Bad Habits

"Nah! Apa gue bilang? Nggak usah ngurusin kita." Dia menyeringai, menepuk-nepuk dadaku. "Daripada capek, terus muka lo jadi jelek. Kan, sayang."

Aku menghindar saat tangannya hendak menyentuh pipiku, dan itu membuatnya gemas sampai kupikir kuku hitam panjangnya bakalan mencakar wajahku.

Beberapa menit lalu, kami baru saja berdebat di dalam ruang konseling (yah ... kebanyakan aku yang berbicara, sih) pasal banyaknya aturan yang dia langgar dalam sehari ini. Aku kesal. Berkali-kali aku mencari keadilan selama menjabat sebagai ketua OSIS, tetapi kalah cuma karena si cewek nakal ini cucu dari pemilik yayasan. Bayangkan saja: pagi ini dia telat, suara sepeda motornya mengganggu di jam pelajaran, bolos dan nyaris menabrak Pak Satpam, bahkan merokok di ruang klub menggambar bersama teman-temannya. Rasanya aku ingin membentak Kepala Yayasan saja!

Aku menghela napas keras, baru kusadari cewek ini terus menatapku.

"Lo ganteng, tau." Dia mendekatiku, dan entah kenapa aku tidak bisa menghindarinya. Mungkin karena punggungku sudah menyentuh tembok? Pokoknya, tatapannya membuatku bengong selama beberapa detik. Lantas, saat ia menarik seragamku dan menciumnya, aku terbelalak, dan terlambat buat bereaksi sebelum dia pergi dengan santai.

Sialan! Bekas lipstiknya tertinggal!

Hari-hari berikutnya, kenakalannya mampu membuatku mencakar wajah temanku. Dia mulai bertingkah macam preman pasar-merampas buku apapun itu dari siswi yang sedang membaca di koridor lalu melemparnya ke lantai satu atau tempat sampah, bahkan merekrut beberapa siswa berwajah lumayan untuk jadi pesuruhnya.

Nah ... karena itu, dia menghampiriku yang sedang mencamil di pinggir lapangan. Katanya, "Mau buat kesepakatan? Mau aja, ya." Dia duduk di sebelahku dan menyilangkan kakinya. "Gue bakalan rajin ke sekolah, nggak bolos, nggak telat juga."

Tawarannya memang menggiurkan. Aku tidak perlu lagi melihatnya keluar-masuk sekolah seenaknya, atau suara motornya yang menyakiti telinga. Namun, mengingat bahwa dia bukan cewek normal, sudah pasti tawaran yang diberikannya akan banyak merugikanku.

Saat aku menoleh, dia menyeringai puas. Hingga sesaat setelah aku mengimbuhkan, seringainya lenyap. "Merokok juga."

Tangannya terlipat di depan dada setelah menyuruh salah satu cowok-mungkin adik kelas-duduk di sampingnya, memberinya sebotol soda.

"Adiktif. Lo nggak bisa ngatur hal semacam itu."

"Kalau begitu, aku menolak."

Kaleng soda itu dilempar hingga mengenai batang pohon dengan suara keras sampai isinya mengenai ujung sepatuku.

"Fine!" Nada suaranya tiba-tiba terdengar santai. Kecurigaanku semakin meningkat. "Gue bakalan berhenti ngerokok. Asalkan ... hari ini juga lo jadi pacar gue."

Terbatuk-batuk si adik kelas sementara aku nyaris melompat dari kursi. Sudah kuduga tidak ada yang bagus dari cewek itu.

"Tapi, Kak. Bagaimana dengan Kak Reksa-" si adik kelas menelan ludahnya saat tatapan cewek itu beralih padanya. "Ma-maaf."

Harusnya aku pergi saja sejak tadi, dan sekarang, entah apa yang menahanku untuk tetap di tempat sambil mendengarkan hal bodoh yang keluar dari mulut si cewek nakal ini.

"Tenang aja." Dia tersenyum, kemudian memeluk lenganku dengan posesif. Aku sampai bergidik, berusaha melepaskannya, tetapi dia memelukku begitu erat. "Reksa udah setuju, kok. Lagian, siapa dia berani ngatur gue? Dan, Ren. Kalau lo nolak, itu artinya .... Lo tau, 'kan? Gue nggak main-main kali ini."

Kata-kata dalam mulutku sulit untuk dikeluarkan. Entah apa rencananya. Selama aku menjabat sebagai ketua OSIS, memarahinya, melaporkannya pada para guru, tidak ada hal yang terjadi padaku walau dia sudah mengancam. Namun, kali ini, aku punya firasat bahwa dia sungguhan. Aku tidak masalah jabatanku dicabut, tetapi jika lebih dari itu ....

"Cuma status, 'kan?" Aku memastikan walau tahu bahwa kemungkinan tidak menyenangkan akan keluar dari mulut cewek itu.

"Kita, kan, sudah resmi. Status bisa diubah. Tapi ..." Dia melirik Adik Kelas, menyuruhnya pergi dengan tatapannya. Saat ia menatapku, aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. "... tanda kepemil-"

"Allahu akbar!" Aku refleks berdiri. Kenapa wajahku terasa panas?! "Aku perlu ke UKS. Sebaiknya bicarakan ini nanti saja."

Bahkan aku belum mencapai tiga langkah, lenganku sudah ditahan, lantas dipeluk begitu eratnya. "Adek lo, katanya punya masalah di sekolah. Asal lo tau aja, yang membuatnya seperti itu adalah sepupu gue."

Tubuhku menegang. Adikku memang tidak pernah cerita pasal kehidupan sekolahnya, tetapi aku tahu bahwa dia selalu dalam masalah. Buku atau isi tas lainnya yang hilang, bahkan memar di kaki dan tangannya. Semua itu telah membuatku memberanikan diri untuk menghadap kepala sekolah di sana. Namun, jawabannya tetap sama: adikku ceroboh.

"Kalau lo nurut sama gue, gue pastikan adek lo aman. Gue bakal bilang ke sepupu buat berhenti ganggu dia. Gimana?"

Gigiku bergemeletuk, menahan amarah. Saat mendengar tawarannya, benakku terus membujukku untuk menerimanya. Hingga pada akhirnya, aku tidak punya pilihan lain. Bahkan tidak menolak saat ia menciumku.

*****

Hari-hari berikutnya, kehidupanku di sekolah ini rasanya kacau. Cewek itu memang tidak telat dan bolos lagi, tetapi teman-teman cowoknya masih tetap saja. Meski begitu, perubahan itu bukan hal baik bagiku.

Kami pacaran. Seluruh sekolah tahu status kami, sampai-sampai aku mendapat surat ancaman di laci mejaku-para cowok penggemar Alessa. Selain itu, ada satu adik kelas yang berani mendatangiku dan bilang, "Kak, kenapa? Kakak itu baik. Kenapa harus Kak Alessa?"

Aku tidak bisa menjawab apa-apa, cuma bisa berkata, "Makasih, ya." Entah makasih untuk apa. Aku saja bingung.

Selain di sekolah, Alessa juga menyuruhku untuk melakukan kencan. Bayangkan saja aku disuruh duduk di jok belakang motor gedenya. Tidak etis dan aneh! Jadi, kutolak saja. Menyuruhnya pergi lebih dulu sementara aku naik angkot. Ajaibnya, Alessa mau ikut denganku berdesakan dalam mobil sempit.

Kupikir tempat kencannya semacam kafe atau mal, tetapi justru bangunan berisik di tengah gang. Tanpa diberitahu pun, aku tahu tempat apa itu.

"Lo, kan, pacar gue. Gak sopan kalo nggak ngenalin lo ke temen-temen gue." Alessa menggandengku, tetapi aku menghentikan langkah.

"Ini nggak ada dalam perjanjian. Lagi pula, kau, kan, sudah janji untuk tidak-"

"Telat, bolos, merokok. Tiga. Apa gue salah?"

Bodohnya aku!

"Ada sepupu gue di sana. Lo bisa ngomong langsung sama dia. Terserah lo pukul dia, kek. Gue pastiin dia nggak bakal bales atau protes."

Kesempatan bagus ini tidak datang dua kali! Bagus, aku jadi ingin segera bertemu dengan sepupu brengseknya.

"Varen!" Seorang pemuda berseru. Reksa-apa aku harus menyebutnya sebagai mantan pacar Alessa?-menyambutku dengan senyum lebar. Saat ia menepuk bahuku, aku bisa mencium bau tembakau. Bahkan di seluruh ruangan saat aku masuk sepenuhnya.

Orang-orang yang ada di dalam sini terlihat ... kacau. Tangan mengapit rokok, asap di mana-mana, kartu remi bertebaran di meja, piza di atas sofa, dan gaya pacaran yang ... tidak layak. Mereka semua masih di bawah umur, tetapi lagaknya seperti orang dewasa.

"Oh .... Dia, ya, yang otak-atik motor lo, Sa?" Seorang pemuda berambut merah menyengir ke arahku, mempersilakanku duduk di sofa yang bersih dari piza atau orang berpacaran. Mendengar ucapannya, aku langsung merasa was-was. Namun, Alessa cuma tersenyum alih-alih marah.

Asal tahu saja, demi mencegahnya keluar-masuk sekolah selama pelajaran berlangsung, aku melakukan hal kecil dengan motor Alessa. Yah ... paling: mengempiskan ban motor. Namun, aku gagal lantaran Alessa punya cara lain buat bolos.

"Alessa," bisikku, sementara pandanganku ke sana kemari. "sepupu kamu yang mana-eh? To-tolong jaga batasan."

Alessa tidak mendengarkan. Dia memeluk leherku sampai-sampai aku bisa mencium aroma wangi darinya, dan aku bergidik saat ia berbisik tepat di telingaku. "Belum datang, kayaknya. Lagian, kita, kan, baru sampai."

Kulihat Reksa memperhatikan kami. Dia mungkin cemburu, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menghela napas.

Jadi, yang kulakukan selama hampir dua jam di ruangan suram ini cuma duduk, ikut-ikutan tertawa walau aku tidak tahu apa yang lucu, menolak segala tawaran dari mereka. Hingga ketika pulang, pas sekali sepupu Alessa datang. Aku jadi punya kesempatan untuk memukulnya berkali-kali, kemudian berhenti saat tanganku merasa sakit.

"Loh? Udah?" Si Brengsek ini bertingkah seolah-olah pukulanku hanyalah cambukan sehelai lidi, atau memang begitu? Bahkan dengan santainya dia berkata, "Oke, deh. Gue gak bakal ganggu adek lo."

Itulah kencan pertama kami yang tidak ada apa-apanya bagiku. Justru aku merasa dirugikan. Badanku bau rokok, dan ibuku nyaris melemparkan wajannya ke arahku.

Esok dan seterusnya, aku mengalami hari yang buruk. Teman-teman OSIS-ku seperti menjauh, bahkan aku mendengar obrolan mereka tentang betapa bodohnya aku yang mau hanya karena Alessa cantik dan berkuasa. Seberusaha mungkin aku tidak memedulikannya walau rasanya sulit.

Alessa menjadi semakin tak terkendali. Maksudku, dia terus menempel padaku, memelukku di depan orang-orang, bahkan mencuri ciuman di pipiku. Aku menjadi risi, nyaris membentaknya di depan banyak orang.

Dia kembali mengajakku berkencan di tempat perkumpulan orang-orang nakal itu, tetapi aku menolak, bilang padanya bahwa aku akan memutus perjanjian. Namun, dia punya kartu emasnya. Jadi, aku tidak bisa menolak saat adikku dibawa-bawa. Berkali-kali, sampai rasanya muak.

"Tolong. Kalau mau kencan, ke mal, gitu."

Alessa menyeringai, memeluk lenganku posesif. "Lo, kok, gemesin banget."

Kata ibuku, aku memang imut, tetapi kalau gemas ....

"Pokoknya, apapun rencana kalian, kamu nggak ikutan, 'kan?" tanyaku, masih berusaha melepaskan pelukannya dari lenganku karena orang-orang di jalan memperhatikan.

Alessa mendongak, membuat ekspresi imut yang membuat wajahku memanas. "Kok, lo ngatur, sih?" Lenganku terbebas dari pelukannya, tetapi firasatku tidak enak. "Ingat perjanjian kita? Gue udah nggak ngerokok lagi, dan adek lo udah tenang. Lo mau buat dia sakit lagi?"

Kata-kataku tersangkut di tenggorokan.

"Jadi ..." Lenganku kembali dipeluk selama perjalanan menuju halte. "... diam aja dan ikuti perintah gue. Adek lo bakalan aman sampai lulus."

Itu memang harapanku. Akan tetapi, yang menjadi taruhannya adalah diriku. Teman-teman mulai terang-terangan membicarakanku, dan nilaiku menurun. Apa ini ... yang aku harapkan? Padahal aku ketua OSIS, yang seharusnya bisa bersikap tegas dan bijak. Ibuku bahkan mengeluh dengan seragamku, mengira aku sungguhan merokok.

Sampai saat di mana kesabaranku nyaris meledak. Aku ditugaskan ibu untuk membeli keperluan dapur di malam hari dengan sepeda, yang kebetulan juga aku melewati jalan sepi, tahu-tahu aku melihat sekumpulan remaja yang masih memakai seragam sekolah, membuat kebisingan dengan suara motornya.

Alessa di sana, duduk di atas sepeda motornya sembari menghisap rokok. Sudah kuduga dia tidak akan menepati janjinya. Saat aku menghampirinya, dia cuma tersenyum.

"Varen!" Panggilannya itu berhasil mengalihkan perhatian teman-temannya.

Aku menghampiri Alessa, menyemburnya dengan kata-kata. "Kau melanggar janji kita. Kau bahkan-" Aku menghindar saat ia melemparkan rokoknya ke arahku.

"Bah! Ini, kan, bukan di lingkungan sekolah."

"Tapi kalian memakai seragam sekolah," geramku, lantas memelotot saat Reksa datang dan memeluk Alessa.

"Apa yang nggak gue sukai, Reksa?" Alessa bertanya manja pada Reksa.

"Diatur."

"Nah!" Alessa menjentikkan jarinya. "Kali ini, gue nggak mau bersabar lagi. Lo emang ganteng, tapi sayang nyebelin. Reks, terserah lo mau apain dia."

Aku menegang.

*****

Kendati aku sudah membuatnya kesal, Alessa masih mengeklaimku sebagai pacarnya. Aku ingin memutuskan perjanjian, tetapi lagi dan lagi adikku dibawa-bawa.

Saat ia tidak mengajakku kencan, aku kembali melihatnya berkumpul di jalan sepi dengan geng motornya, hendak melakukan hal tidak pantas untuk dilakukan seorang pelajar. Balap liar.

Berkali-kali. Aku berusaha mencegahnya dengan mengempiskan ban motor, tetapi tidak berhasil lantaran mereka ternyata punya ban cadangan di ruang klub menggambar. Atau mencongkel salah satu mesinnya. Kali ini, aku ketahuan dan kena pukul.

"Gue udah sabar berkali-kali, loh," kata Alessa, memaksaku untuk menatapnya sementara aku terkulai lemas di parkiran. "Kali ini, kita putus. Gue nggak peduli lagi sama adek lo."

Aku menahan pergelangan kakinya, hendak memohon, tetapi aku justru kena tendang. Kemudian, teman-teman yang lainnya ikut menendangku sampai rasanya aku melihat sang Maut.

Sejak saat itu, teman-teman kembali padaku, merasa simpati, padahal itu tidak perlu mengingat mereka pernah mencibirku. Yang lebih parahnya, adikku kembali kehilangan bukunya, dan aku begitu marah saat melihat bilur di lengannya.

Aku ingin membalasnya. Hanya saja ... bagaimana? Berkali-kali aku berusaha merusak sepeda motor Alessa, berkali-kali juga aku gagal dan kena tendang. Berkat itu, tekadku untuk balas dendam memuncak.

Hingga, beberapa hari kemudian, aku mendengar berita bahwa: Alessa mengalami kecelakaan parah akibat rem blong.

"Lo, 'kan?!"

Aku meringis saat tinjunya menghantam wajahku.

"Selama ini lo yang otak-atik motornya! Itu artinya, kali ini lo yang membuatnya-" Kalimatnya menghilang di udara bersamaan dengan tinjunya melayang ke perutku.

Aku terkekeh-kekeh, dan itu membuat Reksa geram sampai tidak bisa mengontrol tinjunya di perutku.

Aku sekarat. Anehnya aku masih bisa berkata, "Dia pantas mendapatkannya."

****

Apa ini?! Aneh, kan? >:""" Ya Allah ... kelogisannya hilang entah ke mana (。ノω\。) Yang penting dah ngumpulin aja. Entah ini bisa dibilang klise atau nggak. Aku dah pasrah.
Selamat bergeli-geli ria (「'・ω・)「

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top