PART 4

Daichi

.

Aku menatap lekat manik-manik biru yang ada di dalam tempat pensil. Desahan panjang kukeluarkan, berharap rasa menyesal menghilang. Tentu hal tersebut tidak terjadi. Justru menarik perhatian Kentaro.

Dia meninju pelan lenganku. "Ada apa lagi? Kenapa muram begitu?"

Aku menggeleng.

Kentaro melirik ke arah tempat pensilku. Kedua matanya membola. "Wah, kenapa manik gelang besarmu bisa lepas?"

Tasbih. Aku meralat dalam hati. "Kecelakaan."

Harusnya aku memarahi Kentaro. Betapa tidak, dialah orang yang meneleponku saat sedang mengamati Hikari beberapa hari lalu. Dikarenakan panik, aku segera berlari menuju lantai tiga. Sialnya, ponselku tak mau berhenti berdering. Saat mengambil ponsel dari saku celana, tanpa sengaja tasbih yang selalu kubawa ke mana-mana, jatuh di salah satu anak tangga. Kumatikan segera benda pipih itu. Namun akibat tergesa, aku tak tahu bila ujung sepatuku menginjak tasbih. Walhasil saat kuambil cepat, talinya putus dan maniknya berhamburan.

"Bagaimana bisa?" Dia masih mengejar dengan pertanyaan.

Kuangkat kedua bahu. Jelas aku tidak akan menceritakan kronologi kejadian. Bisa-bisa dia salah paham dan menganggapku aneh-aneh.

"Kamu bisa merakitnya lagi menjadi gelang seperti semula. Gampang, kan?" tangannya menepuk-nepuk pundakku.

Gampang kalau saja satu maniknya tidak hilang. Selama ini aku mencari benda mungil itu, tetapi belum ketemu, yang ada aku semakin merutuki kecerobohan.

"Ah! Ohayou, Hikari-san."

Sapaan membuatku refleks menoleh ke pintu belakang. Senyum Hikari luntur ketika melihatku. Dia memutus kontak mata kami.

"Ohayou, Yamaguchi-kun," balasnya. Dia meletakkan tas di meja, duduk lalu mengambil sebuah buku dan membacanya.

Seperti menyadari sesuatu, Kentaro memandang kami bergantian. Dia menyikut bahuku. "Aku yakin Hikari-san masih marah padamu gara-gara insiden bersih-bersih," lirihnya.

"Heh! Aku?"

Buru-buru Kentaro membekap mulutku. Dia tidak ingin objek yang kami bicarakan mendengar. Dia beralih duduk di meja. Masih dengan nada berbisik, dia berkata, "Di hari pertamanya bersih-bersih, tanpa sengaja debu dari penghapus papan tulis yang kamu bersihkan mengenainya. Dia terbatuk. Kamu tidak minta maaf, malah pergi begitu saja."

Benarkah? Pantas saja dia menatapku tajam. Rupanya kesalahanku tak hanya lupa mengucapkan terima kasih pasca ditolongnya mengumpulkan manik-manik, tetapi juga belum meminta maaf. Jujur, untuk kesalahan yang kedua, aku tidak melihatnya ada di sana. Saat itu aku fokus mendengarkan suara di earphone.

"Sebaiknya kamu segera minta maaf." Kentaro menepuk bahuku, lalu pergi menuju bangkunya sendiri.

Aku mendesah seraya meliriknya. Kentaro benar, ditilik dari wajahnya yang muram, aku harus segera minta maaf. Jika tidak, seluruh rencanaku akan gagal.

***

Mungkin apabila sebulan penuh aku melakukan hal ini, bisa menjadi penguntit profesional. Aku sendiri juga bingung, mengapa susah sekali melakukan komunikasi dengan Hikari. Seringnya malah terjadi kesalahpahaman. Sepertinya aku harus mencari waktu yang tepat.

Hikari tampak serius memperhatikan barisan buku yang ada di rak. Telunjuknya menyentuh punggung buku-buku itu sambil komat-kamit. Dia beralih ke sebuah rak yang ada di pojok. Matanya mengarah ke atas. Gadis itu berjinjit, mencoba mengambil buku yang diinginkan. Sudah berkali-kali mencoba, tetapi tidak berhasil juga.

Merasa ini kesempatan bagus, aku bergerak mendekatinya. Kuraih buku yang dia maksud, lalu memberikannya. Kedua mata Hikari membulat sempurna. Namun, buru-buru dia mengalihkan pandang ke bawah setelah menerima buku.

"Arigatou." Hanya itu yang terucap. Hikari menderap meninggalkanku.

"Arigatou, Hikari-san." Akhirnya kalimat itu bisa meluncur lancar dari mulutku. Dia berhenti dan berbalik. Kedua alisnya hampir bertaut. Kuambil langkah lebar ke arahnya. "Terima kasih sudah membantuku mengumpulkan manik-manik."

Belum ada tanggapan. Dia memandangku sekilas, lalu kembali terpaku pada buku dipelukannya seolah-olah wajahku kalah pamor dari benda itu. Namun, aku paham bila dia masih menunggu kalimat selanjutnya.

"Hontou ni gomennasai. Waktu itu aku membuatmu terbatuk. Aku tidak sengaja karena tidak melihatmu." Kuperhatikan mimik wajahnya yang masih mendung. "Yurushite kuremasu ka?"

Dia menatapku dalam diam, seakan-akan mencari kesungguhan dari ucapan barusan. Beberapa detik kemudian, dia mengangguk. Belum sempat kuucapkan lagi terima kasih, gadis itu sudah melenggang pergi.

Kuperhatikan kepergiaannya dengan heran. "Apa dia benar-benar sudah memaafkanku?"

***

Kutatap beberapa uang koin di tangan sembari mendesah panjang. Aku tak habis pikir kenapa harga melonpan naik secara tiba-tiba. Walhasil aku hanya bisa makan tiga buah. Tentu saja belum sepenuhnya mengobati rasa lapar. Mulai besok aku akan membawa bento. Kalau tidak malas atau lupa.

Tepat ketika aku masuk ke kelas, Kentaro memanggil keras. Di sana dia bersama Nanako, Chika dan juga Hikari. Mereka menyatukan bangku dan menyantap bento bersama.

"Apa?" Kujejalkan kedua tangan ke saku celana.

Kentaro beranjak dari duduk. Dia menarikku mendekati para gadis. "Duduk!" paksanya sambil berjinjit dan menekan bahuku agar duduk. "Kita makan sama-sama."

Aku memandang para gadis bergantian. Sungguh aku merasa tidak enak karena tiba-tiba bergabung tanpa persetujuan mereka. "Tidak usah. Aku tidak bawa bento."

Sebuah onigiri Kentaro letakkan di tanganku. "Okaasan membuatkanku banyak onigiri. Kita bisa berbagi."

"Kalau masih kurang, kamu bisa makan punyaku juga." Chika berkata malu-malu.

"Jangan sungkan," Nanako menimpali. "sudah seharusnya kita sering makan bersama seperti ini. Supaya lebih akrab. Betul, kan, Hikari-san?"

Otomatis aku mengarahkan pandang pada Hikari. Dia hanya mengangguk dan tersenyum sekilas. Kemudian kembali menyantap bento-nya dalam tundukan.

"Arigatou, minna-san."

Sepertinya kalimat Nanako tadi ada baiknya. Siapa tahu dengan begini aku bisa berbicara lebih banyak dengan Hikari.

.

Bersambung ....

.

Catatan:

Hontou ni gomennasai: aku sungguh minta maaf.

Yurushite kuremasu ka?: maukah kamu memaafkanku?

Melonpan: roti manis bulat mirip melon, tetapi tidak ada rasa melon

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top