PART 8

Daichi


"Wa in ta'uddu ni'matallohi laa tuhshuuhaa, innalloha laghofuurur rohiim."


Ayat demi ayat surah An-Nahl mengalun memenuhi gendang telinga, lembut, menjalar sampai ke hati, meski belum paham artinya. Sekarang aku baru tahu mengapa Ojiisan gemar sekali mendengarkan firman Tuhan-nya. Ketenangan yang entah bersumber dari mana, seakan-akan membuai, menyingkirkan kepenatan di kepala.

Langit mendung tampak mulai mengiringi kesibukan jalanan Tokyo. Orang-orang lebih melebarkan langkah agar mampu berjalan cepat. Kuyakini mereka tidak mau terkena serbuan hujan.

Laju kakiku berhenti tepat di depan zebra cross. Kulepas sebelah kiri earphone agar bisa mendengar ketika menyebrang. Tidak memakan waktu lama, lampu hijau pejalan kaki menyala. Aku dan puluhan orang lain, bergegas berjalan di depan barisan mobil. Bayangan gerakan salat yang kupraktikkan berkelebat. Menerbitkan senyum puas. Memang belum sempurna, tetapi aku berhasil menghafalnya. Jadi, aku boleh bangga, kan?

Terkadang aku berpikir mengapa melakukan hal-hal yang dilakukan orang Islam, sedangkan aku sendiri belum memiliki keyakinan. Ya, sedari kecil aku belum mengenal Tuhan. Almarhum orang tuaku bilang, semua akan berjalan baik bila aku selalu ada di jalan kebenaran.

Namun, saat aku berbuat baik dengan menjadi anak patuh, kehidupanku masih saja berantakan. Meski memiliki cukup kekayaan, Okaasan dan Otousan sering cekcok. Ada saja yang mereka ributkan. Kalau sudah seperti itu, tidak ada yang memedulikanku. Haih! Aku saja yang terlalu berharap. Mereka memang selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi, aku berpikir untuk apa repot-repot menjadi anak baik bila hidupku tidak bahagia?

Bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi, keduanya terlibat pertengkaran hebat. Walau saat itu masih kelas 2 SMP, aku tahu bila keributan dipicu perselingkuhan Otousan dengan rekan bisnisnya. Dari sanalah aku berpikir bila jalan kebenaran itu tidak ada. Kebenaran diciptakan manusia sesuai persepsinya sendiri. Otousan mungkin berpikir bila berselingkuh adalah tindakan yang membawanya pada jalan kebenaran. Sedangkan Okaasan tidak berpikiran sama.

Lain orang tuaku, lain pula Ojiisan. Pria tua cerewet yang suka menasihatiku itu tidak memikirkan apa itu jalan kebenaran yang diyakini orang tuaku. Bagi Ojiisan, dekat dengan Tuhan-nya sudah membuatnya bahagia, meski itu berarti dibuang dan dikucilkan oleh keluarga.

Gara-gara tinggal setahun bersama Ojiisan, aku jadi hafal kebiasaannya. Dia melakukan salat sehari lima kali. Kemudian, belajar membaca huruf arab bersama seorang teman dari Indonesia. Kalau tidak salah, namanya Susilo-san. Setelah Ojiisan meninggal karena asma, aku kesepian. Bisa jadi karena itulah aku mulai melakukan hal-hal yang Ojiisan lakukan semasa hidup. Mengobati kerinduan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ada ganjalan di hati yang sampai sekarang belum bisa kumengerti. Aku berharap suatu saat bisa menerjemahkannya.

Senggolan keras di bahu membuatku terhuyung. Aku menoleh pada si pelaku, seorang wanita dengan setelan pakaian kerja berjalan cepat. Tidak ada permintaan maaf seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hanya decakan sebal kukeluarkan sebagai peluntur amarah. Lagipula percuma marah lama. Tokyo kota yang sibuk, peristiwa seperti tadi wajar terjadi.

Kulepas earphone kanan kala semua surah An-Nahl selesai dilantunkan. Kujejalkan benda berkabel panjang itu ke saku celana bersama ponsel. Tatkala mulai kembali melangkah, pandanganku tertumbuk pada seorang wanita yang hampir jatuh jika tangannya tidak cekatan berpegangan pada tiang papan iklan. Belanjaannya berserakan.

Tidak perlu menunggu lama, aku bisa mengenali wanita yang menggunakan jilbab itu. Aku berlari mendekatinya. Dia sempat terkejut, tetapi ketika melihatku, senyum tipisnya terbit.

"Apa Anda baik-baik saja?" Pertanyaan bodoh. Sudah jelas dia tampak pucat dan kurang sehat. Buru-buru kuralat, "Maksud saya apa yang terjadi? Anda merasa sakit?"

Ibu Hikari menyandarkan tubuh pada tiang papan iklan. Dia tersengal-sengal seperti baru saja lari maraton. Peluh mulai membanjiri wajah. "Tidak apa-apa. Aku hanya lelah."

Menurutku dia sedang tidak baik-baik saja. "Perlu saya teleponkan ambulans?"

Digerakkannya telapak tangan kanan ke kiri dan kanan. "Tidak perlu. Istirahat sebentar sudah cukup."

"Anda yakin?"

Dia mengangguk lemah.

Aku berjongkok dan memasukkan belanjaannya yang tercecer ke tas karton. Sesekali aku meliriknya. Aku menduga bila ibu Hikari tengah sakit. Maksudku sakit serius. Namun, aku tidak berani bertanya lebih lanjut.

***

Butuh beberapa menit meyakinkan ibu Hikari bila membantu membawakan belajaannya bukan hal merepotkan. Itu sikap wajar sebab kami belum lama saling mengenal. Sebagai laki-laki sejati, tentu aku tidak bisa membiarkannya kesusahan. Kondisinya kurang sehat, tidak memungkinkan membawa barang belanjaan yang lumayan berat.

"Arigatou gozaimasu, Nakayama-kun."

Dia membungkuk sembari memasang senyum kala tiba di depan pintu apartemen. Di sana tertulis dua nama, yaitu Watanabe Ayumi, lalu dibawahnya Hikari Putri Sucipto. Kerutan di dahiku pasti tampak melihat keanehan ini. Marga mereka berbeda.

"Maaf, merepotkanmu lagi."

Aku menggeleng. Membalas senyumnya sebisaku. "Bukan masalah."

Dia mengulurkan kedua tangan, siap menerima barang belanjaan yang kubawa. "Ini lumayan berat. Kamu pasti lelah."

Aku hanya tersenyum. Padahal aku jarang menunjukkannya ke orang lain pasca orang tuaku meninggal. Namun, tampaknya kali ini pengecualian. Senyum ibu Hikari seperti senyum Okaasan, keibuuan dan hangat. Aku tidak bisa berpaling.

"Hmm ... Nakayama-kun, tolong kamu rahasiakan kejadian tadi dari Ika, ya?" Dia memandangku penuh harap. "Aku tidak ingin dia cemas."

Alasannya bisa dimengerti, tetapi jika aku jadi Hikari, tentu tidak akan terima. Sayangnya aku tidak dapat menolak. Dia tersenyum lagi sambil mengucapkan terima kasih.

"Jika kamu perlu bantuan, katakan saja padaku."

Aku mengangguk. Kemudian berpamitan. Selangkah. Dua langkah. Hingga kala akan menuruni anak tangga, aku berbalik disebabkan paksaan suatu ganjalan yang sudah lama kupendam. Ibu Hikari memandangku heran.

"Maaf, saya rasa ... saya butuh bantuan Anda."


Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top