PART 3
Hikari
Kuusap wajah usai melangitkan doa. Akan tetapi, saat mulai melipat mukena, bunyi ponsel tertangkap telinga. Refleks aku menoleh, tetapi tidak ada siapa pun. Mungkin suara ponsel siswa yang melintas di lorong dekat sini. Terlebih suasana yang sepi membuat suaranya semakin nyaring.
Setelah memastikan mukena dan sajadah terlipat rapi dan masuk ke tas, aku keluar dari kelas memasak. Belum jauh aku melangkah, kurasakan kepalaku tertimpa sesuatu. Rupanya manik-manik biru. Benda mungil itu menggelinding hingga membentur dinding. Kupungut dan spontan mendongak.
"Ini milik siapa?"
Penasaran, kulangkahkan kaki menaiki tangga menuju lantai tiga. Benar saja, aku menemukan ceceran manik-manik yang lain. Tubuhku membungkuk, memungut manik-manik dengan langkah setapak demi setapak hingga tanpa diduga, aku menemukan jawaban atas pertanyaanku tadi.
Seorang murid laki-laki tengah kebingungan memunguti manik-manik itu. Tangan kirinya mengepal. Kuyakini itu adalah manik-manik lain. Merasa iba, aku pun berinisiatif memberikan bagian yang kutemukan padanya.
"Aku rasa ini milikmu," ujarku sembari mengulurkan tangan kanan yang menggenggam beberapa manik.
Laki-laki itu terkejut hingga tanpa sadar menjatuhkan manik di tangannya. Ditepuk-tepuknya dada sambil menatapku horor. Jujur, hal itu sedikit menyinggungku.
Laki-laki jangkung itu kembali memunguti benda mungil biru tadi. Kemudian menengadahkan tangan, mengode agar aku menyerahkan sisanya.
"Ini manik-manik apa? Gelang?"
Pertanyaan barusan memang iseng, tetapi cukup menjengkelkan bila tidak dijawab. Apa susahnya bilang ya atau tidak? Parahnya, dia langsung pergi begitu saja setelah menerima manik dariku. Perilaku macam apa itu? Apakah dia tidak mengenal ucapan terima kasih? Oh, aku bisa kena migrain mendadak.
***
"Sucipto-san, kochi!"
Mendengar panggilan itu, dadaku seperti disayat-sayat. Perih sekali. Meski aku tahu itu nama belakangku, tetapi enggan rasanya menyandangnya atau bahkan membanggakannya. Tersebab semua kebanggaan di kepalaku telah luluh lantak tak bersisa.
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Di bangku paling depan, terlihat dua gadis yang melambaikan tangan padaku. Kalau tidak salah bernama Abe Nanako dan Morita Chika.
Kuletakkan mukena ke dalam tas, lalu mendekati mereka. "Ada apa?" tanyaku seramah mungkin. Tentu itu harus dilakukan mengingat aku murid baru.
"Lihat ini, Sucip--"
"Hikari," potongku. "Panggil saja Hikari. Supaya lebih akrab."
Keduanya tersenyum lebar.
"Baiklah. Kamu juga harus memanggilku Nanako." Gadis berambut sepinggang itu tersenyum manis.
"Watashi mo. Call me Chika." Chika tersenyum lebih lebar sehingga memunculkan lesung pipi. Tangan kanannya membentuk huruf v.
Aku manggut-manggut senang. Kemudian, Nanako menunjukkan sebuah artikel dari ponselnya. Artikel itu membahas tempat makan siap saji yang baru. Kelihatannya tempat itu viral karena mengambil konsep panda. Bisa ditebak, Nanako dan Chika ingin mengajakku ke sana beberapa hari mendatang. Sebagai murid baru yang baik, sudah menjadi suatu keharusan aku menyetujui. Di lingkungan baru, tidak ada salahnya, kan, aku membentuk hubungan baik?
Kala asyik mengobrol, entah bagaimana ceritanya kepalaku menoleh ke pintu belakang tepat ketika seorang laki-laki jangkung masuk. Dia yang kaget sempat menghentikan langkah. Kami bersitatap beberapa detik. Meski hanya sebentar, cukup membuatku meradang.
Si angkuh itu membuang muka, melangkah menuju bangkunya yang ternyata di depanku. Tidak tepat di depan, sih. Bila ditarik garis diagonal, bangkuku ada di belakangnya. Pasti aku terlalu fokus pada pelajaran sehingga tidak sadar bila dia juga murid di kelas ini.
Bunyi bel memaksaku kembali ke bangku. Saat melewatinya, dia seolah-olah tidak melihatku. Setelah tadi aku sempat membantunya, bisa-bisanya dia memperlakukanku seperti ini. Ah, menyebalkan!
***
Pelajaran diakhiri Mr. Mark dengan memberikan tugas ringan—itu hanya pendapatnya—membuat karangan tentang keluarga. Dari sekian banyak tema, mengapa pria pirang itu memilih tema keluarga? Kenapa tidak pencemaran lingkungan, bullying atau tema lain yang juga cocok untuk murid kelas dua SMA?
Oke, ini bukan kesalahannya. Mr. Mark hanya guru bahasa Inggris yang menjalankan tugas. Aku saja yang tidak cocok dengan tema itu. Setidaknya setelah kepindahanku ke sini. Sungguh, aku tidak ingin membahasnya.
"Putri-san."
Aku menoleh. Di sampingku sudah ada seorang laki-laki berkacamata. Kalau tidak salah, dia adalah ketua kelas. Namanya Yamaguchi Ken—entahlah. Aku tidak ingat. Lain kali aku akan mencatat semua nama murid di kelas ini supaya tidak lupa.
Keningku berkerut, menerka tujuannya memangilku. "Panggil aku Hikari." Rupanya nama Hikari Putri Sucipto membuat teman-temanku bingung memanggil.
"Ah ... gomennasai. Aku tidak tahu nama margamu. Jadi, aku memanggilmu Putri-san." Dia cengengesan sambil menaikkan bingkai kacamata.
"Bukan masalah. Ada apa?" Tanganku sibuk memasukkan semua buku di meja ke tas.
"Sebelum pulang sekolah, kami semua membersihkan kelas. Aku harap kamu mau berpartisipasi."
Aku manggut-manggut. "Aku akan bantu."
Yamaguchi menarik kedua sudut bibir, membentuk senyum lebar. "Arigatou, Hikari-san."
***
Semua meja dan kursi ditata ke belakang. Beberapa murid mengambil kain pel dan beramai-ramai membersihkan lantai. Tidak hanya lantai kelas, lantai koridor di depan kelas pun tak luput dari aksi bersih-bersih. Sedangkan aku kebagian mengelap jendela kaca yang ada di kelas. Jangan salah, meski kelihatan mudah, pekerjaan ini memerlukan tenaga. Yamaguchi memberi tahu bila aku harus mengelap hingga kinclong. Tanganku sampai pegal.
Tiba-tiba, si angkuh membuka jendela, menepuk-nempukkan dua buah penghapus papan. Dikarenakan tiupan angin, debu berasal dari penghapus itu masuk dan mengenai hidungku. Sontak aku bersin.
"Hei!" teriakku berang.
Namun, si angkuh berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah. Terang dia tidak mendengar protesku sebab kedua telinganya disumpal earphone. Menyebalkan!
"Maaf, ya. Daichi-kun memang seperti itu." Lagi-lagi aku tidak menyadari kedatangan Yamaguchi. Dia sudah ada di sampingku. "Tetapi dia baik, kok. Hanya kurang bisa bergaul saja."
Aku tak menanggapi. Itu lebih baik karena mood-ku saat ini sedang buruk.
.
Bersambung ....
.
Catatan:
Kochi!: di sini!
Watashi mo: aku juga
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top