PART 10
Daichi
Sebuah keranjang penuh buah-buahan kusangga di depan dada. Kata Ayaka-san dan Suji-san bila bertamu ke rumah orang, terlebih meminta bantuan, harus membawa buah tangan. Mereka bilang itu salah satu bentuk kesopanan. Aku menurut saja. Lagi pula tidak ada salahnya membawakan buah untuk Watanabe-san—akhirnya aku tahu nama ibu Hikari—mengingat terakhir kali bertemu dia tampak kurang sehat.
Kuketuk pintu apartemen mereka perlahan. Tak lama pintu berderit, menampakkan sosok Hikari dengan tatanan rambut berantakan. Keningnya penuh peluh. Dia menatapku curiga.
"Ohayou, Hikari-san," sapaku mencoba menetralkan suasana.
"Ohayou." Dia menyahut cuek. Masih dengan sorot yang sama, dia bertanya, "Ada perlu apa? Seingatku kita tidak punya janji." Dia melirik keranjang buah yang kubawa. Kedua alis yang nyaris menyatu mengindikasikan bertambahnya kecurigaan.
"Kemarin aku bertemu ibumu yang ...." Lidahku berhenti bicara manakala teringat permintaan Watanabe-san. Kupaksa otak berpikir mencari kalimat lain yang tepat. "Maksudku, kemarin aku bertemu ibumu dan meminta bantuan."
"Bantuan?"
"Aku akan jelaskan di dalam." Aku mencoba tersenyum semanis mungkin, walau susah. Kuyakin senyum terpaksa itu tampak aneh.
Hikari mendengkus. Dibukanya pintu lebar-lebar. "Masuk dan duduklah. Maaf, tempat tinggalku berantakan."
"Tidak masalah." Aku masuk dan duduk di bantal duduk. Melihat kondisi bangunan yang sudah tua, tampaknya ruangan ini cukup terawat baik. Aku tidak menjumpai debu di meja.
Hikari berjalan menuju dapur. Tangannya meraih sebotol jus jeruk, menuangkannya ke gelas. "Mama sedang keluar sebentar. Memangnya kamu minta bantuan apa?"
Aku mengabaikan pertanyaan itu. Fokusku teralih pada pintu yang dibiarkan terbuka. "Kenapa pintunya tidak ditutup?"
Hikari meletakkan segelas jus jeruk dan setoples keripik kentang ke meja. "Menghindari prasangka buruk. Kita tidak ada hubungan keluarga, jangan sampai orang lain mengira kita melakukan hal yang tidak-tidak."
Orang lain? Setahuku di apartemen ini hanya dihuni dua keluarga saja. Selebihnya kosong. Namun, aku tidak mendebat. Mengingat saat ini aku bertamu di rumahnya, jadi harus bersikap sopan.
Hikari duduk bersila di dekat pintu. Aku jadi teringat saat dia membantuku mencabuti rumput di halaman belakang. Dia pun mengambil jarak cukup jauh.
"Tolong jawab pertanyaanku." Gadis itu kembali bersuara.
Aku berpikir sejenak, mengingat pertanyaannya. "Aku minta bantuan agar Watanabe-san mengajariku membaca buku ini." Kuletakkan sekeranjang buah ke meja, lalu mengambil buku kecil di tas selempang. Kutunjukkan pada Hikari.
Seketika dia memelotot. Rona curiga berganti keterkejutan. "Itu, kan, buku iqro. Kamu dapat dari mana? Kenapa mau belajar membacanya?"
Reaksi Hikari hampir mirip dengan ibunya saat kuungkapkan niatku. Bedanya, Watanabe-san langsung bisa ambil sikap. Pertanyaannya pun tidak terkesan mencecar. Lebih memilih membiarkanku bercerita dengan sendirinya.
"Ini milik Ojiisan. Ojiisan seorang mulaf."
"Heh!" Hikari memajukan posisi. "Luar biasa!" Tatapan diarahkan pada buku kecil itu. "Buku iqro dari Indonesia?" Kulit keningnya mulai berlipat.
Aku mengangguk. "Teman Ojiisan yang memberikannya."
Hikari masih bengong. Bahkan mulutnya masih membentuk huruf o. Meski begitu, bila diamati secara saksama, gadis itu lumayan juga. Yeah, maksudku dengan kulit kecokelatan dan mata lebar membuatnya tampak manis, kecuali kalau dia sedang berkata ketus.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Hikari memelotot sambil mundur, kembali ke posisi semula. "Jangan memikirkan hal macam-macam!"
Aku tergeragap, tetapi buru-buru bersikap biasa. Rasanya aneh tertangkap basah lagi. Kuusap hidung sejenak, lalu berseloroh, "Siapa yang berpikir macam-macam. Aku hanya ingin belajar membaca iqro."
Hikari mencebik kesal. "Lalu kenapa kamu ingin belajar membacanya?" Kentara sekali keingintahuan gadis ini, sampai-sampai dia mengulang pertanyaan.
Kuarahkan pandang pada buku kecil di meja. "Ojiisan sering membaca Al-Qur'an, meski terbata-bata dia tetap berusaha. Namun, saat beliau meninggal, aku tidak bisa mendengarnya lagi. Hanya bisa mendengar orang lain di YouTube. Jadi, aku ingin menyalurkan kerinduan dengan membaca Al-Qur'an."
Aku tidak percaya menceritakan ini semua pada Hikari yang notabene masih orang asing. Mungkin saja suasana yang mendadak mengingatkanku pada almarhum Ojiisan membawa atmosfer sentimental. Namun, aku tidak menyesalinya. Setidaknya dada terasa sedikit ringan.
"Oh, aku mengerti." Rona muka Hikari berubah lebih ramah. Kerutan kedongkolan tidak lagi terlihat. "Jika kakekmu tahu, beliau pasti senang."
Aku mengangguk perlahan. Kalau seperti ini, dia sama dengan gadis yang normal. Iya, normal dalam artian anggun, tidak terkesan kasar karena volume bicara yang keras.
"Assalamu'alaikum." Watanabe-san muncul di ambang pintu dengan dompet merah muda di tangan.
"Wa'alaikumussalam," jawab Hikari seraya berdiri. "Muridmu sudah datang." Gadis itu berjalan ke sisi wastafel, mengambil lap dan semprotan cairan pembersih kaca.
Watanabe-san tersenyum padaku sekilas. Dia masuk ke kamar mandi. "Gomen ne, Nakayama-kun. Tadi aku keluar sebentar." Suaranya beradu dengan guyuran air. Kurasa dia sedang cuci kaki. "Kamu menunggu lama?"
"Tidak masalah. Saya belum lama datang."
Wanita keluar dari kamar mandi seraya berkata ramah, "Ayo, kita belajar di taman belakang."
***
Ini bukan taman belakang. Lebih cocok disebut halaman belakang yang terbengkalai. Memang ada beberapa tanaman, tetapi semuanya kering. Sebuah pipa panjang yang kuyakini digunakan menjemur baju, merupakan satu-satunya benda berwarna cerah di sini. Pasalnya dua kursi dan meja bulat berpayung penuh lubang yang kami gunakan belajar, terkesan kusam tanpa warna. Setidaknya masih bersih.
Tanpa menunggu lama, Watanabe-san langsung mengajariku. Pertama membaca basmallah. Tenang, aku bisa mengucapkannya dengan benar sebab sudah sering mendengarnya. Ibu Hikari tampak senang. Selanjutnya dia mulai mencontohkan pengucapan beberapa huruf arab dengan sabar. Kurasa aku akan cepat bisa sebab memiliki guru yang telaten. Aku sangat beruntung.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top