Erma Melani
Saat sedang damai menikmati es kopi di siang hari. Tiba-tiba suara tidak enak di telinga muncul. Suara yang meluapkan emosi.
“Woi, bagi duit, Anjing!” Ada suara mengganggu tapi gue tetap menikmati es kopi yang nikmat ini walaupun kepala rasanya sudah panas. Ingin rasanya menabok congor orang ini. Namun, tiba-tiba dia menendang es kopi yang ada di tangan gue hingga tumpah membasahi wajah. Gue diam sejenak, mencoba menerjemahkan apa yang sedang terjadi.
“Lu jangan pura-pura budek, Bangsat!” Keadaan ini terpaksa membuat gue harus bergerak.
“Apa?” tanya gue sambil menatap wajah orang itu.
“Eh, lu kan ... E ... Erma Melani?” jawabnya.
“Kalau iya kenapa, Bangsat?”
“Ma ... maafkan kami. I ... ini buat ganti rugi kopinya.” Seketika mereka lari menjauh. Dasar tidak bertanggung jawab, es kopi gue sudah telanjur tumpah. Akhirnya gue ambil uangnya untuk beli es kopi yang baru. Agak males sih, soalnya jauh banget tempatnya. Oh iya, anjing lupa gue, nama gue Erma Melani. Gue cewek ya, meski teman-teman bilang gue mirip cowok karena penampilan gue.
Setelah minum es kopi, gue ke tempat biasa. Tempat teman-teman gue biasa berkumpul, di sana agak sepi tempatnya. Kami sudah janjian di sana. Jalan Samid atau kami menyebutnya Arena 2. Kami menyebutnya Arena 2 karena di sana akan menjadi tempat pertempuran antara dua geng, gue bersama geng Rin akan menghadapi geng Mata Ijo. Mereka berencana merebut daerah kekuasaan kami. Pertempuran ini tidak bisa dihentikan.
Gue melakukan pemanasan sedikit. Memukuli pohon, bukan pohon yang besar, hingga tumbang. Hingga waktu yang ditunggu tiba. Gue dan teman-teman yang lain sudah cukup lama menunggu. Mereka, geng Mata Ijo pun tiba dengan membawa senjata tajam.
“Er, gimana nih? Mereka bawa senjata tajam. Lu yakin enggak mau pakai?” ucap Reni, teman gue. Dia memberikan sebuah celurit, tapi gue menolaknya.
“Tenang, cuma senjata tajam kok,” jawab gue santai.
“Seperti biasa ya, jangan mati,” ucap Reni.
“Siap,” jawab gue.
Pertempuran dimulai. Mereka bertempur saling mengadu senjata. Suara senjata itu pun mengacaukan pikiran. Salah satu dari mereka menuju ke arah gue, menodongkan golok yang terlihat tajam.
“Menyerah aja deh lu!” ucapnya.
“Kalau gue enggak mau?” tanya gue.
“Mati aja berarti!” Dia menebaskan goloknya. Gue dengan cepat beranjak hingga berada di belakangnya, lalu memukul lehernya, tepat di titik yang akan membuatnya tak sadarkan diri. Dia pun tersungkur.
Gue pun berlari bergabung dengan yang lain. Kurang lebih ada dua puluh orang yang masih tersisa. Gue layangkan pukulan tepat di perut pada musuh berikutnya dengan cepat. Gue melihatnya terkapar. Lalu teman gue menambahkan pukulan telak dengan bagian bawah senjata pada punggungnya. Dia pun jatuh.
Sebelumnya gue sudah bilang untuk tidak melukai menggunakan senjata tajam, cukup memukul titik lemah dari musuh menggunakan bagian bawah senjata. Gue pun lanjut melakukan hal yang sama pada musuh berikutnya dan seterusnya. Beberapa saat kemudian, semua musuh pun pingsan. Kami menang telak. Tidak ada yang terluka parah, mereka hanya pingsan.
Ketua mereka pun bangun, dia mengaku kalah. Setelah anggota mereka bangun semua, mereka pun pergi. Gue bersama geng Rin pun merayakan kembalinya daerah kekuasaan ini. Kami langsung beli sate kambing, nasi goreng, kerang hijau untuk disantap malam ini. Tidak lupa minumnya juga. Malam yang indah tentunya, sekalian kami mengobati beberapa anggota yang terkena senjata tajam. Beruntung tidak ada yang terluka parah.
Keesokan harinya di sekolah, waktu istirahat saat gue mau makan cilok. Gue menemukan seorang murid cowok, dengan penampilan culun, dan dia sepertinya satu kelas dengan gue. Dia dipalak oleh dua orang murid yang memang terkenal suka mencari masalah. Murid-murid ini, gue tahu, mereka dari geng Dendam. Katanya sih, orang yang cari masalah sama mereka bakal diteror sampai habis. Beberapa bahkan ada yang terpaksa berhenti sekolah karena tidak kuat menahan teror dari mereka.
Gue enggak bisa tinggal diam. Murid culun itu tersungkur dan sepertinya uangnya diambil dari saku bajunya.
“Woi, Babi! Mau ke mana lu?” tanya gue.
“Eh, ada cowok tapi enggak punya batang!” ucap mereka sambil tertawa.
“Balikin duitnya atau gue hajar lu!”
“Apa sih nih cewek, mau gue perkosa lu di sini?” Mereka tertawa lagi.
Gue mulai muak. Gue maju dengan cepat dan menendang perut salah satunya. Dia mengeluarkan darah dari mulutnya. Satu lagi gue tabok mukanya hingga pingsan. Setelah itu gue ambil uangnya dan memberikannya kepada Chain Desember, itu nama yang ada di nametag murid culun itu.
“Lain kali hati-hati!”
“I ... iya, terima kasih.” Dia tersenyum dan beranjak pergi.
“L ... lu ya, habis lu nanti!” ucap salah satu dari mereka. Gue menatapnya sebentar lalu pergi.
Keesokan harinya, sepulang sekolah. Gue melewati jalan yang agak sepi. Hampir tidak ada orang di sini. Namun, ini adalah jalan tercepat untuk sampai ke rumah. Rasanya ingin cepat sampai saja, ingin rebahan. Lelah sekali hari ini.
Tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti di samping gue. Langsung saja, beberapa orang memukuli dan mengikat tangan lalu memasukkan gue ke dalam mobil dan membawa gue entah ke mana. Ketika sampai mereka mengikat gue pada tiang bangunan. Mereka juga membuka tiga kancing paling atas baju gue, sehingga setengah dada gue terlihat.
“Seksi juga lu ya,” ucap salah satu dari mereka.
“Geng Dendam ya, sudah gue duga,” ucap gue.
“Pintar! Kenalin gue ketuanya. Nama gue Maco,” ucapnya.
“Tingkah lu enggak ada maco-maconya, Njing!” jawab gue sambil berusaha melepaskan ikatan ini.
“Salah lu sendiri, berani berurusan sama geng gue. Keperawanan lu mungkin bisa jadi bayaran setimpal walaupun gue enggak terlalu doyan cewek tomboi sih. Gimana menurut kalian semua?” ucapnya sambil bertanya kepada teman-temannya.
“Yoi, Bos! Joni gue lagi gatel nih kebetulan,” ucap salah satu dari mereka.
“Bajingan! Lepasin enggak!”
“Apa? Udah enggak sabar mau buka baju?”
“Bangsat!” teriak gue.
Tiba-tiba dari kejauhan terlihat murid culun yang kemarin dipalak. Aku ingat namanya Chain Desember, dia membuka pintu dan berjalan mendekat.
“Bos, kok dia bisa masuk kan banyak penjaga di sana?”
“Menarik, mau ngapain lu bocah tengil?”
“Bang, masalah anda kemarin itu sama saya, enggak ada hubungannya sama dia!”
“Ngomong aja masih pake bahasa baku, bisa apa, Culun? Hajar cepat!”
Seketika beberapa anggota geng Dendam memukulinya. Namun yang terjadi adalah Chain tetap berdiri tegak seolah tidak terjadi apa-apa. Mereka memukulinya lagi, tapi keadaan tetap sama hanya baju Chain saja yang sobek. Chain tetap tidak bergerak.
“Segini aja?” tanya Chain. Anggota geng Dendam terlihat kewalahan.
“Giliran saya ya,” ucap Chain lagi. Dia membuka bajunya. Terlihat badannya sangat kekar dengan urat yang cukup menonjol. Begitu cepatnya dia bergerak, menghajar satu per satu anggota geng Dendam hingga berdarah-darah. Dia pun membuka ikatan gue. Akhirnya bebas juga, gue pun segera mengancing baju dan bersiap menghajar Maco yang tinggal sendirian.
“Biar saya saja, saya polisi. Penjelasannya nanti saja ya,” ucap Chain.
Chain pun menonjok tepat pada wajah Maco hingga bonyok dan pingsan. Dia mengambil sejenis handphone di sakunya dan berkata, “Masuk.”
Belasan polisi pun memasuki bangunan ini dan mengepung geng Dendam. Mereka memborgol satu per satu dan membawa geng Dendam ke dalam mobil tahanan lalu pergi satu per satu. Chain pun memakai bajunya kembali. Dia menghampiri gue.
“Anda tidak apa-apa? Mau beli minum?” tanya Chain.
“Boleh juga, kebetulan agak panas di sini,” jawab gue. Sekalian gue mau tahu lebih banyak tentang dia.
Gue membeli es kopi seperti biasa. Dia membeli es cendol. Kami diam sejenak. Gue yang sangat penasaran mulai bertanya.
“Lu Chain Desember kan? Kemarin gue lihat dari nametag lu.”
“Iya betul, itu nama saya.”
“Terus kenapa lu tahu geng Dendam dan bisa tahu mereka di bangunan itu?” tanya gue penasaran.
“Kamu?” tanyanya.
“Ah ya lupa, gue Erma Melani,” jawab gue.
“Gadis yang pemberani. Mereka, geng Dendam sudah lama kita incar. Mereka pengedar narkoba dan bertanggung jawab atas kasus pemerkosaan serta kekerasan.”
“Astaga, gue banyak berutang budi sama lu nih. Maaf ya, gue sempet berpikir lu anak culun.”
“Tidak apa-apa, memang itu salah satu penyamaran saya.”
Kami berdua pun saling berbicara hingga entah berapa lama. Entah kenapa gue enggak pernah bosan mendengar suaranya. Dia bahkan tahu gue pernah tawuran antar geng dan dia juga sudah mengawasi gue sejak lama. Wah, menyeramkan sekali dia ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top