PART 6
Daichi
Kulempar pakaian kotor ke dalam keranjang rotan seraya duduk di ranjang. Jarum jam dinding menunjuk angka satu. Itu berarti saatnya tidur. Meski badan terasa remuk pasca menerima hukuman dari Yamada-san karena pergi tanpa izin di jam kerja, aku tidak menyesal. Pertemuanku dengan ibu Hikari seperti menemukan oase di tengah gurun pasir.
Kulirik foto Ojiisan di meja belajar. Di foto itu, Ojiisan tampak bahagia. Dia mengenakan peci hitam sambil menggenggam tasbih biru. Haih! Tiba-tiba saja aku teringat kemarahan Hikari. Kurasa dulu aku pun sama sepertinya ketika bertengkar dengan Ojiisan.
***
"Kamu pikir masalah akan selesai dengan sendirinya tanpa berdiskusi?"
Tanpa kuduga, pria beruban itu sudah ada di belakangku. Amarah yang ada di dada belum reda, sampai-sampai lupa mengunci pintu kamar. Aku pura-pura tidak peduli.
"Lari dari masalah adalah pilihan seorang pengecut." Meski diucapkan tanpa penekanan, tetap saja kalimat itu menyentil egoku.
"Aku bukan pengecut!"
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku dan malah berhari-hari pergi dari rumah?" Ojiisan memutar tubuhku. "Katakan, kenapa kamu berkelahi lagi?"
Tersebab tak kuasa menahan tatapan matanya yang kelewat lembut, kupalingkan wajah. "Itu bukan urusan Ojiisan!"
"Wakatta." Ojiisan tersenyum sekilas. Tiba-tiba saja, Ojiisan menampar sendiri kedua pipinya bergantian.
"Apa yang Ojiisan lakukan?" Segera kuraih dan kugenggam kuat kedua tengannya. Meski aku tidak menyukai pria di depanku ini, tetap saja aku tidak mau dia babak belur kerena diriku. "Hentikan! Sudah cukup!"
Pipi Ojiisan memerah. Aku yakin itu sangat nyeri. "Kenapa aku harus berhenti jika Daichi-kun masih melukai diri dengan berkelahi?" Ojiisan menatapku lekat-lekat. "Aku pantas ditampar karena tidak becus mendidikmu. Aku yakin, bila orang tuamu masih hidup, mereka akan bersedih."
Aku tercekat. Kerongkongan mendadak kering ketika Ojiisan menyebut mereka yang telah lama pergi. Kenangan saat okaasan menangis melihatku terluka, kembali menyeruak. "Hentikan. Aku tidak akan berkelahi."
Kedua sudut bibir Ojiisan tertarik, membuat seulas senyum. Binaran di matanya pun sangat kentara. "Seorang laki-laki sejati lebih memilih menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Bukan mendahulukan emosi." Usai menepuk pundakku, Ojiisan berlalu.
***
Kurasakan kedua mata memanas. Rasa rindu akan kehadiran sosok Ojiisan, menyusup pelan menyelimuti hati. Kutatap foto Ojiisan sembari berkata, "Oyasuminasai." Kumatikan lampu di nakas, menarik selimut, dan tidur.
***
Kurenggangkan tubuh yang masih tertutup selimut. Rasa-rasanya kelopak mata sulit terbuka. Andai saja hari ini akhir pekan, aku pasti memilih tidur seharian. Sayangnya aku harus sekolah. Mengingat sekolah, kedua mataku langsung terbuka lebar. Aku terkejut ketika melihat jam dinding.
"Yabai! Aku terlambat!"
Seperti banteng yang kebingungan, aku menuju kamar mandi, meraih sikat dan pasta gigi. Secepat kilat kubersihkan gigi. Tak lupa kubasuh muka agar lebih segar.
"Ayo cepat! Cepat!" ucapku menyemangati diri sembari memakai seragam. "Yap!" Kuraih tas dan melesat menuruni tangga. Aku tergesa memakai sepatu, sampai-sampai hampir jatuh karena memakai dalam posisi berdiri.
Ketika sampai di depan pagar, aku kembali karena lupa mengunci pintu. Seketika kulihat goodie bag tidak jauh dari pintu. Tak perlu melihat isinya, karena aku yakin itu adalah makanan.
"Ah, kamu kesiangan ya, Daichi-kun?" Suji-san dan istrinya memasuki halaman rumah sambil membawa sayuran.
"Iya." Kuraih goodie bag lalu kuserahkan pada Ayaka-san, istri Suji-san. "Ini, aku tidak mau memakannya dan ini kunci rumah. Kunci carpentry studio ada di tempat biasa."
Tanpa menunggu jawaban, aku berlari secepat yang kubisa. Kulemparkan senyum kala para tetangga menyapa. Beberapa dari mereka menggeleng-geleng, layaknya tak pernah melihatku kesiangan.
Sekitar dua puluh menit perjalanan melelahkan, aku tiba di sekolah. Tentu tidak langsung menampakkan diri di depan gerbang. Itu sama saja dengan bunuh diri. Pasalnya sekuriti dan Nagano sensei pasti ada di sana. Seluruh murid sekolah ini tahu keganasan guru yang satu itu. Nagano sensei selalu tegas dalam memberi hukuman. Jadi, aku lebih memilih memanjat pagar samping dan langsung menuju kelas.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menggeser pintu belakang. Seketika semua mata tertuju padaku, termasuk mata Mr. Mark. Kepalang tanggung karena tidak mungkin aku berlari keluar dan bertemu Nagano sensei, aku pun memilih tetap masuk. Setidaknya hukuman Mr. Mark tak semenyeramkan hukuman Nagano sensei.
"I am sorry for coming late, Sir," ucapku sedikit waswas.
Mr. Mark menggeleng-geleng. Dia mengodeku agar maju. Kemudian memintaku mengumpulkan tugas. Tunggu! Tugas? Haih! Dikarenakan kelelahan, semalam aku lupa mengerjakan tugas bahasa Inggris.
Melihat ekspresiku yang kebingungan, Mr. Mark jadi tahu kalau aku tidak mengerjakan tugas. Walhasil, dia menyuruhku berdiri di pojok depan. Tepat di samping Hikari. Apa? Hikari? Sejak kapan? Haih! Mungkin karena terlalu fokus, aku jadi tidak melihatnya.
Mr. Mark melanjutkan menarangkan materi. Seharusnya aku memperhatikannya, tetapi keberadaan Hikari di sampingku justru lebih menarik. Gadis itu terus menunduk, mungkin malu karena menjadi pusat perhatian.
Aku penasaran mengapa dia ada di sini? Apakah lupa mengerjakan tugas? Rasanya tidak mungkin gadis yang kelihatannya rajin seperti dia lupa mengerjakan tugas. Namun, kenyataannya dia kena hukuman.
Suara ketukkan pintu menginterupsi kegiatan belajar mengajar. Spontan kami semua menoleh. Dari jendela kecil di pintu, kami semua tahu bila Nagano sensei-lah yang mengetukknya.
Celaka! Matilah aku!
Setelah berbasa-basi sejenak dengan Mr. Mark, Nagano sensei memberitahukan tujuan kedatangannya. Apalagi kalau bukan mencariku. Rupanya ada saksi yang melapor kalau aku terlambat datang. Hal tersebut dibenarkan Mr. Mark. Sudah bisa ditebak, Nagano sensei memintaku menemuinya saat istirahat.
***
"Bersihkan semua rumput liar ini." Nagano sensei menunjuk rumput liar yang tumbuh di sekitar pagar tembok belakang sekolah. Tingginya mencapai mata kaki. "Lakukan dengan benar dan jangan berpikir untuk kabur!"
Aku mengangguk cepat. Usai melemparkan sarung tangan padaku, pria berambut keriting itu pergi dengan kedua tangan saling berkaitan di belakang. Kupindai rumput-rumput liar itu dengan malas. Rasa lelahku semalam belum mereda, sekarang harus ditambah membersihkan semua ini.
Dengan penuh keengganan aku berjongkok, mulai mencabuti rumput. Matahari yang semakin mendekati puncak, membuat sinarnya semakin terik, seolah-olah siap membakar kulit. Meski demikian, percuma mengeluh sebab akan menjadikan pekerjaan ini lebih berat. Anggap saja sedang melakukan rangkaian olahraga, mulai dari berlari, dihukum berdiri, dan mencabut rumput.
"Biar kubantu." Seperti hantu, Hikari tiba-tiba berjongkok. Tangannya cekatan mencabut rumput.
"Jangan! Tidak perlu. Nanti tanganmu kotor." Percuma. Hikari membiarkan laranganku menguap. Tidak ingin terjadi hal buruk, kulepas sarung tangan dan menyerahkan padanya. "Pakai ini. Aku tidak mau disalahkan semisal jarimu terluka."
"Aku bukan orang yang lemah."
Aku menahan senyum ketika mendengar kalimatnya itu. Sangat kontras dengan kejadian semalam. Dia menangis sesenggukkan dan sekarang secara tidak langsung dia bilang bahwa dirinya kuat. Lucu.
Diserahkan sebelah kiri padaku. "Begini lebih adil."
Kuterima sarung tangan itu, tetapi tidak memakainya karena terasa aneh. Sebaliknya Hikari kembali mencabut rumput menggunakan dua tangan. Melihatnya dari jarak yang lumayan dekat, membuatku menyadari bila dia memiliki alis hitam tebal, bulu mata lentik dan juga tahi lalat kecil di pelipis kanan.
"Mengapa melihatku seperti itu?" Dia menatapku waspada. Mendadak dia bergeser menjauh.
Tertangkap basah seperti ini membuatku grogi. Kuusap hidung seraya berkata, "J-jangan besar kepala! Tadi ada nyamuk di ... di pipimu. Aku ragu waktu mau menepuknya." Setidaknya aku punya alasan masuk akal.
Dengkusan keluar dari hidung mungil Hikari. Kami mencabuti rumput untuk beberapa menit, hingga dia buka suara, "Kenapa datang terlambat?"
"Aku kesiangan." Aku tahu itu bukan jawaban yang memuaskan. Hanya saja aku tidak mau sampai dia tahu kalau dia salah satu penyebabnya.
Dia memberenggut. Pipinya menggembung seperti balon.
"Lalu kenapa kamu tidak mengerjakan tugas Mr. Mark?" Aku balik bertanya tanpa menghentikan gerakan tangan. Beberapa semut mulai merambat hingga lengan. Buru-buru kutepis.
Hikari tidak langsung menjawab. Dia seperti berpikir. "Malas."
Haih! Rupanya dia membalas ucapanku. Kusingkirkan ulat bulu yang merambat pada sehelai daun kering. Kemudian meneruskan kalimat, "Dan karena kemalasan itulah membuatmu mendapat tugas dua kali lipat lebih banyak. Padahal temanya mudah, keluarga."
Seketika Hikari menghentikan aktivitas. Dia memandangku nyalang. Detik ini perasaanku mulai tidak enak. "Kamu juga tidak mengumpulkan tugas! Memangnya apa alasanmu?"
Jelas aku tidak mau mengatakannya. Bisa-bisa dia merasa bersalah. Aku pun mencoba bersikap tenang. "Rahasia."
Hikari sontak berdiri. Wajahnya merah. Sepertinya dia marah. Dilemparkannya sarung tangan sebelah kanan tepat mengenai bahuku. Kemudian, gadis itu berlalu, meninggalkanku dalam kebingungan.
"Memangnya aku salah bicara, ya?"
Bersambung ....
.
Catatan:
Ojiisan: kakek
Wakatta: baiklah
Okaasan: ibu
Oyasuminasai: selamat malam
Yabai!: gawat!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top