PART 5 (a)
Hikari
Sensasi segar membalut kepala usai keramas. Rasanya seperti lilitan pening di kepala akibat rumus matematika, ambyar dengan sendirinya. Kukeringkan rambut menggunakan handuk. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari kamar Mama. Memang itulah kebiaasannya setiap malam. Suara Mama yang lembut menenangkan selalu berhasil membuat mood-ku membaik.
Mama memang pantas dibanggakan. Sebagai mualaf, Mama termasuk tekun mendalami ilmu agama. Sewaktu masih tinggal di Surabaya dulu, Mama rajin mengikuti pengajian. Buku-buku yang dibacanya pun tak jauh dari beraromakan Islam. Meski begitu, Mama masih tetap haus akan ilmu agama.
"Kenapa bengong di situ?" Mama menegur. Tangannya membenahi jilbab yang agak berantakan. Dia terbatuk untuk beberapa detik, lalu ke wastefel dapur guna mencuci tangan. "Ayo makan."
Aku megangguk, lalu menggantung handuk di kamar mandi. Aku menyusul Mama di ruang tamu yang sekaligus ruang makan. Di meja kecil itu sudah ada sepanci kecil sup miso dan sosis goreng. Tak jauh dari meja, ada rice cooker kecil yang masih menyala.
"Mama beli rice cooker?" Aku duduk di depannya sambil memperhatikan sup miso yang tak lagi mengepulkan asap. "Panci kecil ini juga?"
Mama mengambil mangkuk kecil, mengisinya dengan nasi panas dari rice cooker. "Iya, Mama tadi beli rice cooker. Tidak mungkin, kan, kita beli makanan terus-terusan. Bisa tekor." Diserahkannya mangkuk itu padaku. "Panci kecil ini, kompor, penggorengan, alat makan dan alat masak merupakan pinjaman dari pemilik apartemen."
Kualihkan pandang pada jajaran alat masak di dapur. Baru kusadari ada peralatan memasak di sana. Padahal aku tadi berkali-kali melewatinya. "Wah, Mori-san murah hati sekali. Kita beruntung. Perabotannya juga masih bagus."
Mama tersenyum. Disendoknya sosis goreng dan diletakkan di mangkukku. "Alhamdulillah. Allah membantu kita. Mama juga sudah dapat pekerjaan di kedai Selera. Kedai itu menjual masakan Indonesia."
"Alhamdulillah. Selamat, Ma." Setelah sekian lama mencari pekerjaan, akhirnya Mama mendapatkannya. Wajar saja bila aku sangat bahagia.
"Terima kasih." Tangannya mengusap kepalaku. "Makan yang banyak."
Kuacungkan jempol disertai senyum lebar. Usai kami berdoa, aku mulai mengunyah nasi dan sosis goreng. Kurang puas, kutuang sup miso sampai mangkuk penuh. Meski makan malam ini terbilang sederhana, bagiku terasa begitu lezat.
"Ika."
"Ya," jawabku dengan mulut penuh.
Mama tampak ragu-ragu melanjutkan kalimat. "Hmm ... kita di sini lebih dari seminggu." Mama mengambil jeda sejenak. Diletakkannya mangkuk dan sendok. Kedua matanya menyorotku lembut. "Apa tidak sebaiknya kamu menghubungi Papa?"
Mendadak, leherku serasa dicekik. Aku tersedak. Buru-buru meminum segelas air putih sampai tandas. Meski sudah tidak terbatuk-batuk, tetapi rasanya leherku masih sakit hingga merembet ke dada.
"Hati-hati, Sayang." Mama mengusap bibirku menggunakan tisu.
"Tidak perlu. Toh, Papa pasti sibuk dengan istri barunya." Rasa lapar yang awalnya mendera perut, kini lenyap tak bersisa.
"Ika ... Papa pasti merindukanmu." Nada bicara Mama yang lembut, tetap saja tidak bisa memperbaiki suasana hatiku. Digenggamnya tangan kananku seraya melanjutkan kalimat, "Kamu kesayangan Papa."
Kutarik kasar tanganku. Dadaku naik-turun menahan emosi. "Bohong! Kalau Papa sayang Ika, kenapa tega membuat Ika sengsara seperti ini?"
"Ika ..."
"Kenyataannya Papa lebih memilih wanita itu!" Kali ini aku kehilangan kontrol diri. Suaraku melingking memenuhi ruangan.
Mama masih mengendalikan diri. Tatapannya tetap lembut. "Benar, tetapi kamu tetap ada di hatinya."
"Cukup!" sentakku sembari menggebrak meja. Mama terkejut. Kedua mata sipitnya melebar. "Ika tidak ingin membahasnya lagi! Dia hanya bagian dari masa lalu yang pantas dilupakan!" Tanpa menunggu respons Mama, aku berlari keluar apartemen. Keadaan luar yang mulai gelap tak menyurutkan niatku. Aku tetap menembusnya tanpa tahu harus ke mana.
***
Banyak pengguna trotar yang menatapku penuh tanya. Namun, aku tidak peduli dan terus menangis sesenggukkan. Hatiku sakit sekali. Rasanya seperti membengkak lalu meledak. Aku menyesalkan perkataan Mama tadi. Seolah-olah Mama ingin menyerahkanku pada pria itu. Pria yang namanya tak akan pernah kusebut lagi.
Setelah semua yang dia lakukan padaku, pada Mama, aku tidak akan sudi menemuinya lagi. Rasa kecewa dan luka di hati yang telanjur membekas, tidak akan pernah bisa dihapus oleh apa pun. Tidak akan pernah bisa!
Rasa emosi yang memuncak, menjadikan kakiku lemas. Terlebih aku tidak tahu pasti sejauh apa aku berjalan. Aku tidak tahu di mana kini berada.
Aku duduk di sudut emperan toko. Kupeluk lutut dan membenamkan wajah di sana. Rasanya aku ingin melampiaskan kemarahan dengan menangis semalaman.
"Kamu bisa kedinginan kalau terlalu lama berada di sini."
Perlahan aku mendongak. Samar-samar aku melihat seseorang yang menjulang tinggi berdiri di depanku. Setelah menghapus genangan cairan di mata, barulah aku tahu siapa dia. "Kamu ...."
Dia yang tak lain adalah Daichi, menatapku datar. Dipindainya diriku mulai ujung kaki sampai kepala. "Kalau mau menangis, jangan di sini. Bisa-bisa kamu disangka gadis tak waras."
Apa? Apa dia baru mengataiku? Tidak bisakah dia menghibur orang lain yang bersedih, terlebih teman sekelas? Ah! Aku yang bodoh. Mana mungkin si angkuh ini mau melakukannya.
"Urus saja urusanmu sendiri!" jawabku sewot.
"Ini jadi urusanku."
"Apa? Sejak kapan?" Kunaikkan nada bicara agar dia tahu bahwa kehadirannya tak diharapkan.
Ditunjuknya tulisan di celemek yang dia pakai. Kemudian ganti menunjuk ke belakangku. Kuikuti gerakannya itu. Seketika aku membelalak. Rupanya tulisan itu sama. Kedai Ramen Yamada.
"Aku bekerja di sini. Suara tangismu akan mengganggu para pelanggan kami." Dia mengatakan itu dengan tenang dan tanpa ekspresi. Aku heran, sebenarnya dia punya perasaan atau tidak?
Aku berdiri cepat. Kutusuk dia dengan sorot kejengkelan. "Baiklah, aku akan pergi. Sayonara!" Namun, ketika aku berbalik dan baru mengambil beberapa langkah. Dia memanggilku. Aku berputar dengan kesal. "Apa lagi?"
"Aku tahu tempat menangis yang aman."
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top