Dead End
Pemenang Watt-a-Decade
Ditulis oleh niscadhika
Silakan kunjungi karya-karya lain penulis yang tidak kalah serunya.
----
Pm 5.30, 07 Januari.
Pesta ulang tahun?
Kau tahu, sejak setengah jam yang lalu orang-orang itu sudah mulai berdatangan ke rumahku. Suara percakapan mereka terdengar hingga ke lantai dua, masuk ke kamarku yang pintu kayu bercat hitamnya tertutup rapat. Aku masih berkutat dengan layar komputer dan konsol game, setengah permainan lagi dan ini semua akan berakhir-aku akan menjadi pemenang. Beberapa kali pintuku bergetar, diketuk berulang dari luar dengan suara kakakku sebagai latarnya. Suaranya terdengar redam, kalah keras dengan rentetan tembakan dari earphone yang membuat telingaku terasa pengang tapi menegangkan.
Lalu pintu itu terbuka dengan terpaksa, berdebam membentur dinding. Aku menoleh sekilas, mendapati sosok Shota-saudara kembarku berdiri dengan memegang lengan kirinya.
"Kau keluar atau kumatikan aliran listrik ke kamarmu?"
"Sebentar lagi, pergilah."
"Kazuma!"
Aku tak menjawab, mengabaikan teriakannya. Mungkin perbuatanku itu membuatnya marah karena konsol game berpindah ke tangannya. Layar komputerku kemudian menampilkan tulisan game over dengan huruf besar-besar dan sangat jelas. Aku menghela napas, menatap layar itu dengan datar.
Shota meletakkan dengan perlahan konsol itu ke pangkuanku, menepuk bahu dan keluar dengan langkah terburu. Pintu kembali tertutup dengan sedikit keras.
"SHOTA!"
Dia meneriakkan kata maaf dari luar. Aku membanting konsol game ke atas ranjang, mematikan komputer, lalu berjalan malas untuk keluar dari kamar. Pesta ulang tahun ke delapan belas kami menungguku di bawah.
Aku Kawamura Kazuma, delapan belas tahun di hari ini. Bersama dengan si pengganggu bernama Shota-yang harus berposisi sebagai kakak, padahal kami hanya berselisih enam menit. Suara musik menyambut pendengaranku yang tersumbat headset, membuatku melayangkan tatapan malas ke orang-orang, lebih tepatnya kenalan Shota yang berlalu lalang di rumah kami.
Kupikir saudaraku itu memanfaatkan kesempatan perginya orang tua kami ke Hokkaido untuk membuat pesta tidak penting di rumah. Dengan alasan pertama kali dalam delapan belas tahun, ayah mengijinkannya.
Posisiku saat ini hanya diam di dekat anak tangga paling bawah. Mereka sudah menatapku aneh sejak tadi, seakan aku makhluk halus atau sejenis iblis yang baru keluar dari singgasananya. Realitanya aku memang tidak mengenal mereka semua. Hanya Yuna, mantan kekasih dua bulanku yang kini sudah bergelantungan manja di lengan Taishi, pemain baseball andalan sekolah dan idola semua gadis. Dia rivalku untuk urusan akademis. Salah seorang sahabat Shota yang pernah menuduhku curang soal nilai hingga berakhir aku harus mengalah di urutan kedua peringkat akhir.
Di sofa ada tiga pembuat onar-kelompok penguasa sekolah yang sialnya Shota pimpin. Mereka menghormati Shota, tapi membenciku. Menganggapku anak polos yang layak untuk ditindas ketika Shota tidak ada di antara mereka. Aku menempatkan orang-orang itu di daftar pertama mereka yang layak kubenci. Mungkin tulisannya akan sekecil isi otak mereka, aku tidak peduli.
"Shota, apa yang dia lakukan? Kenapa dia ikut pestamu?"
"Dia adikku, jadi biarkan saja."
"Kupikir dia hantu yang mirip denganmu."
Shota memukul lengan si tubuh tambun yang baru saja mengolokku. "Akan kupukul kau nanti."
Aku mendengus, melengos pergi ke arah pintu samping.
"Kau yang akan menjadi hantu nanti."
Rumahku tidak terlalu besar, berlantai dua dengan halaman samping yang mungkin masih bisa untuk membangun satu rumah lagi. Rumput hijau itu tertutup salju, dengan bekas jejak kaki yang melintas menuju ke arah belakang rumah kami. Aku tidak begitu peduli, mungkin Shota yang tadi pagi membuang sampah ke belakang sana.
"Apa yang kau lakukan?" Suara seseorang menginterupsiku.
Aku menoleh, seorang pemuda dengan gaya formal berdiri di ambang pintu. Aku tidak mengenalnya. Wajahnya menyerupai seorang caucasian dengan mata sipit dan tubuh yang lebih tinggi dariku. Kuperkirakan usianya satu atau dua tahun lebih tua dari peraupan wajahnya. Kulitnya sedikit pucat, pengaruh gen kurasa.
"Mencari angin," jawabku kembali berbalik ke arah depan.
Dia menyusulku, berdiri di samping. "Kenapa kau tidak menikmati pestanya?"
"Kau sendiri kenapa lari ke sini?"
"Mencari angin."
Aku mendecih, meliriknya sekilas. "Jawaban yang bagus."
Tidak ada yang kami bicarakan lagi setelah itu. Berdiam diri dengan pikiran masing-masing, mencari angin segar musim dingin di tengah hiruk pikuknya pesta ulang tahun Shota di dalam sana.
"Kazuma!" seru Shota, dia berderap lalu menarik lenganku. "Haruskah aku memborgol tangan kita agar kau tidak kabur?"
"Lakukan itu dan aku akan mengacaukan pestamu."
"Ini pestamu juga, bodoh!" Shota memukul kepalaku.
"Sakit!"
Dia menyeretku, memaksaku berdiri seperti orang bodoh di depan dua potong kue yang sangat kontras sekali. Cokelat dan ....
"Jangan bercanda," geramku pelan.
"Kue strawberry ini rekomendasi dari temanku, jangan menatapnya tidak suka begitu."
"Terserah kau saja, sialan."
Aku mendengus untuk kesekian kalinya. Shota memang saudaraku, tapi pergaulan anak itu menular pada kelakuannya. Sebuah fakta yang menempatkannya di daftar nomor dua. Wajah-wajah mengejek mereka memantik amarahku, tapi tentu saja aku tidak akan menunjukkannya. Bermainlah dengan dingin, maka kau tidak akan terbakar apinya. Aku sok bijak sekali.
Kami berdiri di hadapan sekitar dua puluh orang. Aku hanya mengenal beberapa, sisanya hanya sebatas tahu wajah mereka. Semuanya adalah teman sekolah kami, tapi aku tidak yakin dengan orang yang tadi kutemui. Dia terlihat yang paling tua di antara kami. Orang itu berdiri di ujung paling kiri dari deretan lima orang yang berada di depanku dan Shota. Dari ekor mata, dia tersenyum, ikut bernyanyi, dan tertawa dengan yang lain. Ah mungkin seorang alumni yang Shota kenal.
"Tiup lilinnya dan jangan lupa berdoa." Yuna bersuara.
"Mengerti, mengerti." Shota menjawab. Dia menyenggol lenganku. "Lakukan saja."
Memutar bola mata, aku menghela napas. Mataku terpejam.
Musnahkan saja semua hal yang kubenci di dunia ini.
▪▪▪
Aku membuka mata dan meniup lilin. Api yang bergerak karena angin itu padam dan mereka bersorak. Shota ditarik ke tengah-tengah mereka. Musik mulai diputar lagi, lalu aku melenggang pergi. Berniat meneruskan game yang Shota kacaukan tadi. Tapi niat urung kulakukan saat teriakan seorang gadis membuat suasana seketika senyap. Aku berbalik, dan mendapati beberapa orang menuju ke sumber suara. Taishi-yang entah sejak kapan sudah berada di dapur.
"Tunggu, tunggu!" Shota maju selangkah dengan tangan yang terangkat. "Kau tidak akan merusak pestaku, kan?"
"Taishi-kun."
Aku mendekat, membelah kerumunan. Beberapa meter di depan Shota, Taishi membawa pisau daging dan sudah menempelkannya di pergelangan tangan. Ini bukan bagian dari sebuah pesta.
"Jangan nodai lantai rumahku dengan darahmu, bodoh."
Shota memelotot padaku. "Bodoh, Kazuma."
Aku mengendikkan bahu. Membersihkan darah akan merepotkan dan bau anyir itu bisa membuatku mual.
Taishi tersenyum, menatapku. "Hei, kau," ujarnya padaku. "Yuna-chan sangat membuatku ketagihan. Dia begitu lihai dalam bermain."
"Hah?"
"Taishi!" Shota berteriak.
Aku melirik Yuna, dia menunduk dan menangis. "Ck. Hentikan omong kosongmu, kembalikan pisau itu atau ibuku akan marah."
Taishi tertawa kemudian berwajah datar. Yang terjadi setelahnya membuatku menahan napas dan beberapa orang menjerit. Taishi roboh ke lantai dengan tangan yang terpisah dari tubuhnya. Darah itu menggenang, mengalir hingga ke ujung sepatuku.
"Sial! Panggil ambulans dan polisi!" Shota berlari melewatiku yang masih diam mematung.
Mata itu menatapku, dingin dan penuh kebencian. Tubuhnya mengejang beberapa kali sebelum diam dan tak bergerak lagi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang membuatnya mengakhiri hidup, tapi ini semua seolah seperti salahku.
Yuna masih berdiri di sampingku lalu menghampiri jasad Taishi untuk menangis di sampingnya. Belum selesai aku memahami situasi, keributan yang lain datang dari teras rumah. Orang-orang itu berkumpul di halaman, menatap ke arah lantai atas rumahku.
"Jangan bercanda, Daichi!"
"Kalian semua akan bahagia ketika aku mati!"
Shinosuke Daichi, sahabat dekat Shota. Perisakku di sekolah dan murid dengan peringkat paling bawah di kelas tiga. Anak itu berdiri di balkon kamarku. Yang membuatku heran, sejak kapan dia masuk ke sana?
Aku mengusap rambut frustasi, berlari ke dalam rumah dan berniat menolongnya. Sialnya pintu kamarku terkunci dari dalam.
"Bantu aku!" seruku pada dua orang yang turut serta.
Pintu terbuka dan berdebum membentur dinding di percobaan kedua kami, menyisakan rasa ngilu di lengan kananku. Daichi terlonjak kaget, ekspresinya garang ketika bersitatap denganku. Aku berlari mendekat dan menarik lengannya. Dia berbalik, menyambar kerah bajuku dan menahan tubuhku di pagar pembatas.
"Jika kau mati denganku, apa Shota akan bahagia?"
"Kau bicara apa?!"
Daichi menggeram, meninju pipiku. "Aku muak dengannya! Shota! Anak itu terlalu besar kepala!"
"Turunlah dan lampiaskan amarahmu padanya, aku tidak akan ikut campur."
Daichi mendorong tubuhku hingga tersungkur, memberontak ketika dua orang yang membantuku tadi berusaha menahannya.
"Kau yang menyuruhku turun, Kazuma. Selamat tinggal."
"Oi!"
Semuanya terlalu cepat untukku. Bunyi debum dan jeritan dari lantai bawah terdengar ketika tanganku hanya berhasil meraih udara kosong di depan pagar pembatas. Tubuh Daichi tergeletak di bawah sana, dengan kepala yang menoleh ke kanan dan darah merembes di bawahnya. Mungkin jika kepalanya tidak membentur pot beton di bawah sana, Daichi masih selamat. Kami bertiga mematung, tidak bisa mencerna kejadian yang terjadi secara beruntun.
Shota di bawah sana, terduduk lemas di tanah. Aku menghampirinya dan membantunya berdiri, melewati jasad Daichi yang telah tertutup kain putih dengan noda darah. Yuna masih menangis setelah seseorang membantunya pergi dari samping tubuh tak bernyawa Taishi.
"Kenapa?" Shota bersuara dengan begitu pelan.
Aku diam karena sama sekali tidak mengerti apa yang harus kukatakan sebagai jawaban. Keadaan menjadi kacau tanpa sebab, begitu cepat, dan terlalu sulit untuk kucerna.
Di luar terjadi keributan yang lainnya. Seseorang berteriak, membuatku mau tak mau keluar rumah. Sekonyong-konyong suara tembakan meletus, menghilangkan nyawa seseorang. Jaket abu-abu itu menggelap, basah oleh darah di bagian dada.
"Di-dia membawa senjata itu di balik jaketnya," jelas seseorang terbata.
Aku mendekat, dia adalah salah satu teman Daichi. Aku tidak ingat namanya, pernah merisakku di tempat parkir sekolah dengan menghanyutkan buku tugas matematika milikku ke saluran air. Matanya menatap kosong dan ekspresinya ketakutan. Segera aku sadar, tatapan mata dari mereka bertiga sama. Ekspresi mereka terkejut dan ketakutan, membuatku berpikir cepat.
Apakah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh nalar telah terjadi sebelum kematian menjemput mereka?
Mulai dari Taishi yang menatapku seakan dia begitu membenciku. Lalu Daichi, ia terlihat terkejut begitu aku datang. Kemudian korban terakhir, aku tidak ada di sana ketika dia menembak dadanya sendiri. Tetapi tatapan mata mereka terlihat sama di penglihatanku. Orang-orang berkerumun, dan lagi-lagi aku bertemu tatap dengan pemuda aneh itu. Dia menatapku, mengulas sebuah senyum di sudut bibirnya. Ketika aku mengalihkan pandangan ke jasad korban lalu ke arah semula, pemuda itu tidak ada di sana.
"Sepertinya kau mulai mengerti."
Dia mengejutkanku karena tiba-tiba sudah berdiri di samping. Aku menoleh padanya yang sedang menatapku dengan senyuman berarti lain. Entah hanya perasaanku saja, atau orang ini memiliki aura yang aneh.
"Siapa kau?"
Dia terkekeh pelan. "Panggil saja Kou."
"Kau salah satu kenalan Shota?"
Kou berbalik, aku mengikutinya. Dia membawaku ke teras rumah yang sepi. "Kawamura-kun pasti sudah melupakanku," ujarnya.
Aku mengernyitkan kening dalam-dalam. Sepertinya dia menangkap tatapan tidak mengerti dari ekspresi wajahku.
"Tujuh tahun lalu, apa kau ingat tentang seorang anak yang tertidur di taman sekolah?"
Aku tidak suka mengingat memori buruk.
"Dia adalah aku. Kau melihatku, kan? Tapi kakakmu menarikmu menjauh." Dia melanjutkan.
Tujuh tahun lalu, aku melihat seorang anak seumuranku sedang dirisak oleh kawan-kawan Shota di sekolah. Lalu sebelum dia menghilang, aku melihatnya tertidur di taman. Kupikir dia hanya ingin memulihkan dirinya, dan Shota seperti ketakutan lalu memaksaku pulang. Setelah itu aku tidak mengetahui apapun lagi tentang dirinya. Dan sekarang, untuk apa dia berada di tempat ini?
"Untuk apa kau di sini?"
"Aku hanya ingin berkunjung, karena kudengar kalian sedang mengadakan pesta ulang tahun."
"Shota yang mengundangmu?"
"Mana mungkin dia mengundang seseorang-"
"Shota-kun!"
Aku terkesiap mendengar teriakan Yuna dari ruang tengah dan bergegas menghampiri mereka. Shota berdiri, di tangannya terdapat vas yang ujungnya telah dipecahkannya.
"Shota!"
Aku menarik tangannya, dia membelot dengan menggores lenganku menggunakan ujung vas. Perih dan sakit menjalar ke seluruh tangan kananku.
"Pergi!" Shota membentakku.
Aku mencoba merebut benda sialan itu dari tangannya, dia mendorongku kuat, membuatku jatuh dengan punggung membentur lemari kaca hingga pecah. Persetan dengan rasa sakit yang membuat tanganku kebas, Shota harus dihentikan. Aku berusaha berdiri, anak itu masih menodongkan pecahan vas ke arahku. Sorot matanya ketakutan, seperti sedang melihat hantu. Aku mengangkat kedua tangan, mengikis jarak dengan perlahan.
"Shota ini aku," ujarku.
"Kau sudah mati, sialan!" bentaknya.
Tunggu!
Kou mendadak muncul di sampingku. Menatap Shota yang masih di posisinya.
"Jangan bilang kau-"
Dia menyeringai. "Kawamura-kun telah membiarkanku mati di taman itu."
"Apa-apaan?!"
Kou melewatiku, dia berjalan mendekati Shota lalu berdiri di belakangnya. Tangan pucatnya terulur, ada bekas luka jahitan di pergelangan tangannya.
"Bagaimana kalau Shota juga mempunyai bekas luka yang sama dengan milikku?"
Anak itu merangkul Shota yang tidak merasakannya. Sial, jadi sejak tadi aku berinteraksi dengan arwah penasaran yang ingin balas dendam.
"Apa yang kau inginkan?"
"Kau mati!" Shota yang menjawab.
Kou tersenyum. "Sayangnya bukan Kawamura-kun yang akan mati. Tapi kau, Shota-kun."
"Oi, hentikan!" Aku benar-benar frustasi. Benar-benar tidak tahu cara menghadapi hantu.
"Ini keinginanmu tadi bukan?" tanyanya. "Semua hal yang kau benci di dunia ini musnah. Tenang saja, aku akan membantu-ah, aku sudah membantumu sejak tadi. Jadi biarkan aku menyelesaikan ini."
Aku menggeram, memutar otak agar menemukan cara untuk menyelamatkan Shota. Kou bergerak, mengontrol Shota untuk menggerakkan tangannya. Aku melihat Shota ketakutan, bola matanya bergerak liar.
"Hentikan, Kou! Apapun yang kau inginkan selain menghabisi Shota."
"Tidak ada."
Ujung vas itu mulai Shota tekan ke telapak tangannya. Yuna menjerit di belakang, aku kehabisan akal. Pikiranku terasa buntu. Hingga sebuah keberanian seolah terpantik di dalam diriku, entah sebuah kenekatan atau bunuh diri, aku bergerak sesuai insting.
"Hentikan, bodoh!"
Aku mencengkeram tangan Shota yang terasa kaku. Dia menatapku nyalang, kupikir Kou sudah merasukinya. Seringaian itu menyebalkan sekali di mataku.
"Sepertinya aku harus menyingkirkan dirimu terlebih dahulu, Kawamura-kun."
"Kalau kau bisa, sialan!"
Aku meninju wajah Shota, membuat vas itu terlempar dan pecah ketika dia terhuyung ke belakang. Shota tidak ahli dalam adu fisik seperti diriku. Tapi aku lupa kalau di dalam tubuhnya ada hantu yang rupanya bisa mengimbangi pukulanku, rahangku terasa ngilu setelah Shota meninjuku dengan telak.
Aku menerjangnya, mengunci pergerakan Shota yang meronta ingin bebas. Dia berhasil menyikut ulu hatiku hingga membuatku jatuh terduduk. Napasku terasa sesak ketika terbatuk. Pergerakan Shota yang tiba-tiba tidak bisa kuhindari, dia mencekikku.
"Sho-Shota."
"Hentikan!"
Suara tulang retak terdengar bersamaan dengan robohnya tubuh Shota ke samping. Di depanku yang masih berusaha bernapas, Yuna menjatuhkan tongkat baseball milik Shota.
"Ma-maafkan aku." Dia berbalik lalu berlari pergi.
Aku mendekati Shota yang matanya terpejam. Dia masih bernapas, begitu lambat dan samar.
"Oi, Shota! Bertahanlah."
"Ah, tugasku selesai. Senangnya bisa membantu Kawamura-kun mewujudkan harapan." Kou membuatku mendongak.
Napas Shota telah sepenuhnya lenyap. Dia pergi untuk selamanya. Meninggalkanku dengan amarah.
"Hei, Kou!" panggilku.
Kou berhenti dan berbalik, alis kanannya terangkat begitu menatapku yang sudah berdiri dengan salah satu lengan menggantung.
"Bunuh saja aku," lanjutku.
"Apa kau yakin? Mati itu tidak menyenangkan."
Aku mendecih. "Tidak ada gunanya aku hidup."
"Tubuhmu akan terasa sangat sakit ketika kau menghadapi ajalmu, Kawamura-kun. Kau akan menyesalinya, percayalah padaku."
"Kau terlalu banyak bicara. Lakukan saja!"
Kou tampak menimbang-nimbang. Ekspresinya tiba-tiba saja berubah serius, seringaian yang menyebalkan itu terlihat lagi. Dia berjalan mendekatiku dan berdiri di belakangku. Aura tak mengenakkannya membuatku muak.
"Manusia terlalu mempermainkan takdir Tuhan. Jika aku jadi kau, aku akan memilih hidup dengan tenang. Tapi sayangnya, nyawaku hanya sebatas mainan untuk kakakmu dan teman-temannya. Mati bukanlah sebuah penyelesaian untuk mereka yang masih diberikan nyawa. Kau terlalu bodoh karena menyia-nyiakannya. Tuhan sudah baik, kau yang berlaku jahat pada-Nya."
Kou berkata panjang lebar. Terlalu cerewet untuk sesosok hantu.
"Berhenti menceramahiku, sialan. Bunuh saja aku dan pergilah ke neraka."
"Baiklah, baiklah."
Kou melayangkan pisau daging dengan bekas darah Taishi ke arahku tanpa menyentuhnya. Pisau itu berakhir di tangan Kou, dia meletakkannya di depan leherku.
Aku memejamkan mata. Delapan belas tahun di hari ini, dan aku akan pergi. Apakah mati akan terasa semenyakitkan itu?
~~
"Hei, Kazuma."
"Hm?"
"Kazuma!"
Aku membuka mata. Napasku tersengal.
"Apa aku sudah mati?"
Pukulan di kepalaku membuatku sadar sepenuhnya.
"Bodoh! Kau tertidur di depan komputer," ujar Shota.
Mataku membulat, lalu buru-buru berdiri dan menerjang Shota. Memeluknya erat-erat.
"Kau masih hidup!" pekikku.
"Tentu saja, Kazuma. Kau pikir aku mati di makan zombi seperti di dalam game milikmu, hah?"
Aku diam tak membalas ucapannya.
"Bergegaslah, semua sudah menunggu di bawah. Kau terlalu lambat." Shota melepaskan pelukanku dengan paksa.
"Semua?"
Dia menghela napas. Menatapku malas. "Kau selain lambat ternyata pikun juga ya," ledeknya. "Hari ini ulang tahun kita!"
Mataku membulat. Bagaimana aku bisa lupa?
Sepeninggal Shota, aku terburu dalam menyiapkan diri. Mematikan layar komputer dan bergegas keluar dari kamar. Orang-orang berlalu lalang di lantai dasar, sibuk ini dan itu. Aku memperhatikan kegiatan mereka, hingga tatapanku bertemu pandang dengan mata sayu miliknya. Dia berdiri di dekat meja televisi, menatapku dan menyeringai.
「END」
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top