Balik Mulih
Acap kali selesai gelar Pengantin Glepung, sudah biasa Bambang menyajikan tarlingan. Namun, malam itu berbeda. Ningrum naik panggung. Mendendangkan “Mabok Bae”, suara Ningrum tidak hanya menghipnotis semua yang hadir, melainkan juga anak kedua Bambang. Dalam mata seorang bapak, Bambang menangkap gelagat berbeda si anak. Sasmitanya seolah nyaring berkata di telinga Bambang bahwa sudah saatnya dikawinkan.
****
Dalam lindap sudut stasiun, sosok Ningrum terabaikan. Berselonjor dia dan menyulut keretek yang sedari tadi terapit di bibir. Tak ada asap yang berbondong-bondong keluar dari hidung dan mulut. Hanya desah yang ditimpali samar suara angin. Meski pandang matanya mengunci deretan rel kereta, pikirannya membumbung ke masa muda.
Kata orang, hidupnya pasti sejahtera. Sejak kabar keluarga Bambang ke rumah tersebar dari mulut ke mulut, Ningrum sudah digadang-gadang bakal mendadak kaya. Bagaimana tidak? Selain punya kebun tebu dan pabrik gula, Bambang aktif membangun rumah kontrakan, juga memiliki berhektar-hektar sawah, serta puluhan kambing. Dan lantaran perangai Bambang yang baik lagi dermawan, banyak tetangga yang beranggapan kelak Ningrum akan seperti putri keraton. Tinggal ongkang-ongkang kaki, tetapi semua kebutuhan terpenuhi.
Ningrum tersenyum kecut, kemudian cekikikan. Suara tawanya mengundang salakan anjing liar di kejauhan dan sentak tangis bayi yang sempat terbuai mimpi. Dia tidak berhenti. Malah semakin menjadi mengingat betapa orang-orang di kampung menatapnya iri selama arak-arakan pernikahan. Memang, kalau dipikir-pikir, siapa yang tidak kepingin di posisi Ningrum? Meski yang disandingkan adalah perjaka tanpa pikiran matang, menjadi mantu juragan sudah pasti gelar yang diidamkan.
Sawang-sinawang. Tawa Ningrum mereda. Teringat dia ucapan mendiang si buyut. Orang hidup yang terlihat luarnya saja, si buyut berkata. Perkara dapur, kasur, sampai tetek-bengek di dalam siapa yang tahu benarnya, si buyut menambahkan. Jelas, yang dipandang para tetangga sebatas perkara mahar, seserahan, dan tiga hari tiga malam pesta. Tentu, yang ditangkap kebanyakan orang adalah mertua perempuan yang welas asih membimbing menantunya bahkan sampai ikut ke pasar. Mereka tidak tahu, kalau di belakang tembok rumah paling bagus itu bagaimana Ningrum diperlakukan.
Ningrum tahu diri. Dia tidak seperti menantu pertama Bambang yang seorang PNS. Bukan pula seperti perempuan yang disunting putra bungsu Bambang yang masih berdarah ningrat. Meski bila disandingkan Ningrum jauh lebih cantik, pendidikannya hanya sebatas lulusan SD. Selain itu dia yatim piatu. Sempat dirawat si buyut sebelum dibawa kakak ibunya. Secara utuh, Ningrum tidak punya perisai. Si buyut sudah tertimbun tanah seperti orang tuanya sedang si bibi tidak mau tahu. Kesadaran itulah yang membuat dia selalu manut. Disindir sedemikian pahit, dia diam. Disuruh berbenah layaknya babu, dia kerjakan. Diperintah ini-itu bahkan sampai dilarang makan bersama, dia lakukan.
Ningrum meringis. Batinnya kembali teriris mengingat betapa samar statusnya di rumah Bambang. Walau sudah Arya—putra kedua Bambang—mengucap ijab kabul dengan lantang dan benar, nyatanya Ningrum tak pernah digagahi. Lelaki itu lebih suka bermain di belakang rumah. Mengorek-ngorek tanah untuk kemudian menangkap cacing dan akan dicekoki ke ayam-ayam di kandang. Saban Arya kembali dengan tubuh yang kotor, selayaknya bocah, akan Ningrum mandikan. Tidak ada yang membangkitkan syahwat di antara mereka.
Secara fisik, Arya memang mumpuni. Tubuhnya tinggi dan sekal. Hidungnya mancung seperti Bambang. Bulu matanya lentik dan rambutnya ikal. Namun, menghadapi Arya selaiknya berhadapan dengan bocah. Ocehannya ngalur-ngidul, pertanyaannya berulang-ulang, dan tidak jarang Ningrum mendapati kasur mereka bau pesing. Dari sisi mana Arya bisa tertarik pada Ningrum? Kalau untuk menatap saja, dia lebih senang pada cacing dan ayam.
Ningrum kembali cekikikan. Salakan anjing di kejauhan menimpali, saling bersahut-sahutan dengan tangis bayi yang pecah lagi. Dalam, dia menghisap keretek. Tak ada asap yang keluar dari mulut dan hidung. Hanya embus angin yang dirasa semakin kencang. Tak lama, pemberitahuan kereta datang. Beberapa penumpang mulai menenteng barang bawaan, bersiap berebut duduk kala kereta berhenti.
Ningrum menyendiri. Bukan lindap lagi yang menaungi, melainkan pekat gelap dalam gerbong yang dia pilih. Raungan mesin kereta menjadi satu-satunya suara yang masuk telinga. Bertahun-tahun sudah. Saatnya dia pulang. Bukan untuk sungkem kepada kedua mertua lantaran kabur dari rumah. Bukan juga guna melepas rindu pada satu-satunya anak yang dia punya. Namun, sekadar menuntaskan rintihan batin.
Ningrum bersandar dan mulai menembangkan “Mabok Bae”. Satu dari sekian lagu Aas Rolani yang dia gemari. Dulu, Ningrum berhasrat menjadi biduan tarling terkenal. Seperti Inul Daratista, mulai dari satu panggung ke panggung lain, hingga akhirnya berangkat ke Jakarta. Semangat itulah yang membuat kepalanya terangguk saat ditawari tampil di malam setelah Pengantin Glepung.
Pengantin Glepung. Nyanyian Ningrum berhenti. Sesal mulai menampak di hati. Teringat kembali dia akan ucapan si buyut. Dalam tutur si buyut, ikut arak-arakan Pengantin Glepung bukanlah sesuatu hal yang baik. Melihat sepasang pengantin yang terbuat dari beras ketan dan beras putih itu sejatinya memang untuk menolak bala pada musim panen giling tebu. Namun, selalu ada keapesan yang dialami bagi mereka yang ikut-ikutan. Ningrum merasakan apes itu langsung. Langsung dari si pemilik pabrik.
Seandainya dulu punya Ningrum keberanian untuk menolak, mungkin tak perlu sampai menggelandang di Jakarta. Mengamen bahkan tidur dengan pria hidung belang dia lakoni untuk bisa terus mengunyah nasi. Bukan. Ningrum menggeleng. Lamaran itu tak bisa dia tolak. Walau yang disodorkan pemuda tanpa pikiran, tetap Ningrum yang akan disudutkan jika berani menolak. Justru ajakan Bambanglah yang seharusnya dia tepis.
Bambang memang berbeda dari istrinya dalam memperlakukan Ningrum. Jika dia di rumah, tak seorang pun berani memerintah Ningrum. Maka bisa Ningrum makan bersama dan bebas dari tugas seorang kacung. Bambang juga sering menyelipkan berlembar-lembar uang dan menasihati Ningrum layaknya anak sendiri. Sebab Bambang yang seperti itulah Ningrum serasa menemukan sosok bapak lagi. Bambang yang sabar. Bambang yang baik. Bambang yang bijaksana. Bambang yang memiliki tatap mata sayu penuh kasih sayang. Semua dalam diri Bambang, Ningrum puja.
Namun, benar kata si buyut. Jarang ada kebaikan yang cuma-cuma. Bambang mulai meminta imbalan. Kunjungan Bambang di malam itu Ningrum anggap sebagai rutinitas biasa. Sebagai seorang bapak yang mengaku sangat menyayangi anak-anaknya, terutama Arya, tak pernah Bambang lewatkan untuk menengok sebelum tidur. Maka, tanpa curiga; tanpa mengganti baju yang lebih tertutup, Ningrum persilakan Bambang masuk.
Awalnya, semua biasa. Bambang mengecup kening Arya dan berbisik kalimat sayang di telinga Arya. Namun, tak lekas dia beranjak keluar. Dia malah meminta Ningrum menutup pintu kamar. Ada hal serius dan penting yang ingin disampaikan, katanya. Ningrum menurut. Termasuk saat Bambang mengisyaratkan duduk di pinggir ranjang, hanya berjarak dua jengkal.
Pada Ningrum, Bambang ucapkan terima kasih sudah mengurus Arya. Kemudian, bicaranya melebar hingga ke sikap si istri.
“Tolong maafkan ibumu itu. Dia begitu karena masih kesal. Kalau kesalnya sudah hilang, pasti bakal baik.” Posisi duduk Bambang bergeser, lebih dekat ke Ningrum. Tanpa ragu, bapak tiga anak ini menggenggam tangan Ningrum.
Dari situ Ningrum merasa ada yang tidak beres. Namun, tak ada kuasa untuk melepas genggaman Bambang, termasuk kecup di pipinya. Tidak hanya sikap, tatap sayu itu pun berubah. Seolah ada yang membara dalam diri Bambang. Tubuh Ningrum gemetar, tetapi genggaman Bambang semakin kuat. Perlahan, Bambang mendekat. Dalam kamar yang masih menyala lampunya itu Bambang berujar, “Tidak seharusnya saya menikahkan kamu dengan Arya. Cantik seperti ini sayang tidak dipakai.”
Apesnya, rasa takut malah membuat sekujur tubuh Ningrum kaku luar biasa. Lidahnya berat bahkan untuk berteriak. Sementara Arya mendengkur, di lantai Ningrum dilumat habis Bambang.
Mengingat malam itu membuat batin Ningrum bergemuruh. Bagaimana bisa dia begitu pasrah? Terlebih, tidak hanya sekali Ningrum dijadikan pelampiasan nafsu bejat Bambang. Sampai akhirnya hamil. Ibu mertuanya justru membanggakan Arya kepada tetangga. Belakangan Ningrum mengerti bahwa Bambang memegang kekuasaan tertinggi di rumah. Tak ada yang berani membantah. Semua kompak menutup mata dan telinga. Semua tunduk padanya.
Hingga Ningrum melahirkan seorang putra, Bambang masih kerap menyambangi kamar; tak sabar akan sensasi yang mampu mengingatkan pada masa dulu. Namun, Ningrum memutuskan untuk tidak lagi meladeni. Maka, selepas nifas, minggat dia dari rumah. Dalam hatinya tertanam bahwa setelah makmur hidupnya di Jakarta akan dia ajak si anak. Tidak lupa, memaki dan melempar uang ke muka kedua mertuanya.
Sayang, hidup di Jakarta tidak semudah di kampung. Ningrum terkungkung dalam kemelaratan. Dia tidak berhasil menjadi artis dan berakhir di jalanan. Hilang mukanya buat balik ke desa. Meski tak lihat dan dengar langsung, tetapi dia tahu sudah jadi bahan gunjingan.
Ningrum menyalakan lagi keretek. Tak ada asap yang keluar dari mulut dan hidung. Hanya desah panjang yang diiringi mesin kereta. Pada akhirnya, dia akan sampai kampung halaman. Batinnya semakin merintih. Seratus hari sudah. Biar kali ini dia menuntaskan apa yang diidamkan sedari dulu. Meski tidak lagi dapat dilihatnya langsung, setidaknya batin bisa puas.
Ningrum sampai dini hari. Lama sudah tidak dia telusuri jalanan desa. Sudah banyak yang berubah. Dulu, rel panjang menjuntai dari kebun tebu hingga ke depan pabrik Bambang. Kini, tertimbun aspal. Pabrik pun beralih fungsi menjadi tempat uji nyali. Dan rumah Bambang bukan lagi istana idaman setiap orang. Rumah itu tidak terawat dan terkesan menjadi gudang setan.
Ningrum masuk ke halaman. Dadanya berdesir. Pikirannya melayang. Segera dia kuasai diri dan kembali berjalan. Di bagian belakang rumah, tempat biasa Arya mengorek tanah, ada beberapa nisan terpancang. Satu di antaranya punya Bambang. Satu yang lain punya istri Bambang. Ningrum mendekat. Tidak ke arah nisan paling ujung, melainkan yang di tengah.
Kecelakaan itu terjadi bertahun yang lalu. Menjadi topik di mana-mana bahkan berkali-kali muncul di acara berita. Yang membuat orang semakin tertarik untuk mengangkat perkara ini adalah Bambang beserta istri, anak kedua, dan cucunya tewas terpanggang dalam mobil, tujuh hari setelah anak pertama dan menantunya mati di ruas jalan yang sama. Tak lama berselang setelah jasad Bambang dikebumikan, anak bungsu Bambang juga menantunya menyusul ke alam baka. Kecelakaan di ruas jalan yang sama.
Ningrum terkikik seru. Entah memang Tuhan sangat baik padanya atau sekadar kebetulan. Sewaktu pergi dari rumah ini, dia memang bersumpah; meminta agar Bambang beserta keturunannya mati dengan cara mengenaskan. Meski begitu, batin Ningrum masih bergemuruh. Belum puas dia, kalau bukan dari bibirnya langsung keluar makian, hinaan, dan sumpah serapah. Diinjak-injaknya gundukan atas nama Bambang. Tak lupa, nisan ibu mertua pun turut diludahi.
Batin Ningrum kini disesaki puas dan terasa sangat ringan. Ketika fajar tampak, dia ikhlas menghilang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top