PART 7

Hikari


Selesai salat, kulepas mukena lalu menggantungnya pada hanger. Tatkala hendak mengeluarkan buku dari tas guna mengerjakan tugas bahasa Inggris, terdengar suara batuk dari kamar Mama. Seperti batuk kering yang menyiksa. Panik, aku segera berlari memasuki kamarnya. Di sana, Mama tengah duduk di futon. Lengannya digunakan untuk meredam suara batuk.

Aku duduk di sebelah Mama, mengelus punggungnya. Berharap bisa meredakan batuk. "Mama harus ke dokter. Aku merasa batuk Mama ini bukan batuk biasa."

Mama meraih tisu dari dalam kotak, menggunakannya mengelap mulut. "Jangan berlebihan. Ini hanya batuk ringan."

"Batuk ringan apanya?" Nada suaraku berubah meninggi. "Sejak kemarin Mama batuk seperti ini. Pokoknya besok kuantar ke dokter!"

Akhir-akhir ini Mama memang sering batuk. Awalnya aku pikir efek dari debu di apartemen, tetapi setelah dibersihkan, Mama tetap batuk. Bahkan kian parah.

"Tidak perlu. Mama bisa ke dokter sendiri." Dielusnya kepalaku lembut. "Ika fokus sekolah saja."

Kutatap Mama dalam-dalam. "Janji?"

Wanita itu mengangguk diiringi senyum. "Janji. Sekarang Ika belajar sana. Mama mau istirahat."

"Baik." Kukecup keningnya agak lama. Kemudian keluar kamar. Jujur, rasa cemas semakin mengusik. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang Mama sembunyikan.

***

"Kyaa! Kawaii!" Nanako dan Chika berseru takjub tatkala melihat bento milik Kentaro. Ah, seiring keakraban kami, aku tidak lagi memanggilnya Yamaguchi.

Saat ini kami tengah makan siang di kelas. Tidak banyak yang membawa bento. Sebagian murid-murid memilih makan di kantin. Meski praktis, aku tidak bisa ikut makan di sana. Sebab tidak menutup kemungkinan makanan itu mengandung bahan yang diharamkan Islam. Makanya aku cari aman.

Lantas bagaimana dengan ketiga temanku? Ibu Kentaro hobi memasak dan memilih membawakan bento hasil kreasinya. Nanako tidak suka mengantre lama. Sedangkan Chika hanya ikut-ikutan Nanako.

Si pemilik bento tersipu-sipu seraya membetulkan letak kacamata. Gaya khas. "Sebenarnya aku malu dan minta Okaasan menyiapkan bento biasa saja, tetapi malah dihias seperti ini."

Menurutku ibu Kentaro adalah salah satu wanita kreatif yang ada di Tokyo. Nasi dibentuk kucing berselimut telur dadar. Beberapa sosis berbentuk hati kecil semakin menambah kesan manis di antara brokoli, edamame, dan jamur. Jangan lupakan nugget yang diberi mata dan mulut dari nori.

"Aku sangat iri." Chika tak melepaskan pandang dari makanan itu.

Nanako mengamati bento yang kubawa. "Hikari-san sangat suka sandwich, ya?"

Aku menunduk sekilas, memperhatikan sandwich yang kubuat mendadak pagi tadi. "Aku suka yang simpel." Aku tersenyum kecut.

"Kamu bisa mencicipi milikku, meski aku sendiri tidak yakin rasanya." Nanako menyumpit sebuah ebi fry, meletakkannya ke wadah bekalku. "Aku masak sendiri."

"Sugoi, Nanako-san. Akan kumakan. Arigatou." Kuletakkan sandwich yang baru kugigit sekali, beralih pada eby fry. Lumayanlah daripada masakanku. "Oishii."

Nanako tersenyum senang.

"Ngomong-ngomong," Chika menelan makanan yang dia kunyah sebelum melanjutkan kalimat. "kenapa Daichi-kun tidak ikut makan bersama kita?"

Nanako menyikut lengan gadis berbandana di sampingnya. "Memangnya kenapa? Kamu kangen?"

"Aih!" Chika memukul pundak Nanako. "Jangan sembarangan bicara!" Pipinya merebak merah.

Tanpa diminta, Kentaro menimpali, "Selera Chika-san laki-laki super cuek macam Daichi-kun." Disumpitnya brokoli, lalu dikunyahnya.

Chika memelotot ke arah Kentaro sembari meletakkan sumpit ke bibir, mengode agar laki-laki itu memelankan suara. Sayang, Kentaro tidak peduli. Dia kembali menggelegak.

"Tadi sudah kuajak, tetapi dia bilang sudah makan duluan."

Nanako meletakkan sumpit di atas bento. Tangannya dilipat ke atas meja. "Aku merasa setelah kakeknya meninggal setahun lalu, Daichi-kun banyak berubah."

Entah mengapa, aku yang semula tidak terlalu peduli obrolan mereka, menjadi penasaran saat topik Daichi diangkat. "Berubah?"

"Memang benar." Tanpa rasa bersalah, Kentaro menyumpit potongan kecil ebi fry milik Nanako. Gadis itu tidak keberatan. "Kami berempat satu SMP. Dulu Daichi-kun anak bandel. Suka membolos, berkelahi dan balap liar. Bahkan kami tidak mau berurusan dengannya. Kecuali ...." Kentaro sengaja menggantung kalimat. Bibirnya mengerucut dan diarahkan pada Chika.

Wajah Chika serupa gurita rebus, merah. "Memangnya salah kalau aku suka laki-laki keren seperti Daichi-kun?"

"Kalau sekarang tidak, tetapi dulu kamu melakukan kesalahan." Nanako menyedot susu kotak sampai berbunyi, menandakan isinya habis. Chika memberengut.

Rasa lapar seakan-akan menghilang. Kuputuskan terlibat pembicaraan lebih jauh. "Wah, aku tidak menyangka dia bisa senakal itu."

Kentaro manggut-manggut. Pipinya yang mengembung karena mengunyah makanan, dipaksa untuk bicara. "Setelah kakeknya meninggal, dia menjadi murid baik. Aku pernah ditolong saat diganggu preman. Daichi-kun memberi mereka pelajaran." Kentaro memperagakan bagaimana Daichi menghajar preman itu. "Mulai saat itulah kami bersahabat."

Bila dipikir-pikir, penilaian mereka bertiga tidak salah. Meski menggunakan cara aneh saat mencoba menghiburku beberapa waktu lalu, setidaknya dia sudah berniat baik. Peduli kondisi orang yang dikenalnya.

Semua mata menoleh pada ponselku yang bergetar. Kuraih benda pipih di samping botol minum. Kukira itu Mama yang menelepon, ternyata bukan. Nomor asing tertera di sana. "Assalamu'alaikum. Moshi moshi."

Tidak ada tanggapan. Aku hanya mendengar suara keramaian.

"Siapa?" tanya Chika.

Aku menggeleng. Ketika hendak menggigit sandwich, nomor itu lagi-lagi menelepon. Kembali kuangkat dengan sedikit kesal. "Assalmu'alaikum. Maaf, ini siapa?"

Kukira tidak akan ada jawaban seperti tadi. Si penelepon mulai bersuara ketika segerombolan teman sekelasku masuk. Mereka berisik sehingga menenggelamkan suaranya. Aku berlari keluar mencari tempat sepi.

"Ini siapa? Ada perlu apa?"

Tak ada lagi suara kecuali nada sambungan telepon yang diputus. Decakkan sebal berhasil meluncur dari mulut. "Gara-gara orang iseng, aku sampai berlari jauh mencari tempat sepi."

Kuputuskan kembali ke kelas. Namun, kala melewati gudang penyimpanan alat olahraga, aku mendengar samar-samar suara. Penasaran, aku mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat.

Dari sana aku melihat Daichi-kun berdiri beralaskan yoga mat, menirukan gerakan video dari ponsel yang ada di depannya. Itu gerakan salat. Tubuhnya masih tampak kaku dan ragu-ragu kala mempratikkan gerakan itu.

Kenapa dia melakukannya? Isengkah?

Tampaknya peristiwa ini menumbuhkan banyak pertanyaan dalam benakku. Daichi-kun laki-laki pertama yang membuatku penasaran akan sosoknya.


Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top