PART 5 (b)
Hikari
Di sinilah kami sekarang. Duduk di ayunan taman kecil, tidak jauh dari kedai ramen tempat Daichi bekerja. Daripada di sebut taman, tempat ini lebih cocok disebut tanah kosong. Pasalnya hanya ada dua ayunan, satu bangku panjang di tengah-tengah dan beberapa tanaman hias—lebih mirip ilalang, atau aku saja yang tidak tahu jenis tanaman itu—ditata simetris di samping tempat sampah. Beberapa lampu warna-warni menyala, tetapi tidak semua. Bisa jadi rusak.
Sekarang aku paham maksud kalimat "tempat menangis yang aman". Taman ini sepi. Jadi, bila aku menangis sekeras apa pun tidak akan ada yang menggubris atau menyangkaku gila. Seperti yang Daichi bilang tadi.
Aku menghirup oksigen banyak-banyak, mengembuskannya perlahan. Tersebab terlalu lama menangis sepanjang jalan, pasokan udara di paru-paru terasa menipis, membuat sesak.
Tangan Daichi mengulur, bermaksud memberikan lolipop padaku. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa heran. Sering sekali aku tidak mengerti maksudnya.
"Makanlah," ucapnya kaku. "Aku tidak punya cokelat supaya kamu tenang. Jadi, makan lolipop saja. Lagi pula sama-sama manis."
Apa dia pikir rasa manis yang terkandung dalam lolipop bisa merangsang endorfin dan membuatku bahagia? Aku yakin dia tidak berpikir sampai sana. Namun, niat baiknya itu pantas diapresiasi.
"Arigatou." Kubuka pembungkus, lalu memasukkan lolipop ke mulut. Bukan rasa manis yang kukecap, sebaliknya permen ini sangat masam. "Lolipop apa ini?" Kuamati permen bulat kuning di tangan. Lalu, menatap curiga Daichi. "Kamu mengerjaiku?"
"Ah!" Dia seperti teringat sesuatu. "Aku pasti salah ambil. Harusnya lolipop itu manis. Gomen." Ekspresinya tetap datar.
Aku mendesah pasrah. Tidak ada gunanya adu mulut dengan laki-laki lempeng di sampingku ini. Hatiku kacau. Rasa nyeri masih tidak mau pergi.
"Jadi ..." Dia menelan ludah sebelum lanjut berbicara. "apa yang membuatmu menangis?"
"Tidak ada," jawabku asal-asalan.
Dia berdecak sambil mengalihkan pandang ke lalu-lalang kendaraan. "Setahuku, manusia menangis disebabkan dua hal. Kalau bukan karena sedih, pasti bahagia." Dia kembali memandangku, kali ini terselip keteduhan di matanya. "Tetapi terkadang kelegaan tidak bisa didapat hanya dengan menangis."
Kenapa dia berubah menjadi cenayang? Ya, Daichi benar. Meski sedari tadi aku menangis. Dadaku masih terasa penuh, seolah-olah disumpal berton-ton kapas. Laki-laki itu mengayun ayunan yang didudukinya dengan tenang. Dia menatap lurus pemandangan di depan.
"Karena suatu hal, aku bertengkar dengan Mama." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut. Entah mengapa aku merasa lebih baik bila bercerita sedikit padanya.
"Kamu marah dan memilih kabur dari rumah." Daichi menahan kaki ke tanah agar berhenti berayun. Tanpa melihatku, dia berkata, "Nyatanya, masalah di antara kalian tidak selesai sebab kamu memilih pergi daripada berdiskusi." Dia menoleh padaku. "Lari dari masalah adalah pilihan seorang pengecut."
Walau kalimat terakhirnya itu sangat tajam, tetapi lagi-lagi dia benar. Aku terlampau marah sehingga tidak bisa berpikir jernih. Sayang, aku tidak setuju dengan saran berdiskusi. Masalah yang menimpa keluargaku sudah tidak bisa didiskusikan lagi. Semua sudah berakhir saat pria itu memilih meninggalkan aku dan Mama. Meski sudah dibuat sakit hati, Mama masih saja berprasangka baik pada Papa. Bahkan tidak pernah mengatai Papa di depanku.
Tersebab tidak mendapat tanggapan, Daichi menghela napas. "Saat ini mamamu pasti cemas." Dia turun dari ayunan. "Kamu bisa pulang sendiri, kan?"
Kuputar kedua bola mata dengan malas. "Kamu pikir aku bayi?" Kuraba saku celana, tetapi tidak kutemukan ponsel. Celaka! Aku tidak bisa mengandalkan GPS sebab ponselku ada di kamar.
Daichi memandangku seolah-olah berkata, sudah kuduga.
***
Mama berdiri di depan pagar apartemen saat aku dan Daichi tiba. Dia mengantarku menggunakan sepeda milik bosnya. Kami turun dari sepeda dan Mama langsung memelukku.
"Alhamdulillah, Ika pulang. Mama khawatir sekali. Mama takut Ika tersesat."
Kubalas pelukan Mama. Seketika aroma tubuh Mama yang khas membuatku tenang. "Maafkan Ika, Ma."
Kedua tangannya menangkup pipiku. "Iya, Sayang. Jangan marah lagi, ya?"
Aku mengangguk. Kemudian perhatian Mama beralih pada Daichi yang tampak bengong. Mungkin dia bingung mendapati dua orang bercakap menggunakan bahasa asing. Atau mungkin dia heran dengan penampilan Mama yang menggunakan jilbab. Wajar saja, di sini tidak banyak wanita berpenampilan seperti Mama.
Mama membungkuk sambil berkata, "Terima kasih sudah mengantar Ika pulang."
Layaknya tersadar dari lamunan, Daichi tergeragap. Buru-buru disandarkan sepeda ke pagar tembok. "Bukan masalah." Dia balas membungkuk. "Perkenalkan, saya Nakayama Daichi. Teman sekelas Hikari-san."
Mama tersenyum lebar. "Ah ... begitu rupanya. Sekali lagi terima kasih, Nakayama-kun."
Daichi mengangguk. Kemudian dia berpamitan pada kami. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar terjadi, aku melihat rona wajah Daichi berubah ceria.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top