Chapter 5

Normal POV

"Saya tidak terima!! Ini sungguh penghinaan untuk tanah kelahiran saya, tanah air saya!"

Ketua komite tak lagi mau menjawab gunjingan, bualan, dan olokan dari orang Amerika di hadapannya. Ia baru akan kembali bicara setelah Akutagawa dan manajernya kembali masuk ke ruangan itu.

Meski tampak acuh, pria yang pertama kalinya menjadi ketua komite dalam mengatur kompetisi ajang internasional tersebut hanya terfokus pada layar komputer, tapi apa yang ia lihat adalah sebuah bukti yang penting. Sebuah rekaman kamera pengawas, lengkap dengan audio yang menyertainya.

Dari gelagat Ran yang berhenti berjalan, lalu memalingkan wajah kepada si perwakilan Amerika dan masih diam di sana selama beberapa saat. Kemudian mendekat dan kembali diam mendengarkan, dan sebuah gerakan yang sepertinya Ran sedang menggebrak meja sampai perhatian orang-orang yang ada di sekitar pun terpancing kepada mereka.

Barulah setelah itu Ran menarik kerah perwakilan Amerika dan menghantamnya dengan beberapa pukulan keras yang membuat sang perwakilan Amerika tersebut terjungkir balik dari duduk manisnya dengan cangkir yang berisi teh hitam yang pecah, pula menarik perhatian orang-orang sepenuhnya.

"Apa yang Kau katakan benar, Mr. Sean Carter. Sungguh adalah sebuah penghinaan untuk tanah airmu," ucap si ketua komite yang memiliki maksud tersembunyi di balin perkataannya.

Yakni ia berkata bahwa apa yang terjadi pada saat itu adalah penghinaan untuk tanah air Sean, tetapi apa yang ketua komite tersebut maksudkan adalah penghinaan tersebut tidak berasal dari Ran, melainkan dari Sean sendiri.

"Apa kubilang?! Makanya cepat bawa ini ke persidangan, Mr. Fyodor-!"

"Ternyata begitu. Kepribadianmu adalah manusia pecundang dengan nyali ampas," kata Akutagawa sesaat setelah suara derit pintu muncul perlahan.

"APA MAKSUDMU BICARA BEGITU?!"

"Ketimbang merendahkan, akan lebih masuk akal jika Kau bersifat overproud akan bakat piano yang kau miliki. Lagipula, Kau mengatakan bahwa, perwakilan Jepang itu tidak setara dengan perwakilan lain, yang berarti Kau juga ikut merendahkanku." Akutagawa duduk pada sofa yang posisinya berhadap-hadapan dengan Sean. Lalu Higuchi berdiri di belakang Akutagawa, dengan sorot mata kemarahan karena pria di depannya ini telah menghina Akutagawa.

"Aku akan memenangkan kompetisi ini, Kau tahu?" ucap Akutagawa dengan sangat yakin.

Sean tertawa terbahak-bahak, seperti ia menelan sebuah bulatan besar omong kosong belaka yang bahkan Akutagawa sendiri tidak tahu bisa menang atau tidak. Namun, Akutagawa sendiri sangat percaya diri jika ia akan menang.

"Tidak usah mulut besar, deh. Omonganmu itu tidak ada pengaruhnya dalam kompetisi ini!"

"Lho? Bukannya yang bermulut besar itu kau ya?! Dasar sampah bau tai, tutup mulutmu atau kau akan membuat seluruh ruangan ini jadi bau jigong!!!" umpat Higuchi dengan sepenuhnya menggunakan bahasa Jepang. Akutagawa yang mendengarnya langsung terkekeh sembari menahan mulutnya.

"Hah? Kau bicara apa sih?! Dan Kau kenapa tertawa?? Apa yang dikatakannya..?!!"

Dostoyevsky pun juga ikut tertawaーmeski ia masih belajar untuk mendalami bahasa asing. Namun, ia familiar akan beberapa kata. Yakni, kuchi (mulut), gomi (sampah), heya (ruangan/kamar), dan kusai (bau).

"Ini benar-benar penghinaan!!!"
.
.

"Kau tahu kan kalau aku selalu membawa stun gun, ke mana pun aku pergi. Aku bisa saja menyetrumnya sampai mati ketimbang memukul wajahnya yang bisa menyakiti tanganku. Aku benci rasa sakit," jelas Dazai yang bercerita jikalau ialah yang ada di posisi Ran pada saat kejadian tersebut.

[Y/N] hanya memasang ekspresi wajah ketus yang jika diterjemahkan, ternyata aku benar-benar mencintai orang gila, begitu. Kenapa artinya seperti itu? Karena sejujurnya, [Y/N] ingin sekali menghilangkan manusia-manusia macam Sean, yakni mereka yang merasa bahwa mereka selalu di atas dan menginjak-injak yang rendahan.

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, perilaku macam itu ada hampir di setiap umat manusia manapun. Lantas, bagaimanakah jadinya?

"Ketemu," kata Ran saat menemukan sesuatu yang ia cari-cari.

Sedari tadi Ran mencoba refreshing dengan cara menyelam dalam dunia internet. Dan kebetulan, [Y/N] sedang melakukan video call dengan Dazai. Ran pun bertanya, apakah mendiang ayah Dazai memiliki semacam situs web, akun sosmed, atau macam-macam lainnya mengingat ayah Dazai-kun adalah seorang pianis yang rutin ikut serta dalam kompetisi piano internasional. Salah satunya adalah kompetisi yang seperti [Y/N] sedang ikuti saat ini.

Sayangnya, akun-akun sosmed milik ayah Dazai sudah Dazai takedown sendiri, dan saat di mana Dazai menghapus akun ayahnya pun sudah lama sekali. Sebagai gantinya, Dazai membuat sebuah laman baru berupa private web yang bertujuan untuk mengenang mendiang ayahnya tersebut.

Dan Dazai pun tidak asal menghapus akun-akun ayahnya, sebelumnya ia telah menyimpan segala postingan foto maupun video yang ayahnya pernah unggah ke sosial media. Lalu Dazai menggunggah ulang foto-foto dan video tersebut ke web yang ia buat. Barulah setelah itu Dazai menghapus akun ayahnya.

"Kenapa Kau melakukan itu?" tanya [Y/N].

"... Aku ingin menyimpannya untuk diriku sendiri," jawab Dazai.

Dengan jawaban Dazai yang singkat tersebut, [Y/N] tak lagi bertanya guna menjaga perasaan Dazai. Dan tentunya Ran juga menyadari hal tersebut. Dazai sangat menyayangi ayahnya, suasana hatinya akan muram ketika membahas tentang hal-hal yang baginya sangat sensitif.

Ketika hari ayah tiba, ia akan berjalan santai menuju pemakaman Yokohama sembari membawa sebuket bunga lili. Kadang kala ia melihat seseorang memainkan piano sebagai bentuk hadiah untuk ayahnya, dan itu membuatnya sangat terpukul.

Tak ada hadiah berarti kecuali sebuket bunga lili putih dan doanya untuk ayahnya di atas sana. Kadang Dazai berpikir, akankah ayahnya berterima kasih atas hadiah dari anaknya di dunia?

"Suteki.. (Indah..). Permainannya lembut, ringan, tapi berenergi. Terbaik."

"Sejujurnya, aku merindukan hari-hariku bersamanya. Ketika aku bangun tidur, melodi-melodi piano sudah memenuhi seisi rumah. Anehnya aku tidak merasa terganggu dengan hal itu.."

"Aku ingin mendengarnya secara langsung," kata Ran.

"Kau akan sangat terpukau, Nee-san. Aku jamin mulutmu akan menganga."

Dazai benar-benar bangga dengan ayahnya. Awalnya Dazai berkeinginan untuk menjadi pianis juga seperti ayahnya, tapi ayahnya mengatakan sesuatu kepadanya.

Dan Dazai mengulang kembali perkataan ayahnya waktu itu kepada [Y/N] dan juga Ran.

"Kau bebas menentukan apapun yang ingin kau lakukan, dengan syarat apa yang ingin Kau lakukan tersebut tidak merugikan dirimu maupun orang lain."

"Dan itulah yang nanti akan Kau katakan kepada anakmu," kata Ran dengan entengnya.

"... Pardon? (Maaf?)"

Mata [Y/N] berkedut, ia malah terjebak dalam situasi memalukan tersebut, apalagi di hadapan Dazaiーmeski keadaannya secara virtual. Di mana ia akan menaruh muka? Rasa malunya benar-benar tak tertahankan, sampai-sampai [Y/N] ingin melakukan seppuku, lalu ia akan meninggalkan secarik surat yang berisi puluhan baris ucapan minta maaf.

Atau ia ingin membungkam mulut kakaknya dengan belasanー tidak, ratusan bungkus natto sehingga kakaknya akan meminta ampun sembari meneteskan air mata. Benar-benar tirani.

Ya, ada banyak sekali yang ingin [Y/N] lakukan untuk menghilangkan rasa malunya. Kalaupun punya kemampuan penghilang ingatan, pemutar waktu, pasti akan ia gunakan.

"M-menikah saja belum, bagaimana mau punya anak?!"

"Hm? Itu sudah tertulis di wajahmu lho, kalau menikah nanti akan punya anak."

"SUDAHLAH KAKAK, HENTIKAN! A-apa Nee-chan tidak lihat wajah Dazai-kun?!"

"Dazai?" Ran melirik pada layar laptop putih milik [Y/N]. Dengan matanya, ia menangkap sosok Dazai yang sok menyibukkan diri agar wajahnya yang memerah itu tidak begitu kentara.

Namun, Ran hanya tersenyum saja. Ia menggeser laptopnya yang masih mengakses ke private web ayahnya Dazai yang dibuat Dazai ke [Y/N] dan beranjak pergi untuk menyiapkan kopi yang sebelumnya sudah ia panaskan.

"Berikan ayah dan ibu cucu, dan keponakan untukku~!"

"KAKAKK!! M-M-MENIKAH ITU TIDAK HANYA SEKADAR MEMILIKI ANAK SAJA! Kaulah yang harus menikah! Tidak malu diloncati oleh adikmu?!!"

"[Y/N]-chan.."

"Y-ya? Ada apa?"

Dazai sedikit terbatuk-batuk dengan tujuan untuk mengurangi rasa gugupnya sembari terus menyembunyikan semburat merahnya, ia tidak henti-hentinya memalingkan muka dari [Y/N].

Lalu berkata, "kapan kompetisinya akan digelar?"

"Oh, sekitar lima hari lagi."

"Hari Kamis?"

"Iya ... Tunggu, ada apa? Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, kan?"

Dazai terkekeh pelan, akhirnya ia berani untuk kembali menunjukkan wajahnya kepada [Y/N]ーtentunya dengan sedikit semburat malu yang masih tersisaーwalau masih sebatas layar laptop saja.

"Naisho (Rahasia)."

"Ternyata benar, yaa.."
.
.

Bahkan hingga larut malam pun kalian tidak henti-hentinya melakukan panggilan video. Tidak peduli jika laptop yang kalian gunakan jadi semakin panas karena terus menerus digunakan apalagi sambil diisi daya, kalau belum kapok maka tidak akan berhenti.

(Tolong jangan ditiru, serius duarius)

Asalkan masih bisa digunakan dan masih ada cara untuk tetap seperti itu, apapun itu akan kalian lakukan demi bisa bercakap-cakap hingga tidak tahu waktu.

Kamu sendiri harus cukup tidur sampai waktu kompetisi, sedangkan Dazai sibuk dengan tugasnya untuk menerjemahkan banyak novel juga bahan-bahan dialog untuk film luar yang nantinya akan didubbing ulang menjadi dub Jepang.

Kebanyakan translator memiliki asisten, tapi sebagai yang memiliki tanggung jawab penuh maka Dazai harus melakukan tugasnya. Jujur saja, ia tidak mengeluhkan apapun.

Ia menyukainya. Ini adalah gaya hidup yang Dazai cari-cari setelah berulang kali melakukan self-harm dan menutupi sekujur tubuhnya dengan perban, batinnya lebih dan lebih menyiksa dirinya kala memandangmu yang memohon dengan tersedu-sedu agar Dazai tidak terus-terusan melukai dirinya sendiri.

"Tekunilah hal yang membuatmu senang, dengan begitu api yang membara dalam hatimu kelak akan abadi selamanya. Meskipun badai yang gila menindihmu dengan salju beku, yang ada hanyalah kemauan untuk bangkit."

"..."

"Bentuk dari kebahagiaan adalah bisa berharap, betapapun samar-samarnya untuk bahagia. Setidaknya, kita harus percaya jika kita ingin untuk hidup di dunia saat ini."

"Apa itu bagian dari novel yang sedang Kau terjemahkan?"

Dazai kembali tersenyum, entah sudah berapa kali ia melamun dalam satu hari ini. "Tidak juga.. Apa Kau tidak mengantuk?"

"Sedikit ... mungkin?"

"Tidurlah, kita lanjutkan lain kali."

Kamu melakukan sedikit peregangan dan merasa sudah cukup dengan kegiatan yang kamu lakukan pada hari itu sampai larut malam, yang tentunya terasa lebih terkesan dengan Dazai yang menemanimu.

Kemudian, kamu kembali bertanya, "yakin? Aku akhiri sekarang, lho."

"Iya, sayangku. Tidur sekarang, jikalau masih rindu maka mimpikanlah aku."

Kini bergantian, giliran wajahmu yang memerah membara dan disertai dengan nada bicaramu yang berubah gagap. Membuat Dazai jadi gemas setengah mati dengan tingkah lakumu yang menurutnya imut itu.

"B-baiklah. Oyasuminasai.."

"Oyasumi, mata ato de."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top