Hari ini, tanggal empat belas Februari. Di SMA kami, gadis-gadis akan datang lebih pagi, dan para pria akan datang setelat mungkin—sebelum bel berdentang tentunya. Tidak ada aturan tertulis, tapi semua orang tahu, gadis-gadis akan menyusupkan cokelat dan hadiah ke loker atau meja pemuda yang mereka sukai. Dan para pemuda, memberi kesempatan para gadis—meski tentu saja penasaran—melakukan pekerjaan mereka.
Tapi, aku tidak peduli. Entah bagaimana aku yakin aku tidak akan dapat cokelat lagi tahun ini. Dan memang tidak pernah dapat. Bukan berarti aku buruk rupa, hanya saja aku ditempeli makhluk paling tampan sejagat raya—tentu saja ini bukan aku yang bilang, melainkan penggemar si Pantat Ayam. Jadi, meski tampangku rata-rata, kalau dijejer tentu saja tidak bisa dibandingkan.
Nah, namanya adalah Uchiha Sasuke, dengan mata elang, tubuh proporsional, dan kulit yang tak kalah indah dari perempuan. Secara garis besar, Sasuke cantik. Sedangkan aku bermata biru, berambut pirang dan berkulit tan. Orang Amerika akan mengatakan aku seksi. Tapi, hey! Ini adalah era di mana flower boy lebih disukai. Semua dimulai setelah boy band Korea menjajah dunia!
Oh, aku lupa menjelaskan kenapa aku memanggilnya Pantat Ayam. Kau lihat fotonya? Nah—iya, aku tahu wajahnya aku blur. Aku tidak berharap kalian salah fokus lalu melupakan betapa anehnya bentuk rambutnya. Benar-benar seperti pantat ayam kalau dilihat dari samping! Tapi kenapa tidak ada yang sadar?
Namun, dia punya panggilan yang populer; Pangeran Es. Terima kasih pada ekspresi dan sikapnya yang dingin dan kulitnya yang pucat. Tapi tetap saja, penggemarnya banyak. Oh, terima kasih Wattpad sudah mempopulerkan pria-pria dingin, bad boy, dan CEO sebagai incaran gadis-gadis yang entah hidup di dunia maya, fana atau rahim. Aku tidak peduli lagi!
Tapi, lihatlah. Kini kami berdiri di depan gerbang, datang dari arah yang berlawanan. Kami terdiam sesaat, saling menatap, lalu mendekat dan melewati gerbang bersama.
“Kenapa kau datang lebih pagi kali ini?” tanyaku nyaris tanpa intonasi. Aku selalu kesal ketika melihatnya. Seperti, aku menganggapnya tanda kesialan.
“Hanya berharap mengurangi kesempatan mereka menyelipkan cokelat dan hadiah ke loker dan kolong mejaku, atau bahkan rak sepatu.”
Aku berdecih. Dia pamer lagi. Kalau boleh jujur, aku juga datang pagi-pagi karena hal yang sama; menghentikan mereka menyumpalkan cokelat dan hadiah ke loker Uchiha di sebelahku.
Tapi ..., ya, itu hanya tapi. Lihat!
Hadiah kecil berjatuhan dari loker Uchiha Sasuke tepat ketika ia selesai membukanya. Kini memenuhi kakinya. Dan lihat, lokerku kosong sekosong hatiku sekarang. Sialan!
Sasuke mendesah berat. “Lihat, aku jelas-jelas menuliskan di sini—“ dia menunjuk bagian depan lokernya, “—kalau aku tidak suka cokelat, jadi sekarang mereka memberiku hadiah.”
Cinta memang selalu punya jalan menuju roma—nsa. Aku memutar bola mata.
“Buatmu saja semuanya.”
Aku membelalak. “Tapi itu kan buatmu!” Aku protes. Aku tidak sudi menerimanya. Kalau aku tahu apa isinya, nanti aku bisa jadi lebih sakit hati!
“Lemari di kamarku sudah tidak muat menampung hadiah mereka.”
Lihat, lihat, lihat! Wajah sialannya, ucapan tanpa intonasinya, benar-benar membuatku murka!
“Berhenti menjadi sok dingin di depanku, Sasuke!”
“Tapi kan kau yang suruh. Kau bilang, kalau aku bersikap dingin gadis-gadis—“
“Iya, tapi itu dulu, sebelum Wattpad menyerang Konoha, Sasuke! Sekarang gadis-gadis jadi tidak waras! Tolonglah anakmu, Ibu Kushina!” makiku sambil menjambak rambutku sendiri. Aku ingin menangis. Aku ingin menangis!
“Baiklah, baik. Aku akan memberikan ini ke panti asuhan saja.”
Sasuke meletakkan tas ranselnya di tanah, lalu mengeluarkan sebuah tas plastik jumbo dari sana. Aku sudah tahu kalau dia sudah tahu. Menyebalkan.
Tapi, ini baru permulaan. Ketika kami akhirnya sampai di kelas, jelas, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Namun di saat yang sama di atas meja Sasuke penuh dengan cokelat. Alasannya adalah karena kolong mejanya sudah tak muat. Aku memukul jidat.
“Kau mau?”
Lagi-lagi dia bertanya.
“Tidak. Aku bisa terus melar ke samping.”
“Kenapa kalau tampak gemuk sedikit?”
“Cih! Kau memang berniat membuatku seperti bola sedangkan kau tetap langsing, kan?”
“Kau tahu benar aku tidak suka makanan manis, Naruto. Lagi pula kau tetap lucu dengan pipi berisi.”
Ah, sudahlah. Dia selalu begini. Selalu mengejek seolah memuji. Dasar rubah!
Setelahnya, satu per satu anak lain muncul, termasuk para siswi yang entah menghilang entah ke mana tadi. Kelas menjadi bising, terutama para gadis yang diam-diam melirik ke arah Sasuke. Sebagiannya berbisik satu sama lain—yang tak perlu mencuri dengar, aku tahu mereka sedang merencakan memberikan cokelat kepada seseorang.
Bel berdering, dan begitulah bagaimana pagiku berakhir.
--
Aku mendesah. Rasanya lelah sekali. Sumpah. Di kelas, kantin, bahkan ketika di kamar kecil, si Pantat Ayam ini selalu mengintiliku seperti anak anjing. Rasanya belakang menjadi lebih parah—khususnya hari ini. Apakah tidak melihat wajahku yang buruk rupa ini sedetik saja bisa membuatnya mati? Hey, aku bertanya serius!
Saat ini di kantin, tentu saja, Sasuke ada di depanku, menyuap satu demi satu tempuranya dengan elegan—layaknya bangsawan kerajaan. Jujur saja, aku tidak nasfsu makan. Lalu ponsel di sakuku bergetar.
Pesan dari Sakura.
Sakura: Naruto.
Aku: Apa, Sayang?
Sakura: Aku pikir Sasuke menyukaimu.
Aku menyemburkan makanan dari mulutku ke wajah tampan, menawan namun dingin Sasuke. Pria itu menatapku, sedetik, dua detik, namun akhirnya mengambil serbet dari saku kemeja dan mengelap wajahnya tanpa mengatakan apa-apa. Maksudku tanpa mencerocos, mengumpat atau apa.
“Aku akan cuci muka. Tunggu di sini.”
Aku melongo, kemudian Naruto terbatuk-batuk. Segera, kukembalikan atensiku pada ponsel di tangan.
Apakah Sakura bercanda? Tidak mungkin. Gadis berambut merah muda itu akan mengomeliku alih-alih tidak mengacuhkan panggilan sayangku. Dia benci itu.
Aku: Kau membuatku merinding.
Sakura: Aku akan memberimu bukti.
“Kau sudah selesai?”
Sasuke sudah kembali? Cepat sekali.
“Eum, y-ya, sudah.”
Entah kenapa aku jadi gugup. Tapi ..., serius? Sejujurnya, aku pun penasaran bagaimana Sakura akan membuktikannya. Namun, tak sampai lima menit, aku langsung mendapatkan jawabannya.
Sakura mendadak muncul entah dari mana, menghadangku, dengan tangan membawa tas kertas. Wajahnya tampak malu-malu. Heh? Padahal dia selalu bar-bar.
“Na-naruto. Aku menyukaimu!” teriaknya.
Aku terperenyak. Sejujurnya aku juga menyukaimu Sakura, namun jika tidak ingat sebanyak apa aku mengajakmu berkencan, sejumlah itulah kau menolakku mentah-mentah. Kau selalu berdalih sudah punya kekasih, yang entah siapa, entah di mana. Atau itu cuma alasan. Tapi, bukankah ini kesempatan yang tak boleh disia-siakan?
“A-aku juga—“
“Naruto sudah punya pacar,” sela Sasuke.
Sakura tampak terkejut—meski wajahnya cenderung memberi kesan penasaran. Kali ini lebih meyakinkan.
“Siapa?”
“Aku.”
Orang-orang di kantin berdiri. Beberapa gadis mulai histeris, menangis, sebagiannya berlari pergi meninggalkan makan siang mereka di meja begitu saja. Laki-laki mulai berbisik satu sama lain.
“Iya ‘kan, Sayang?”
Aku menganga. “Te-tentu saja ti—“
“Iya. Tentus aja iya. Sekarang ayo pergi, Naruto.”
Sasuke menarik lenganku. Aku mengikutinya dengan keadaan linglung. Ketika menoleh ke belakang, Sakura melambai senang. Hah? Apa-apaan.
Sasuke membawaku ke tempat sepi. Di bawah tangga. Diam. Hening. Setelah sadar amarahku membuncah, dan ketika ingin menonjok wajahnya Sasuke meraih cepat tanganku.
“Maafkan aku.”
Serius. Lagi-lagi dia mengatakannya tanpa intonasi, pun ekspresi.
“Maaf. Kau satu-satunya tameng.”
Apa maksudnya?
Seolah bisa membaca pikiranku dia berucap lagi, “Bertindik, bertato, berperingkat paling bawah satu sekolah, dan suka melanggar peraturan. Tapi paling penting, kau jago baku-hantam. Cukup di dekatmu, gadis-gadis tidak ada yang berani mendekatiku.”
Aku diam. Melongo. Apakah aku sedang dihina sekarang?
“Dan gadis itu akan menggagalkan rencanaku mendapatkan kehidupan tentram sampai lulus nanti, jadi, mari pura-pura pacaran.”
Aku tahu. Benar dugaanku. Pria ini memang biang kesialanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top