Chapter 2: Never Felt Anything Like This
Disclaimer: Shingeki no Kyojin punya Hajime Isayama-sensei, saya cuma pinjam chara-nya saja, sedangkan cerita ini saya yang punya :v
***
Author POV
Levi mematikan lampu taman kafe, berlanjut dengan mengambil beberapa cangkir yang telah kotor kemudian kembali memasuki bangunan. Sang raven melihat wanita yang dikenalnya sedang merenung didepan bak cuci piring, kedua alisnya mengerut kesal.
"Carla, akhir-akhir ini kau pulang lebih awal, apa ada sesuatu yang terjadi?"
Yang ditanya menoleh, kemudian dengan acuh kembali menekuni tugas mencucinya. "Aku baik Levi-kun, jangan khawatir..."
Dusta.
Tapi dia sudah terbiasa, karena sejak satu setengah tahun ini Carla menjadi berbeda dari sebelumnya. Jadi tanpa bertanya lebih lanjut, dia memilih untuk membersihkan meja-meja. "Levi-kun tolong ambilkan sabun— Ah..."
Prang—
Levi berbalik, dan menemukan Carla yang meringis kesakitan akibat darah yang mengalir dari dari telapak tangannya, senyum ceroboh dilontarkan. "Fufu, sepertinya aku sangat mengantuk..." Celetuknya pelan, rasa letih terlihat sekali di wajah cantiknya. Levi pergi ke gudang untuk mengambil peralatan obat kemudian diserahkan pada Carla.
Pemuda itu hanya menatap, tidak berniat untuk membantu yang terluka, "Karena itu kesalahanmu sendiri." Jelasnya singkat. Kotak obat berpindah tangan, dengan cemberut wanita itu mengobati dirinya sendiri.
"Nee~Levi-kun, kau suka dengan anak-anak?"
Manik madu menatapnya jahil, mengharapkan suatu jawaban atas pertanyaan anehnya.
"Hah? Tidak, mereka menjijikkan dengan air liur dan tingkah konyol mereka. Jadi kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Hmm~~ kenapa ya? Mungkin karena wajah mu yang tidak cocok bersama anak kecil? Wuah, aku bisa membayangkan anak-anak berlari ketakutan saat melihatmu!"
"Brengsek."
Keheningan menyambut mereka, pikiran Carla sudah melayang jauh entah dimana. "Tapi Levi-kun..." Manik madunya berkilat, rasa lelah seolah menguap dari dirinya. "Itu hanya karena kau belum mencoba mengenal mereka! Seharusnya kau tau itu!!"
Sekilas manik obsidian itu ikut berkilat, memperlihatkan ketertarikan dari cerita wanita itu, merasakan semangatnya. Walau pada akhirnya dia hanya bisa membuang muka tanpa bertanya lebih lanjut.
"Konyol. Seperti katamu, anak-anak akan lari sebelum aku mencoba mengenal mereka."
"Mou~~Levi-kun pengecut!"
***
"..."
Levi berkedip dua kali, menyesuaikan pengelihatannya dengan cahaya yang tiba-tiba muncul. Sekelilingnya putih dengan bau antiseptik yang menyengat, menyadarkannya bahwa sekarang ia berada di rumah sakit.
"..." Menoleh kearah pintu, tidak ada yang datang. Jadi dengan sedikit kesusahan, Levi mendudukkan dirinya, rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh, membuat cairan lambungnya serasa ingin menyeruak keluar. "Sial..." Umpatnya seraya mencoba untuk tidak ambruk kembali.
Terlihat dua selang yang terhubung dengan lengannya, satu dengan cairan dan lainnya darah.
'Darah...'
Levi mencengkram kepalanya erat, kilasan-kilasan kejadian sebelumnya menghantam pikirannya dengan sangat keras.
Liquid merah yang menghiasi hamparan salju... Serta kematian sahabatnya... Semua.
"Oh, tidak..." Maniknya melebar, baru saja dia mengingat sesuatu yang penting,
"EREN." Celetuknya lagi, kali ini ketenangan hilang sudah dari dirinya. Dengan kalap, Levi mencabuti semua selang yang mengganggu dan berniat pergi dari ranjang rumah sakit.
Brak—
Pemuda itu terjatuh dengan siku yang menghantam lantai keras, perban putihnya mulai terurai namun dia malah memperburuk keadaan dengan memaksa untuk berdiri, segalanya menjadi lebih menyakitkan sejak luka-lukanya terpapar udara dingin.
"Sialan!!" Dengan mengeluh, Levi tertatih-tatih menuju pintu, engsel besi digenggamnya erat, kemudian didorongnya sampai terbuka, seseorang yang kebetulan sedang berlalu-lalang disana berteriak kaget. "Sialan! Jangan mengagetkanku!!" Teriaknya tanpa melakukan apa-apa, hanya terus menatap. Tiba-tiba dia terpikirkan sesuatu dan dengan satu gerakan mengeluarkan ponselnya untuk bersiap merekam. "Lihat, kau penuh luka, akan kupanggilkan perawat—"
Prak.
Senyum pria itu memudar, menyadari bahwa suara tadi berasal dari ponselnya yang dihancurkan si raven. Dengan mendecih Levi melewati pria itu dan menggunakan dinding sebagai penyangga. "Jika ingin membantu, jangan setengah-setengah bodoh." Lalu meninggalkannya dalam keadaan masih tercengang.
"Ah! Levi-san kenapa kau ada diluar?!" Ucap seorang perawat yang kebetulan melihatnya, lalu dengan sedikit mengomel sang raven dibantu untuk kembali ke kamar dan segera memanggilkan dokter.
'Sial, karena terlalu memaksa, kini aku tidak bisa menggerakkan tubuhku dan kembali ke titik awal.'
Tapi setidaknya sang raven berhasil mengetahui keadaan Eren dari perawat tadi, jadi saat dokter datang dia mau untuk melakukan beberapa pemeriksaan yang menurutnya konyol.
'Tapi jujur baru pertama kali ini aku merasa bertanggung jawab, dan itu karena bocah milik Carla itu...'
***
Seminggu kemudian, Levi berhasil keluar dari rumah sakit yang mengerikan. Rasanya dia bahkan tidak bisa beristirahat dengan tenang mengingat polisi-polisi yang terus berdatangan dan para wartawan yang siap meliputnya untuk jadi bahan berita. Yang benar saja!
"Aaa...uuu?" Ocehan terdengar dari bayi dilengannya, sejak seminggu ini Eren sangat menempel pada sang raven, membuat para perawat dan dokter kesusahan untuk meletakkannya kembali ke bagian anak, jadilah mereka menempati ruangan yang sama. "Aaa! Aaa!" Menunjuk ke rumah sakit, Eren bermaksud menyampaikan selamat tinggal pada bangunan itu. Levi membantunya melambaikan tangan dan berjalan pergi.
Levi tidak memiliki uang, karena itu dia sempat bingung tentang tagihan rumah sakitnya yang telah lunas, bertanya pada perawat, dia menjawab bahwa yang membiayainya adalah pria dengan setelan hijau yang pernah berpapasan dengannya saat memaksa keluar kamar pertama kali.
Huh? Rupanya pria itu telah sadar.
"Dasar bodoh."
"Iii...?" Eren mengerjap, manik emeraldnya berkilau penasaran, sedang Levi meruntuki dirinya yang telah berkata kasar didepan bayi. "Maaf, lupakan ucapanku tadi." Ucapnya yang tentu saja tidak akan ditanggapi oleh bayi berumur 9 bulan itu.
'Grooowww~~'
Tenang, itu bukanlah suara geraman monster atau sejenisnya, melainkan suara perut Eren yang mengaum pertanda lapar. Levi menatap datar pada bayi itu, "Bocah, kau benar-benar kelaparan? Ayo kita kembali ke apartemen milik ibumu dan lihat apa yang bisa kau makan disana."
Seolah mengerti, Eren berteriak senang dan mengayun-ayunkan lengannya keatas dengan gerakan menggemaskan, senyum tipis terbingkai pada wajah sang raven. "Tenanglah pangeran kecil, kita akan segera sampai."
***
Aura tidak mengenakan menyelimuti bangunan berwarna abu-abu itu, manik obsidian dan emerald saling berpandangan, seakan pikiran mereka saling terhubung merasakan tanda bahaya yang sama.
"Uuuhh..." Sang bayi merintih pelan, senyum sebelumnya menghilang begitu mereka memasuki lift dan tangan kecilnya menggenggam erat jaket milik Levi.
"Tenanglah Eren, aku disini."
Ting~
Pintu lift terbuka, menampakkan lorong dengan penerangan minim, bahkan cahaya matahari diluar tidak cukup sebagai penerangan ditempat itu. 'Apa benar Carla tinggal disini?'
Levi melihat secarik kertas yang diberikan polisi untuknya, mendongak dan mulai mencari apartemen bernomor 203 yang menjadi rumah Carla selama 2 tahun ini.
"Ketemu." Celetuknya saat melihat pintu bernomor serupa, Levi yang hendak mengambil kunci apartemen terhenti karena ada seorang wanita yang memanggilnya, umurnya sekitar awal 30-an dengan wajah suram dan keringat yang selalu diseka setiap beberapa menit sekali. Perasaan tidak enak tadi rupanya berasal dari wanita itu.
"Perkenalkan, aku Satou Hiromi, baby sitter Jeager-kun selama ini." Jelasnya ketika melihat wajah si pria yang kebingungan, mendengar rintihan Eren yang semakin keras, jelas sekali bahwa wanita ini bukan orang baik.
"Ya? Lalu?"
"A-aku bertanya-tanya apa anda ingin menyewaku juga, karena Carla-san sudah lama menitipkan Jeager-kun denganku..."
Wajah datar yang sebelumnya bingung kini berubah marah, berpikir sepertinya selama ini Carla sudah terlalu banyak menyembunyikan sesuatu terhadapnya. "Hei, kau."
Wanita itu—Satou-san—mendongak gugup, manik obsidian menatapnya tajam, memberikan kesan predator yang siap kapan saja untuk menerkamnya.
"Sekali lagi kau mendekati Eren, kau akan berurusan denganku. Mengerti?"
Brak.
Pintu ditutup, sang wanita meringis ngeri.
***
"Levi-san, betul? Apa marga anda?" Tanya seorang polisi padanya, pasien yang sedari tadi sibuk membaca buku menatap datar pada petugas. Mendengus, kemudian pria itu menjawab, "Entah, aku tidak ingat."
"Benarkah? Bagaimana surat kependudukan anda?"
Selanjutnya kedua Polisi itu tersentak, buku ditutup dan diletakkan dengan keras keatas nakas rumah sakit. Aura mengancam keluar dari sang raven yang sedang kesal. "Ackerman. Puas?"
Inspektur yang bertanya mengangguk gugup, yang lainnya kembali mencatat dalam buku laporannya dan interogasi itu berlanjut.
Dua jam kemudian, akhirnya kesaksian Levi berhasil menyakinkan mereka, walau ada beberapa yang tetap dirahasiakan seperti apa yang dilakukannya hari itu dan pisau yang melukai wajah sang pemimpin. "Lalu, ini pertanyaan menyangkut Eren Jeager."
Rasa kantuk menghilang seketika, berganti dengan raut wajah khawatir—walau hanya berupa kerutan disekitar dahi, tidak lebih—dari Levi. Petugas itu melanjutkan, "Ini tentang hak asuhnya."
"Aku yang akan merawat Eren." Jawab pria itu tegas, wajah geli ditunjukan oleh petugas yang menulis, namun segera diam karena mendapatkan deathglare dari si surai raven.
"Anda yakin? Kudengar penghasilan anda hanya berasal dari kerja sampingan di kafe dan selain itu anda menganggur, apa menurut anda sendiri hal itu baik untuk bayi yang bahkan belum mendekati setahun?"
"..."
Beberapa menit dalam keheningan, inspektur melanjutkan dengan setengah berbisik" Jika seperti ini... Eren Jeager terpaksa kami pindahkan ke panti asuhan—"
"BERANINYA!!" Cengkraman dari pasien yang marah tidak bisa dihindari, petugas yang mencatat melempar buku laporan dan mengacungkan pistol pada raven yang terlihat hampir mencekik atasannya.
Nafas pasien itu memburu, sang inspektur menatap Levi dengan tenang, seolah paham dengan kegelisahannya, dia berkata,"Aku juga punya putri yang kurawat sendiri di rumah, karena itu aku mengerti perasaanmu Ackerman-san."
Perlahan cengkraman itu melonggar, Levi yang sempat panik mulai duduk kembali, kali ini dia memalingkan wajahnya. "Tapi Carla sudah menitipkan Eren padaku menjelang kematiannya... Tidak mungkin aku membiarkan mahkluk kecil itu bersama babi-babi seperti kalian..." Gumamnya tanpa rasa bersalah, sang inspektur hanya bisa mengelus dadanya pelan sedangkan lainnya geram menahan marah.
"Begini saja, anda akan saya beri waktu untuk mencari bukti bahwa Carla Jeager memang bermaksud menitipkan anaknya pada anda, mungkin catatan atau sejenisnya...?"
Levi mengangguk pelan, kepalanya berputar-putar seperti gasing dan masalah ini semakin membuatnya mual, terus terang dia tidak sanggup dengan ini. "Akan kucari, sekarang tinggalkan aku sendiri..."
Kedua polisi itu undur diri, meninggalkan pasien yang terpuruk, ini berat tetapi mereka harus mengatakannya, karena jika tidak akan ada masalah lain yang akan terjadi menyangkut kepengurusan sang bayi.
"Inspektur, bukankah kita sudah menggeledah apartemen Jeager-san namun tidak menemukan apapun?" Bisik polisi bawahan seraya membuka-buka isi catatannya, dia menekan tombol lift dan menunggu pintu terbuka.
Ting~
"Aku tau." Ucap sang inspektur hampir seperti bisikan, dia tersenyum kecil, "Tapi aku percaya padanya..."
Mengangkat sebelah alisnya, yang lebih junior menyuarakan pendapatnya lagi. "Walau Ackerman pernah melakukan kejahata—"
"Walau dia pernah melakukan kejahatan." Potongnya dengan tegas, kemudian menekan tombol untuk menuju lantai satu. "Dia terlihat sangat khawatir, dan perasaan ayah tunggal sepertiku tidak dapat menghentikannya. Heh, ini mengganggu ya?"
Ting~
"Inspektur tidak profesional."
"Hahaha, jaga ucapanmu Wakabayashi-kun."
***
Ruang tamu yang sebelumnya rapi kini berantakan, ruangan lain juga sama kacaunya dengan ini. Bayi yang duduk di kursi tinggi hanya bisa menatap polos, si raven benar-benar berniat untuk menghancurkan rumahnya.
"SIAL, tidak ada apapun!!" Keluhnya kesal, melemparkan bantal sebagai pelampiasan. Berbeda dengan Eren yang terkikik diujung ruangan, "Ya ampun, maafkan aku Eren."
Ingatkan dia untuk selalu menjaga ucapannya mulai dari sekarang.
Bersambung...
***
Hola!!! \(^o^)/
Saya kembali pada cerita ini!
Sebenarnya pada awalnya saya hanya ingin cerita Levi yang mengurus Eren kecil, tapi tenyata banyak yang harus dipikirkan seperti hak asuh dan lainnya... Saya bingung, apalagi dengan umur Eren yang sebenarnya sudah mulai beraktifitas, nyatanya dia masih meringkuk dalam sangkar kecil, uuhh...bagaimana cara Levi mengurus ini nanti?
Yah, itu terserah si muka datar sih, saya mah nggak mau ikut-ikut~~
*Dilempar pisau dapur sama Levi*
Maaf sudah menggantung kalian, dan chapter kali ini sedikit membosankan.. (˘・_・˘)
Silahkan komen dan kalau boleh bintang ╮(. ❛ ᴗ ❛.)╭ agar saya semakin giat dalam menulis, mwehehehe~~
Segini saja,
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top