PART 1

Hikari


"Finally, we are here now!" ucap Mama dengan napas ngos-ngosan. Meski begitu, senyum kelegaan masih dapat terlihat.

Aku menatap lurus pada bangunan dua lantai di depan. Jika saja tidak ada papan bertuliskan "Apartemen Mori" yang besar—meski memakai huruf Jepang—mungkin orang-orang akan mengira itu adalah bagunan yang telah lama kosong, berhantu. Pasalnya tidak ada hal lain yang menyiratkan bahwa gedung ini dapat ditinggali manusia dengan layak.

Sejauh mata memandang, hanya warna kelabu yang tampak. Mungkin catnya sudah lama pudar atau memang sejak dulu begitu. Entahlah. Aku tidak peduli. Bagiku dalam situasi seperti ini, tinggal di mana pun sama saja. Sama-sama menyakitkan.

"Ika, hayaku!"

Rupanya Mama sudah jauh di depan. Dia kembali susah payah menyeret koper yang rodanya sudah rusak. Kuyakini keringat sudah merembes di punggung, walau tertutup jilbab yang dikenakannya. Aku mendengkus. Entah ini dengkusan keberapa, yang jelas aku benar-benar tidak suka berada di sini.

Aku mendekat dengan langkah ogah-ogahan. Tentu saja sambil menarik koperku sendiri. Jangan lupa ransel hitam menggembung di punggung. Rasanya tubuhku mengalami gejala remuk perlahan.

Penderitaan masih berlanjut. Aku dan Mama masih harus mengangkat koper ke lantai dua. Memang di sanalah tujuan kami. Seketika aroma karat menusuk hidung manakala melewati tangga. Seperti menyoraki, suara decitannya semakin menambah pening kepala.

Kuraup oksigen banyak-banyak ketika sampai di tujuan. Dari atas sini, pemandangan langit senja Tokyo cukup memukau. Seandainya situasiku lebih baik dari ini, pasti aku sudah berswafoto ria, lalu mengunggahnya ke Instagram dengan caption berbau romantis. Sayangnya tidak demikian.

"Ika, kenapa melamun di situ? Ayo masuk!" Lagi-lagi Mama menegurku. Dia sudah membuka pintu bernomor nol delapan. Pintu paling pojok di lantai ini. Kemudian masuk tanpa menungguku.

Aku mendengkus lagi. Kuseret koper menyusul Mama. Lipatan di kening bertambah kala disambut aroma khas tatami. Aku ingat betul aroma ini saat berlibur di Nagoya dan menginap di penginapan bergaya tradisional beberapa tahun lalu. Ah, sial! Seharusnya aku tidak mengingat hal yang membuat mood-ku memburuk.

"Ika, kamu bisa pilih kamar sesukamu."

Kata "sesukamu" seolah-olah memberi kesan ruangan ini memiliki banyak kamar. Nyatanya hanya ada dua kamar bersisihan dan kuyakini sempit. Di tempatku berdiri sekarang pasti ruang tamu, karena ada meja kecil di tengah serta tiga bantal duduk yang mengitari. Dapurnya tidak diberi sekat sehingga tampak menyambung dengan ruang tamu. Tepat di dekat jendela dapur, ada pintu dari seng. Aku bisa tebak itu adalah kamar mandi.

Mama berjalan melihat-lihat ruangan. "Tempat ini tidak buruk juga." Dia terbatuk-batuk, lalu dengan cekatan mengambil tisu dari tas selempang untuk mengusap mulut. "Sepertinya kita akan betah tinggal di sini."

Ya ya ya! Mama benar jika temboknya tidak kusam, tidak ada sarang laba-laba beterbaran, dan kuharap tidak bocor saat hujan. Bahkan di sini aku tak bisa bebas menghirup udara. Ruangan ini terlalu pengap. Entah sudah berapa abad tidak dihuni. Sialnya kami akan mengawali kehidupan baru di sini.

"Aku istirahat di kamar," pamitku seraya menyeret koper masuk ke kamar pertama, paling dekat dengan ruang tamu.

Aku melongo kala hanya mendapati futon teronggok di pojok kamar dan meja belajar tua. Selebihnya ruangan ini kosong. Tak apa, justru memberi kesan luas, kan? Tanpa berpikir panjang, kuletakkan koper dan ransel tak jauh dari pintu. Kugeser penutup jendela agar udara segar masuk. Selanjutnya kugelar futon dan menggelepar-gelepar di benda empuk itu seperti ikan kekurangan air. Tubuhku terasa remuk.

Kutatap langit-langit kamar berwarna kekuningan. Ketidakfokusanku ini memancing peristiwa yang kualimi kemarin. Aku masih ingat betul tiap kata yang diucapkan wanita itu. Wanita yang Mama bilang adalah adiknya.

"Apa Oneesan lupa perkataan Okaasan belasan tahun lalu?" Dia berucap dengan mimik angkuh dan terselip kemarahan. "Namamu telah lama dicoret dari daftar keluarga Watanabe karena lebih memilih menikah dengan pria pilihanmu. Jadi, tidak ada tempat untuk kalian di sini!" Dia berdiri, lalu melirik aku dan Mama. "Jangan beranggapan kami jahat. Tidak menghalangimu menikah dengannya sudah merupakan itikad baik kami. Sudah sepantasnya kalian menghargai keputusan ini." Dia bersedekap sembari membuang muka.

Sungguh, saat itu aku ingin sekali segera kabur dari rumah orang tua Mama. Perkataan wanita itu berhasil membuat telinga memerah. Akan tetapi, Mama menggenggam tanganku erat, seakan-akan tahu bila aku akan berlari pergi.

Bukannya marah, Mama justru terlihat tegar. Dia meminta maaf karena telah menyakiti keluarga, termasuk ibunya yang tak sudi menemui kami. Tak ada tanda-tanda Mama akan menangis. Dia berdiri perlahan, berpamitan, lalu memaksaku membungkuk memberi penghormatan pada penyihir itu.

Mengingatnya memancing air mata keluar. Bila dipikir-pikir, semua peristiwa pahit ini tidak akan terjadi bila Papa tidak membawa badai ke rumah kami. Badai yang memporak-porandakan segalanya, termasuk biduk pernikahan mereka. Seketika, dadaku berdenyut nyeri. Sampai kapan pun, tidak ada kata maaf untuk penghianat.

"Ika, jangan tidur kalau belum salat." Mama melongok dari sela pintu. Aku lupa menguncinya karena terlalu lelah. "Oh, ya. Mandilah dulu. Mama akan siapkan roti selai." Dia berlalu sembari mendendangkan sesuatu yang tak terdengar jelas di telingaku.

***

Pagi ini tubuhku masih dibalut rasa pegal selepas melakukan rute perjalanan Surabaya-Kyoto-Tokyo. Belum lagi aku merasa futon yang kugunakan tidur memiliki keanehan. Tubuhku gatal-gatal semalaman. Aku bertekad akan menjemurnya nanti siang.

Mama menungguku di ruang tamu. Dia sudah menyiapkan sarapan serupa hidangan semalam. Yap! Roti dengan selai kacang yang kami beli kemarin di minimarket. Aku memaklumi. Lagi pula siapa yang ingin memasak setelah melakukan perjalanan jauh? Toh, belum ada peralatan masak di sini. Makan roti selai adalah pilihan tepat.

"Hari ini Mama akan mengurus sekolahmu," ucapnya ketika aku duduk. "Mama ingin kamu cepat-cepat bersekolah supaya tidak tertinggal pelajaran."

Aku mengangguk sambil mencomot roti berselai kacang. Usai membaca doa, langsung kugigit dan kunyah.

"Mama sudah temukan sekolah yang mengizinkanmu mengerjakan salat." Mama meletakkan sebotol air mineral ke meja. "Bahkan bila kamu ingin berjilbab pun tidak masalah." Mama sengaja mencondongkan wajah padaku. Tatapannya penuh harap.

Aku hanya mengulang gerakan mengangguk. Kuraih air mineral tak jauh dari wadah selai kacang, meneguknya hingga separuh.

Mama tersenyum. Tangannya terulur untuk mengusap kepalaku. "Mama tidak sabar menantikannya."

Bersambung ....

Catatan:

Hayaku: cepat

Tatami: tikar Jepang yang terbuat dari anyaman jerami

Futon: kasur tradisional Jepang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top