Chapter 7
[Y/N] POV
Fantasi adalah sesuatu yang terbentuk dari imajinasi, dan imajinasi adalah 'pemikiran cemerlang' yang kamu bangga-banggakan. Fantasi terus terbang di benakmu, dan imajinasi pun akan mengarahkan fantasi yang terbang liar hingga bisa terbang dengan anggun dan gagah, layaknya seekor rajawali yang perkasa.
Kilaunya sangat hebat. Ada banyak di antaranya, tetapi kamu harus memilih salah satu. Dan saat-saat ini adalah sesuatu yang sudah kamu nantikan setelah dua minggu berlalu.
Sungai yang sangat putih hingga kilau cahaya matahari yang dipantulkannya dapat mengalahkan pantulan cahaya dari sungai normal yang dialiri oleh air, pada saat inilah kamu merasa percaya diri.
Kamu yakin, kamu dapat mematahkan perkataan orang Amerika tersebut, dan kamu akan melaju ke grand final bersama dengan Akutagawa. Memang, Akutagawa sangat percaya diri karena ia sudah mencetak banyak penghargaan.
Kalau Akutagawa saja begitu percaya diri, kenapa kamu tidak? Kamu harus percaya diri, kamu harus profesional. Kalau memang ingin serius menggeluti dunia musik yang merupakan salah satu pilar terbesar dari sekian banyak pilar lainnya, maka 'demam panggung' dan 'gugup' sudah tidak pantas lagi untuk disebutkan di atas kompetisi sebesar ini.
Lalu, sebagai penyemangat tambahan atas aransemenmu yang berhasil selesai tepat sebelum patokan hari kemarin berpindah ke hari ini, kamu memutar kembali sebuah pesan suara dengan durasi yang cukup panjang dari seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dazai Osamu seorang.
"Good morning, good evening, good night~! Teruntuk cintaku, Kamu itu adalah seorang yang terbaik yang terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Walau begitu, kegilaanku pada kejadian di hari hujan itu membuatmu begitu kecewa padaku, aku ... Maafkan aku." Ucapan Dazai-kun terdengar manis di awal dan membuatku gemas, tetapi seketika hal tersebut berbalik ketika ia mulai mengungkit kesalahannya waktu itu, mencoba untuk menghancurkan impianku berdiri di panggung kelas dunia buat sekali seumur hidup.
Aku memang masih marah padanya, tapi akankah aku dianggap naif jika aku memaafkannya karena telah merobek kertas nota yang terisikan oleh nada-nada balok yang penting tersebut, lalu memekik keras padaku?
Jika iya, maka hal macam apa yang membuatku bisa memaafkannya? Haruskah hal yang terburuk terjadi lebih dulu pada salah satu dari kami, baru setelah itu Dazai-kun akan pantas untuk dimaafkan?
"Hari itu, ketika aku sadar dengan apa yang aku lakukan, aku sudah pasrah. Karena dasarnya memang adalah salahku, aku tidak akan terkejut jika Kamu meminta untuk membatalkan pertunangan dan kita tidak akan pernah menikah.. Meski begitu, Kamu masih memberiku kesempatan bagi diriku untuk meminta maaf kepadamu dan keluargamu," katanya. Aku telah memikirkannya berulang kali, aku rasa Dazai-kun benar-benar menyesal. Dan, kalimat selanjutnya membuatku sedikit tercengang dan membelalak keras.
"Aku meminum berbotol-botol sake, berharap jika apa yang telah aku perbuat hanyalah ilusi gilaku semata saja."
Sake; atau alkohol khas Jepang. Bahkan, selain sake pun Dazai-kun masih suka minum alkohol lainnya. Contohnya, wiski.
Aku akan sangat-sangat tidak terkejut jika Dazai-kun akan berbuat hal nekat, terutama 'kesukaan'nya akan meminum banyak alkohol pada satu waktuーDazai-kun itu tahan mabuk, hanya saja sekalinya sudah mabuk, maka mabuknya tidak akan terkendali. Namun, apa yang dapat membuat jantungku melompat keluar dari mulutku adalah mengenai tindakan nekat apa saja yang bisa ia lakukan kapanpun dan di manapun.
Ada banyak jenisnya. Yah, tidak perlu kusebutkan satu-satu, karena terlalu banyak dan membuat mental seseorang yang selembut tahu jadi dapat terguncang sampai hancur leburーtenang saja, aku sedang menyindir diriku sendiri.
"Namun, nyatanya hal itu benar terjadi, dan akulah yang melakukannya. Aku.. telah mengecewakanmu dengan tanganku sendiri. [Y/N]-chan, aku tahu, tidak seharusnya aku berbicara begini ketika kamu sedang masa karantina di Roma. Tetapi, jikalau kamu ingin membatalkan pertunangan ini, maka masih ada waktu."
Tidak. Aku tidak ingin ia menyerah, aku ingin kamu untuk bertanggung jawab. Ia nyaris menghancurkan karirku, lantas apakah ia ingin pula untuk menghancurkan pertunangan ini? Berapa banyak lagi hal berhargaku yang ingin ia hancurkan?
Oh, Tuhan. Aku ingin berkata seperti itu seraya balas memekik kepadanya, atas perbuatannya pada hari itu. Aku ingin ia merasakan apa yang aku rasakan ketika ia berteriak dengan tidak bersalahnya setelah merobek kertas notaku ...
"Pikirkanlah baik-baik. Karena begitu Kamu pulang ke Jepang, maka Kamu akan langsung bertemu dengan orang baru yang lebih baik daripada aku."
... Ya, hal ini akan benar-benar terjadi jika nee-chan tidak memiliki salinan notaku, dan aku harus bersusah payah mencari potongan-potongan kertas yang sudah dirobek oleh Dazai-kun. Menggabungkannya satu per satu layaknya puzzle, dan kemudian aku harus menuliskannya ulang pada lembaran kertas yang baru.
Itu.. sama halnya seperti belajar dari kesalahan di masa lalu. Di masa lalu, apa yang terjadi memang tidaklah sempurna dan rapuh, tetapi di masa depan akan muncul rasa kepastian dari apa yang sudah dipelajari di masa lalu. Sehingga, apa yang sebelumnya terjadi dan sudah ditelaah dengan baik itu dapat membuat masa depan berjalan sedikit lebih baik, lalu kesalahan yang sama dapat berubah dan tidak akan terulang lagi.
"Tapi, kalau tidak demikian, kalau Kamu masih ingin mempertahankan hubungan ini, maka berikan aku satu kesempatan saja. Setelah itu, aku akan memperbaikinya!"
Kamu harus memperbaikinya. Aku menolak keras jika kamu menyerah begitu saja, tanpa meninggalkan pertanggung-jawaban apapun.
"Kalau Kamu masih mencintaiku, maka aku juga akan terus mencintaimu."
Aku sangat mencintaimu, Dazai Osamu.
"Yah, cintaku hanya aku berikan untuk kamu seorang. Kalau bukan Kamu, siapa lagi? Aku berjanji akan mendukungmu sepenuhnya." Kamu punya lusinan mantan yang patah hati, karena kamu sudah bertunangan denganku.
"Dan kematian 'kan selalu datang kapan saja. Kita tidak perlu memikirkan kematian yang sudah berlalu, yang perlu kita lakukan hanyalah untuk fokus pada masa depan yang akan datang. Ya, hanya kita berdua. Sampai maut memisahkan kita."
Sungguh ... Apa yang dikatakan Dazai-kun di akhir tadi, terdengar seperti sumpah pernikahan, ya? Memutuskan tanggal pernikahan dan membuat undangan saja belum dilaksanakan, tapi ia sudah memikirkan bagaimana melafalkan sumpah pernikahan via voice chat sampai sejauh ini?
Lantas, aku pun melepaskan earphone yang telah terpasang pada lubang telingaku selama beberapa waktu terakhir. Aku lakukan itu, karena aku mencoba untuk menenangkan diri dengan kembali memutar voice chat dari Dazai-kunーwalau kebanyakan orang di sini adalah orang asing, siapa tahu salah satu dari mereka bisa mengerti dengan bahasa Jepang. Kalau begitu, aku bisa maluーatau sekadar memutar lagu saja, dikarenakan ketua komite yang dimaksudkan hendak memberikan pidato sebelum akhirnya kompetisi yang sudah melalui proses seleksi ini dapat dilaksanakan, ternyata masih belum juga sampai ke gedung utama.
Ngaret sekali.
Namun, tiba-tiba aku kembali terpikirkan dengan ucapan Dazai-kun yang terdengar seperti sumpah pernikahan. Kenapa aku bisa tahu? Sejak usiaku 20 tahunーempat bulan sejak pertama kali berkenalan dengan Dazai-kunーkarirku sebagai pianis dimulai dari sana, dan itu diawali dengan aku mendapat tawaran untuk menjadi pianis yang mengiring lagu di saat upacara pernikahan berlangsung.
Lagu-lagu pernikahan itu sudah seringkali aku dengar, baik secara langsung maupun lewat film. Jadinya aku sudah hapal di luar kepala. Yah, itu tidaklah sulit, tetapi kemudian aku mencoba untuk menambahkan sedikit improvisasi. Walaupun, sebenarnya aku tidak ingin membuat perhatian para tamu pernikahan jadi terfokus padakuーdan bukannya kepada pasangan pengantin. Namun, apa salahnya, kan? Berkat itu, aku bisa mengerti bagaimana caranya menghasilkan pendapatan dari pekerjaanku sebagai pianis ini.
"Apakah tidak apa-apa, misalnya aku bertanya kepada Ibu.. Tentang apa saja yang dilakukannya ketika upacara pernikahan..? Tapi, aku malu."
"Kenapa malu? Itu wajar," ucap Ran-nee yang duduk di sofa di belakangku yang juga bersandaran dengan sofa yang aku duduki di sini. Ia pun berkata dengan ada sedikitpun desahan pada ucapannya, dan kemudian melanjutkan perkataannya. "Oh, dan siapa tahu nanti Kamu juga akan bertanya tentang apa saja yang dilakukan ketika malam pertamaー"
"ITU TERLALU JAUH!!"
"Loh? Tapi kalau menikah, sudah pasti akan melewatinya." Kamu saja belum menikah, kak. Tahu apa dirimu?
"Iya, sih.."
"Kalau begitu, biar aku saja yang tanyakan."
Kakak? Kakak yang bahkan pacaran saja tidak pernah, mau bertanya demi aku? Mungkin, Ran-nee pernah sekali atau lebih merasakan jatuh cinta, tapi sayangnya, cintanya selalu kandasーkarena bertepuk sebelah tangan.
Karena itu, Ran-nee tidak pernah diketahui pernah berpacaran dengan pria manapun. Aku ingin membantunya, tapi ia selalu saja menolaknya. Alibinya pun sama saja, yang ingin jadi wanita karir lah, yang katanya pria rekomendasiku itu ketinggian lah, dan banyak sekali alasannya untuk menghindari mencari teman sehidup sematinya.
"Jangan, nanti Kakak diceramahi Ibu, lho."
"Diceramahi karena aku dilompati oleh Adikku sendiri? Masa bodoh!"
"Tapi, aku juga ingin punya keponakan.."
"K-KAU SUDAH BERENCANA AKAN MEMILIKI ANAK DENGAN DAZAI??"
"B-bukan begitu!!" A-aku salah bicara. Kata-kataku terlalu ambigu.
"Aku akan katakan kepada ibu, kalau Kamu sudah menikah nanti pasti akan punya anak~"
"H-Hanabatake Ran, JANGAN LAKUー"
Terlambat. Ran-nee sudah hilang entah kemana, dan yang bisa kulakukan hanyalah mendengus panjang saja sembari menunggu waktu di mana ketua komite Fyodor datang untuk menyampaikan pidatonya.
"Ran-nee waktu itu bilang, ia ingin punya keponakan. Lalu, aku sendiri pun juga ingin punya keponakan, yang maksud dari perkataanku itu adalah aku ingin agar Ran-nee bisa menikah juga.."
Dan tentunya, dengan begitu ia tidak akan dirumorkan oleh keluarga besar sialan yang mendengar rumor kalau kakakku itu orang yang tidak tahu malu karena tidak mau untuk meneruskan garis keturunan keluarga.
Ran-nee tahu apa yang terbaik. Ayah dan ibu memang menginginkannya untuk menikah karena usinya yang sudah sangat matang, tetapi jika kakak memang menginginkan untuk menjadi wanita karir, maka mereka tidak akan memaksakannya.
Itulah yang aku cintai dari orangtuaku. Mereka mendukung sepenuhnya apa yang diinginkan anak-anaknya, tetapi mereka juga mengarahkan apa yang dipilih oleh anak-anaknya agar keputusannya jatuh pada keputusan terbaik yang tak akan disesali.
"Aku yakin Dazai-kun juga ..."
"Ya, Ayahku juga benar-benar mendukung apa yang aku inginkan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top