PART 2
Daichi
.
Aku menengok ke arah jam dinding yang ada di tembok belakang kelas. Baru kali ini aku merasakan waktu berjalan lambat. Bahkan biasanya aku yang berharap bel masuk sekolah tidak berbunyi, kali ini justru sebaliknya. Aku sangat tidak sabar.
.
Kupasang earphone selagi kembali menoleh ke benda bulat berjarum itu. Tentu saja jarum panjangnya belum banyak berpindah sebab aku menoleh dua kali tiap tiga puluh detik. Mungkin.
.
Tepukan keras dari belakang di kedua pundak, menggagalkanku menyentuh ikon pemutar musik di ponsel. Spontan aku menoleh dan menjumpai Kentaro tersenyum lebar hingga giginya terlihat.
.
"Kuamati dari tadi, kamu tampak gelisah dan terus memandang jam dinding." Dia beralih duduk di meja. Dibetulkannya posisi kacamata yang sedikit melorot. "Ada masalah apa?"
.
Aku menggeleng. Tentu saja Kentaro tidak mudah percaya. Dia menyipitkan mata sambil memandangku. Kemudian bersedekap. "Aku tahu! Kamu pasti menunggu murid baru itu, kan?"
.
Haih! Rupanya kabar kedatangan seorang murid baru sudah menyebar dengan cepat. Memang benar aku menunggunya dan ini bukan gayaku. Namun, untuk yang satu ini berbeda. Murid ini datang dari Indonesia. Meski begitu, aku tidak mau mengakuinya di depan sahabatku.
.
Beberapa hari lalu, tanpa sengaja aku mendengar percakapan para guru di ruangannya. Mereka membicarakan murid perempuan pindahan dari kota yang namanya sukar untuk kuingat. Pastinya dari Indonesia. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan perkara jenis kelamin sebab yang membuatku tertarik bukanlah hal tersebut, melainkan sesuatu yang lebih penting.
.
"Jangan sok tahu, selorohku cuek." Kulepas kembali earphone, memasukkannya ke dalam laci meja beserta ponsel.
.
"Baiklah baik." Dia manggut-manggut sambil melempar pandangan mengejek. "Lalu apa?"
.
Rupanya keberuntungan masih berpihak padaku. Suara bel masuk berhasil mengusir Kentaro dari bangkuku. Dia tampak kesal karena merasa aku tidak berterus terang. Tak mau ambil pusing, aku fokus menatap ke depan.
.
Menit berikutnya, suara heels Endo sensei mengiringi suara detak jantungku. Mungkin inilah reaksi penasaran yang berlebihan. Seiring pintu kelas digeser, masuklah seorang wanita berusia tiga puluhan sambil mendekap buku tebal. Diletakkannya barang bawaaan ke meja. Seperti biasanya, kedua matanya memindai seisi kelas dengan cermat.
.
Kentaro memimpin anggota kelas memberi salam. "Ohayou gozaimasu, Sensei."
.
“Ohayo gozaimasu. Bagus! Tidak ada yang bolos atau terlambat." Tepat pada kata terlambat, dia melirikku tajam. Wanita berkucir kuda itu selalu hafal siapa saja yang sering bolos atau terlambat datang mengikuti kelasnya.
.
Endo sensei memukul meja. Memang itulah gayanya sebelum mengawali pelajaran. "Hari ini, seperti yang sudah kalian tahu, ada murid baru.
.
Langsung saja kalimat itu mendapat seruan kata "woah" dari seisi kelas, kecuali aku. Endo sensei mengode seseorang agar masuk. Semua mendadak terdiam. Seorang gadis yang menggendong ransel hitam melangkah masuk. Namun, detik itu pula aku tertegun. Dia tidak berjilbab. Rambut hitam sebahunya tergerai bebas.
.
Oke! Ini memang sedikit diluar ekspektasi. Seharusnya aku sudah tahu bahwa tidak semua orang Indonesia memakai jilbab. Itu pilihan mereka. Siapa tahu dia bukan beragama Islam.
.
Gadis itu memperkenalkan diri. Namanya Hikari. Setidaknya itulah yang cepat kutangkap sebab nama belakangnya panjang dan susah diucapkan. Dia blesteran Jepang-Indonesia. Pantas saja dia memiliki wajah khas Jepang dengan mata Indonesia yang bulat lebar. Sayang, aku justru menangkap pancaran kesenduan dari sana.
.
Endo sensei menyuruhnya duduk di belakang. Memang di sanalah letak bangku kosong. Itu berarti kami berada di barisan diagonal dengan aku di depan. Sepanjang perjalanan singkat menuju bangku, dia terus menunduk. Menyembunyikan wajah di balik poni.
***
.
Kurekatkan punggung di balik dinding gudang sambil berselancar di dunia maya, melihat video terbaru youtuber favoritku, Sakamoto Mizaki. Belum sempat niat itu tercapai, suara gemericik air menyita perhatian. Aku melongok ke arah deretan kran air yang biasanya digunakan para siswa mencuci tangan setelah beraktifitas di luar. Di sana tampak Hikari sedang membasuh tak hanya wajah, tetapi tangan, kepala, kaki dan bagian tubuh lainnya. Tidak salah lagi! Itu adalah gerakan wudu.
.
Mendadak aku jadi antusias mengintipnya. Maksudku bukan mengintip hal mesum. Ini lain soal. Buru-buru aku mengikuti Hikari yang mulai beranjak pergi sambil membawa tas kecil dari kain. Lengkap sudah, sekarang aku mirip seorang penguntit.
.
Hikari melangkah tergesa menuju lantai dua di gedung belakang, terpisah dari gedung di mana kelas kami berada. Rupanya dia masuk ke ruang yang biasanya digunakan sebagai kelas memasak. Dari jendela yang terpasang di pintu, aku bisa menyaksikan gadis itu menggelar kain merah muda.
.
Itu sajadah. Aku tahu.
.
Kedua tangannya bergerak mengikat rambut sebahu dengan karet rambut. Sebuah kain putih panjang dua bagian dikeluarkannya dari dalam tas kain. Kain itu sangat manis. Ada corak bunga mawar merah muda. Hikari mengenakannya dan mulai salat.
.
Kuamati gerakan salat secara langsung itu. Mendadak, hatiku menghangat. Ada kelegaan yang entah dari mana datangnya. Sampai-sampai aku tidak menyadari bila Hikari sudah selesai beribadah. Sialnya, ponsel di saku celanaku berbunyi. Tidak ingin tertangkap basah dan dilabeli pengintip, buru-buru aku kabur dari tempat itu. Mencari persembunyian yang aman.
.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top