Chapter 1

Author POV

"Kompetisi.. Piano?"

"Iya, aku dan 1 orang lainnya, akan menjadi perwakilan Jepang dalam kompetisi itu."

Impianmu semenjak kecil, hampir tercapai. Sedikit demi sedikit, kamu perlahan naik. Penampilan perdana di hadapan keluarga dan teman, berlanjut ke antar kota, prefektur, lalu nasional. Dan kini akhirnya secara internasional.

Mata dunia luar akan mulai tertuju padamu. Bintang kejora kecil ini akan menjadi bintang kejora yang memimpin bintang-bintang lainnya.

Setidaknya percaya diri yang seperti itu akan membantumu untuk tidak goyah ketika berada di panggung besar nanti.

Karena untuk menjadi bintang di dunia luar, kamu harus lebih bersinar dari bintang-bintang yang merupakan sainganmu di panggung besar. Menjadi satu tingkat di atas mitos, yaitu menjadi legenda.

"Kompetisi piano..."

Kamu memiringkan kepala. "Ada apa? Apa Osamu-kun.. Tidak senang?"

Kamu yang memanggilnya menggunakan nama belakangnya sembari menambahkan embel-embel 'kun' pun langsung membuat Dazai terperanjat dari bangku taman yang sedang kalian tempati tadi. Air mukanya tak terjelaskan, kemudian Dazai melenggang pergi tanpa sepatah kata dari bibirnya yang kelu.

Mendadak napas jadi tak karuan dan menggebu kuat, degup jantung menjadi semakin cepat yang memaksa darah untuk mengalir lebih cepat ke seluruh tubuh, keringat dingin pun ikut andil dalam hal ini. Kamu kebingungan, dan di saat bersamaan, berpikiran buruk.

"Dazai.. -kun?"

Pria berkepala dua bersurai coklat tua tebal yang berusia lebih tua satu tahun darimu berhenti melangkah, hendak menatap sang insan yang merupakan calon belahan jiwanya. Namun, ia mengurungkan niat dan menarik wajahnya yang hampir ia tolehkan kepadamuーkekasihnya.

Tatkala keinginannya untuk bersuara lebih kuat ketimbang memendam perasaan sendiri, bibir kelunya mengucapkan kata-kata yang terasa asing di telingamuーkamu berusaha untuk tidak mengenalinya, mengalihkan pengakuan dari apa yang sudah Dazai katakan.

Netra [E/C]mu pun berubah mengikuti arus emosi, berkilau dan bergelombang.

"[Y/N].."

Berburuk sangka hanyalah salah satu bentuk dari insting manusia, yang tidak sepenuhnya salah. Namun, perlunya mengetahui batasan adalah penentu benar tidaknya berburuk sangka kepada sesama.

Jemari Dazai-kun.. Bergetar. Batinmu yang memaku pandangan ke jemari Dazai. Menyadari tangannya bergetar, ia menyembunyikan kedua tangannya yang selalu dingin membeku ke dalam saku jaketnya, seperti apa yang biasa ia lakukan.

"Pulanglah ... Aku akan menyelamatkanmu."

"[Y/N]!! BAKA IMOUTOOO!!! (Adik bodoohh!!!)."

~Flashback end~

"Eh ... ya?"

Suara gaduh yang heboh sukses menarikmu dari lamunan yang tak mengenakkan. Wanita muda ituーkakakmuーadalah seorang penyelamat, ia adalah salah satu di antara kelima berkah besar yang kamu anggap berarti didalam hidupmu.

Alasanmu untuk hidup dan terus berkarya, dan tinggal di dunia sampai ajal menjemputmu, jika waktunya sudah tiba. Adalah keluargamu, dukungan keluargamu yang sudah susah payah mereka berikan, keinginan untuk melakukan sesuatu yang belum terjadi, musik yang berasal dari piano, dan ... Nama seseorang yang untuk sementara waktu ini, haram untuk disebutkan di hadapanmu.

"Melamun lagi? Kompetisinya sebentar lagi, lho."

Kamu segera mengerjapkan mata guna memfokuskan iris pada secarik kertas nota bergaris yang berhiaskan kurang dari selusin nada balok yang hanya memenuhi setengah kertas tersebut.

Kamu menghela napas secara kasar dan berat. "Untung saja waktu itu Nee-chan menyalinkan nada baloknya, dan secara kebetulan juga masih menyimpan video ulang tahunku dua bulan laluーyaitu ketika aku memainkan nada-nada mentah ini. Aku tidak tahu harus apa kalauー"

"Sudah cukup, saatnya sarapan."

Lalu muncul bunyi piring yang berintonasi dengan meja makan, membuatmu mencari asal suara. Kamu pun mendapati roti kukus isi [F/F] kesukaanmu. Kamuーyang menyukai kelembutan dan kehangatanーlebih suka dengan makanan yang creamy dan lembut ketimbang yang dibakar; garing, untuk alasan lainnya, tidak suka makanan gosong.

"Itadakimasu (Selamat makan)," ucap kakakmu yang setelahnya begitu menikmati sarapannya hingga menyembunyikan irisnya di balik kelopak matanya; memejamkan kedua matanya santai.

"Anu, Kakー"

Kamu yang hendak mengajak kakakmu kembali bicara langsung dihentikan karena kakakmu memberikan isyarat untuk memintamu diam sejenak. Ia tak suka jika harus diajak bicara ketika sedang mengunyah makanannya. Paling tidak, kamu harus bersedia untuk menunggu selama beberapa detik sampai kakakmu menelan makanan yang tadi dia kunyahnya.

"Ah.. Maaf. Itadakimasu." Kamu mengunyah satu gigitan kecil rotimu, tak butuh waktu lama untuk mengunyahnya dikarenakan tekstur rotinya yang lembut karena dikukus dengan baik. Ketika sudah halus, kamu segera menelannya dengan bantuan saliva sebagai pelumas agar makanan yang kamu kunyah menjadi mudah melewati tenggorokan sehingga turun ke lambung dengan aman.

"Ada apa?"

Akhirnya kamu mendapatkan kesempatan berbicara, dan segera mengeluarkan pertanyaan. "... Ibu dan Ayah dimana?"

"Menjenguk sepupunya Kakek di Osaka. Perginya pun pagi-pagi sekali, aku saja baru tahu tadi."

"Aah.. Ibu benar-benar supel, ya? Sampai sepupunya Kakek saja Ibu pun kenal."

"Daijobu! (Tenang saja!). Aku akan selalu menemanimu kok, Imouto-chan~! (adik kecil~!)."

Rangkulan hangat pun kamu dapatkan di kala mentari sedang sibuk mengucapkan salamnya kepada satu persatu mahkluk yang melaksanakan aktivitas paginya.

Tentunya tindakan kecil ini sangat berkesan dan berarti untukmu yang sedang dilanda kesedihan akan memburuknya hubungan pertunanganmu dengan Dazai.

Saat itu kamu sempat mengira bahwa hubungan ini akan segera berakhir, tetapi dukungan orang tersayang membuatmu kembali yakin untuk memperjuangkan hal yang pantas kamu miliki ini. Yaitu mencoba memperjuangkan cinta dari pria yang akan menjadi teman sehidup sematimu.

"Sankyuu~! Temani aku latihan piano, hari ini!"

"Touzen deshou~? (Itu kan sudah pasti~?)."

Akan kubuktikan padamu, Dazai-kun. Dengan begitu, kita akan segera seperti dulu lagi..

~Flashback on~


Derit pintu yang sangat suram, menjadi awal dari kilas balik kali ini.

"T-tadaima.. (A-aku pulang..)."

Begitu melangkah masuk, atmosfer rumahーyang meski sebenarnya itu adalah rumahnya Dazaiーlangsung memberikan serangan kejutan kepadamu, yakni berupa latar yang dingin nan suram seperti rumah hantu yang kamu akan rutuki sampai mati.

Rumah tampak gelap dan tak berwarna, hawa dingin yang tegang sangat mengganggu dan menggundah gulanakan batin.

Langkah kakimu yang terus datang seiring waktu dapat teredam (?) oleh kaus kaki yang masih kamu kenakan, sangat hangat dan nyaman dalam kondisi apa pun. Sedangkan jemari tanganmu ikut menapaki dinding; meraba dinginnya dinding yang menyeruak dengan cepat dan menyatu dengan kaku pada telapak tangan.

"Dazai-kun?" Kamu sedikit menaikkan intonasimu sehingga muncul gema-gema kecil di tengah-tengah lorong yang menghubungkan ruangan tersebut dengan ruang tengah.

Kini yang memisahkan hanyalah sebuah pintu geser tradisional Jepang; Shoji. Jemarimu meraih celah untuk menggeser pintu tersebut, celah-celah pintu yang ditutupi dengan kertas washi itupun mengerang ke samping.

Ketika terbuka, matamu tak bisa menangkap apapun. Ruang tengahnya gelap gulita, tapi kamu yakin ada seseorang di sana. Entah bagaimana Dazai bisa tahan dengan ruangan yang tiada penerangan seperti ini, satu-satunya penerangan hanya celah di antara pintu yang memisahkan halaman belakang dengan ruang tengah.

Hanya cahaya dari luar yang menerangi ruangan ini..

Samar-samar rintik air dari langit membasahi bumi, udara dingin masuk dengan susah payah melalui celah pintu shoji yang membatasi ruang tengah dengan halaman belakang tersebut.

Dan sepertinya cuaca sedang tak enak hati. Kilat menyambar suatu tanah yang ada di bumi pertiwi yang pelakunya tak lain adalah yang menyembunyikan bumantara langit. Cahaya biru yang lebih dahulu datang, lalu diikuti oleh suara sambaran yang menggelegar dengan selisih satu sampai dua detik; kilat.

"A-apa.. yang Kau lakukan..."

Sosok itu berdiri dan menggeser shoji yang ada di belakangnya. Sangat tidak memperdulikan jika potongan-potongan kerja nota yang robek yang sudah tidak lagi berbentuk sebagai lembaran kertas lagi. Walau gelap menyembunyikan kekejian Dazai yang bertanggung jawab karena menghancurkan kertas nota tersebut, tetapi itu tidak bisa membuatmu merasa lebih baik

Sebenarnya apa maksud semua ini?!

"Aku mencoba menyelamatkanmu. Aku mencoba mencegah terjadinya malapetaka."

"Menyelamatkan? Menyelamatkanku dari apa?!"

Kamu segera berlari mengambil potongan-potongan kertas yang robek acak dengan tangan gemetar. Kamu tak peduli lagi dengan pria di hadapanmu, yang hanya menyebut namanya saja akan membuatmu muntah. Kamh hancur secara jiwa raga.

Lagu ini masih setengah jadi dan aku harus mengulang dari awal ... Kompetisinya dua bulan lagi.

"Oh tidakk..! Mana potongan yang tersisaー"

Cengkraman Dazai yang datang secepat kilat langsung merekat pada tanganmu dengan sangat erat, lenganmu ditariknya sampai wajahmu dan wajahnya saling berdekatan satu sama lain. Netranya terfokus pada netramu yang berlinangan air mata. "A-aku tak mengerti ... Kenapa, kenapa Kau tidak mau mendukung impian seumur hidupku?! L-lepaskan aku!"

"KOMPETISI ITU TERKUTUK, [Y/N]!! Kalau masih bersikeras maka aku bisa kehilanganmu. Kehilangan untuk yang kedua kalinya!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top