namun, hanya ada lembaran keseriusan tergambar di wajah tampannya.
“Silakan keluar dari sini kalau Anda tidak setuju, Tuan Bard.” Bridge kemudian memutar tubuh dan menjauh.
Senyum sinis di wajahnya kembali terbentuk setelah beberapa detik pria berusia lima puluh tahun itu tidak juga membalas tawarannya. Sampai satu embus napas panjang terdengar dan pria itu kembali berucap.
“Baiklah, aku setuju.”
Singkat kata, di sinilah Kaya sekarang. Terbelenggu di sangkar emas di mana berlian lebih mudah didapatkan, tetapi tidak dengan kebebasan. Beberapa kali dia harus berurusan dengan pengawal pribadi yang ditugaskan oleh Bridge untuk mengawasinya selama sang suami jauh.
“Ke mana kalian membawaku? Sekarang, kan, jadwalku kuliah.” Kaya tidak berhenti meneror pengawalnya dengan pertanyaan setelah sedan premium ini berbelok arah ke tempat yang tak seharusnya.
“Permintaan Tuan Bridge. Semoga Nyonya tidak keberatan,” balas salah satu pengawal yang duduk di bangku penumpang depan.
“Berhenti memanggilku nyonya! Aku belum setua itu tahu,” ucap Kaya kesal.
“Nyonya adalah istri Tuan Bridge. Kalau kami memanggil dengan sebutan Nona atau hanya nama, sama saja kami mengantar nyawa ke neraka,” balas pria yang sama.
“Hmmph, banyak alasan,” gerutunya.
Tidak lagi bertanya banyak, Kaya memilih bungkam dan menikmati perjalanan yang sudah lama tidak dilakukan. Semenjak menikah dengan Bridge tempat yang dia kunjungi selalu monoton. Kalau bukan rumah bak istana yang sesepi kuburan atau kampus yang akhirnya mendapat sebutan kampus tercinta setelah sekian lama membencinya.
Selama itu otaknya terus memutar kejadian memalukan dan mengerikan yang belum pernah dihadapinya ketika malam pertama. Seorang pria melucuti pakaiannya sampai tak lagi tersisa lembaran kain di badan. Kaya berusaha untuk menghilangkan ketakutannya dan bersiap untuk kehilangan selaput yang menandakan kesucian tubuhnya. Namun, bahu yang tidak berhenti bergetar dan isak tangis yang terdengar di sela kata penolakan memadamkan gairah Bridge yang semula membara.
Kaya ingat betul saat sang suami memutuskan untuk melepas sentuhan dari kulit putihnya, menutup tubuh bugilnya dengan selimut, dan keluar kamar tanpa memedulikan dia sendiri dalam keadaan setengah telanjang. Meninggalkannya dalam tangis tak berujung di kesendirian malam.
Semenjak itu, Bridge tidak lagi mencoba untuk menyentuhnya. Bahkan mereka tidak lagi tidur sekamar. Hanya sesekali pria besar itu akan mengendap masuk ke kamar di kala bulan sudah bergerak tinggi. Kaya yang saat itu belum tertidur, tidak tahu apa yang dilakukannya selama di dalam. Dia cuma tahu sejam kemudian Bridge akan keluar masih dalam diam.
“Nyonya, kita sudah sampai.” Pria berkepala botak yang selama ini duduk di kursi pengemudi mengurai lamunannya.
Pintu terbuka membawa hawa dingin menerpa tubuhnya. Keluar kendaraan dengan tangan melipat di depan dada, Kaya diantar oleh dua orang perempuan mengenakan pakaian serba putih dengan tali hitam melingkar di perut menuju ruang yang berada jauh di belakang restoran.
“Silakan masuk, Nyonya. Tuan Bridge menunggu di dalam.” Mereka berdua membungkuk dan salah satunya membukakan pintu.
Masuk ke ruang berukuran 5x5 dengan sinar kuning pucat yang berasal dari lampu gantung di atas meja makan. Di sana terlihat Bridge tengah duduk ditemani perempuan berambut pendek sebahu yang tidak berhenti tersenyum kepadanya. Aura dewasa yang mendominasi dari kedua orang itu menciutkan keberanian Kaya
Kaya mematung sesaat saat melihat suaminya berduaan dengan perempuan lain, sesuatu menyayat hatinya. Sesuatu yang tidak disangka akan dia miliki. Sesuatu bernama cemburu.
“Kaya ke sini.” Dia berdiri dan menarik sebuah kursi yang berada di sisi kanannya.
“Ah, jadi ini yang namanya Kaya. Sayang sekali aku melewatkan pernikahan kalian, dia pasti terlihat sangat cantik di gaun serba putih.” Perempuan itu bangkit dan menjulurkan tangan yang segera diterima oleh Kaya.
Aroma parfum lembut floral menyerang penghidu, kulit lembut membasuh tangan, dan kecantikan alaminya membutakan hati. Mulut Kaya sudah bersiap untuk memaki perempuan yang berani mendekati suaminya. Namun, kalimat perkenalan yang diucapkan memadamkan sedikit api cemburunya.
“Kaya, perkenalkan ini mantanku, Isabel,” ucap Bridge yang segera dikoreksi oleh perempuan itu.
“Bukan mantan. Lupakan kata mantan kalau dari awal tidak pernah ada rasa cinta.” Isabel menepuk lengan kekar Bridge. “Jangan dengarkan dia, Sayang. Aku Isabel, teman dekatnya dari zaman kuliah.”
“Teman apa sampai berduaan di sini?” Walau Isabel berkata dengan lemah lembut, tetapi Kaya tetap tidak bisa menahan diri untuk membalas dengan kasar. “Teman plus plus?”
“Kaya!” gertak Bridge.
“Hei, hei, tenang. Wajar dia marah. Aku pun akan marah jika melihat suamiku berduaan dengan perempuan lain di restoran seperti ini.” Dia meletakkan jari-jari lentiknya di lengan Bridge. Bermaksud menenangkannya, tetapi hal itu justru memacu emosi Kaya. “Tapi sepertinya aku harus pergi dari sini sebelum dia semakin marah.”
“Siapa yang tidak akan marah—”
“Kurasa tugasku di sini sudah selesai. Sampai jumpa lagi, Bridge.” Tidak ingin memicu pertengkaran, Isabel bergegas ke arah pintu dan meninggalkan mereka berdua dengan semua permasalahannya.
“Kaya duduk,” pinta Bridge lembut.
“Siapa dia? Untuk apa kamu memintaku ke sini kalau tujuan awal hanya untuk berduaan dengannya!”
“Kaya, duduk dan akan kujelaskan.” Bridge masih mempertahankan kelembutan dalam suaranya.
“Aku tidak mau duduk di ruangan yang penuh dengan aroma parfumnya. Aku mau pulang!” pekik Kaya.
“Duduk! Aku sudah berusaha sabar denganmu, Kaya. Berusaha memaklumi kelabilanmu! Jadi, jangan pancing aku untuk lebih sabar dari ini!”
“Maaf kalau aku labil. Siapa suruh kamu untuk menikahi seseorang seperti aku! Siapa suruh kamu—“
“Duduk atau aku akan memulangkanmu ke rumah orang tuamu dan memutus semua kerja sama!” ancam Bridge dengan wajah memerah dan rahang menggeretak keras.
Ancaman yang tepat sasaran. Tidak lagi mengeluarkan kata-kata pedas, dia duduk di seberangnya dan melempar pandangan jauh ke sudut ruangan.
Beberapa kali Bridge mendengkus berat. Jelas sekali dia terlihat sedang mengatur emosinya sendiri sebelum membahas sesuatu yang sudah beberapa hari ini mengganggunya.
“Isabel adalah temanku. Betul dia adalah mantan, tapi hubungan itu sudah lama selesai dan kini dia menjadi satu-satunya teman perempuan yang bisa aku ajak diskusi mengenaimu.”
“Kamu membicarakan istrimu dengan mantanmu? Sungguh ide yang brilian, Tuan Jembatan.”
“Diam dan dengarkan aku. Butuh banyak pemikiran dan keberanian untukku mengatakan hal ini kepadamu.” Tidak lagi membalas dengan kalimat sarkasme, Bridge mulai menarasikan pemikirannya.
“Katakan.”
“Kaya, aku ingin kita akhiri hubungan ini—“
“A-apa?” Kini Kaya memusatkan perhatiannya ke pria setiap kerut di wajahnya menunjukkan kekalutan pikirannya.
Hatinya pecah berkeping-keping. Bukan hanya perusahaan orang tuanya terancam gulung tikar lagi, tetapi perasaan yang mulai menumpuk sedikit demi sedikit akan sulit untuk dipadamkan dalam sekali tiupan panjang.
“Aku ingin kita mengakhiri semuanya dan mulai dari awal. Mulai dari perkenalan, PDKT, kencan sebagai sepasang kekasih, dan jika cinta itu tumbuh. Aku ingin melamarmu layaknya pria sejati kepada kekasihnya.” Dia bangkit dan mengambil duduk di sebelahnya. “Apa yang terjadi sebulan yang lalu, mengubahku. Entah kenapa melihat kamu ketakutan saat tubuhku berusaha memikatmu, membuat pikiranku campur aduk.
“Aku berusaha untuk melupakan semua itu dengan bermain bersama perempuan lain, tapi ... aku tetap bisa menghilangkan wajahmu dari pikiranku.”
“A-apa? Ka-kamu selingkuh? Aku tahu kalau aku tidak menjalankan fungsiku sebagai istri dengan baik, tapi bukan berarti aku tidak mau melayanimu. Hanya saja—“ Kaya tidak lagi mampu melanjutkan kegetirannya.
Matanya sudah cukup panas dan hati tertusuk terlalu dalam mendengar semua pengakuannya. Tidak ingin lagi mendengar penjelasan yang bisa melukai lebih parah, Kaya beranjak bangkit dan berjalan menuju pintu keluar. “Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan pembicaraan ini. Aku mau pulang.”
“Kaya, tunggu!” Bridge memeluknya dari belakang. “Kumohon jangan tolak permintaanku. Kamu tidak tahu apa bagaimana semua ini mengganggu kehidupanku.”
“Dan kamu tidak tahu betapa sakitnya aku dengan pengkhianatanmu!” Kaya meronta di dalam dekapan sang suami. Alih-alih lepas, kedua lengan itu justru mengapitnya semakin kencang.
"Aku tahu, kamu boleh menamparku karena itu. Tapi kumohon jangan tinggalkan aku. Mari kita mulai segalanya dari awal yang baru.” Bridge menguburkan wajahnya di bahu Kaya yang mulai bergetar ringan. “Saat ini aku belum bisa mengatakan aku cinta kamu, tapi perasaanku yakin kalau aku sayang kamu. Jadi, katakan, Kaya. Maukah kamu menjadi pacarku?”
Bungkam sesaat, Kaya akhirnya menjawab, “Iya, aku mau.”
“Terima kasih. Terima kasih untuk kesempatannya, Kaya. Aku tidak akan mengecewakanmu.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top