2

Hai hai hai...
Ada yang nungguin cerita ini gak?
Maaf ya agak2 ngadat updatenya, maklum aku harus menulis ditengah kesibukan sebagai busui yg hampir tiep hari begadang, palagi sekarang si bayik udh tau rasa tangan alias maunya digendong ajah boboknya 😑

So, buat yg vomen makasi ya udh tinggalin jejak, makasi udh jd moodboosterku 😘

Hepi ridings
.
.
.
.
.
.

Terlambat.

Aku terlambat di hari pertama ujian, dan sialnya dosen pengawas ujiannya adalah Pak Salim. Dosen yang terkenal dengan kedisiplinannya. Beliau bukan dosen killer, tapi karena kedisiplinannya itu beliau tidak menerima alasan apapun bagi mahasiswa atau mahasiswinya yang datang terlambat. Tidak ada kata toleransi, katanya 'mau jadi apa bangsa ini jika generasi penerusnya tidak bisa menghargai waktu.'

Benar sih, tapi aku hanya terlambat lima menit saja. Alhasil, aku tidak mengikuti ujian pertamaku, aaarrrgh sial sial. Dan sekarang disinilah aku, duduk sendiri di dalam kantin sembari mengaduk jus jerukku dengan malas. Lalu, bayangan wajah laki-laki itu tiba-tiba berkelebat dibenakku, membuatku tersenyum sendiri. Membayangkan bahwa wanita yang dikecup keningnya dan yang mencium punggung tangannya setiap pagi itu adalah aku.

"Hei, ngapain kamu disini? nggak ujian?"

Suara jelek itu merusak lamunan indahku. Yah, tanpa dilihat pun aku tahu siapa orangnya.

"Apa sih, resek banget. Gangguin orang aja."

Ardan tidak memperdulikan kekesalanku, ia mengambil duduk tepat didepanku. 'Kesialan keduaku pagi ini.' ucapku dalam hati.

"Wah, tumben seorang Amna Zyva bolos mengikuti ujian, dihari pertama lagi. Ada apa? Kenapa?"

Lihat, dia sangat menyebalkan bukan. Ardan Sahendra. Dia lelaki tampan, pintar dan berasal dari keluarga berada. Namun entah kenapa, kelakuannya seperti anak remaja yang tidak mendapat perhatia dari keluarganya. Dia sering bolos padahal berada di kampus.

"Bukan urusan kamu." Jawabku acuh. Aku menyeruput jus jerukku yang tinggal setengah.  Lalu aku melongo melihat roti bakar pesananku belum kusentuh sama sekali, diambil begitu saja oleh Ardan, mengunyahnya tanpa rasa bersalah.

"Ardan," seruku marah.

"Ya," balasnya dengan mulut penuh roti bakar milikku.

"Itu rotiku, kenapa dimakan? Kamu bisa pesan 'kan?"

Ardan menelan sisa roti bakar yang ada di mulutnya. Bukannya langsung meminta maaf ia malah meraih gelas jusku yang isinya tinggal seperempat, kemudian menenggaknya hingga tak bersisa.

"Sory, aku laper banget. Makasi ya." Katanya sembari mengangkat tangan kanannya, menunjukkan sisa roti bakar pisang coklat kesukaanku.

"Kamu nyebelin." Kataku dengan suara yang cukup keras. Aku lalu beranjak meninggalkan kantin dan kembali ke kelas. Ujian pertama sebentar lagi selesai, aku nggak mau terlambat lagi untuk yang kedua kalinya.

"Amna, amna..."

Aku berlari menaiki tangga saat suara Ardan terdengar memanggilku. "Ngapain sih pake nyusul aku segala." Omelku sambil berjalan dengan langkah yang cukup cepat.

"Kenapa lari sih, dipanggil juga?" Ardan terlihat bingung.

Aku menghela napas panjang, lalu menarik tanganku kasar dari cekalan tangannya.

"Aku mau ujian, nggak usah ganggu aku bisa nggak sih?" Kataku.

"Siapa yang ganggu, memangnya aku udah apain kamu? Aku cuma minta sarapanmu aja, toh kamu juga nggak makan? Kamu sibuk ngelamun gitu." Belanya sembari memperbaiki ransel hitam yang selalu tersampir di bahu kanannya.

"Minta?" Kataku dengan nada yang lebih tinggi.

"Yah, aku emang lupa bilang tadi. Tapi, masak karena sepotong roti kamu marah segininya." Katanya. Aku memelototinya tajam.

"Yaaaa sama jus jeruk juga sih, tapi itu aja udah mau abis. Lagi sedikit, perhitungan banget sih kamu. Pernah denger nggak kalo orang pelit kuburannya sempit."

Kali ini aku menatap Ardan tepat ke wajahnya. "Pernah."

"Tu...h ka...n." katanya dengan suara pelan dan terkesan takut-takut.

"Aku juga pernah nonton, azab seorang teman yang mengambil makanan temennya tanpa ijin, matinya terbakar seperti roti bakar yang diambilnya."

Ardan memasang wajah ngeri, "Astagfirullahalaazim, sadis banget sih Am." Kata Ardan.

"Ya udah, besok pagi aku yang traktir kamu sarapan, sebagai ganti sarapan pagi ini, gimana?" Wajah Ardan terlihat bersinar setelah mengatakan itu.

"Nggak usah repot-repot. Kamu jauh-jauh aja dari aku." Aku langsung masuk ke dalam kelas. Beruntung setelah itu dosen pengawas ujian selanjutnya masuk, jadi laki-laki bandel dan keras kepala itu nggak bisa mengejarku lagi.

Setelah dibagikan soal dan lembar jawaban aku mulai menulis namaku dan nomor mahasiswaku di pojok kanan atas lembar jawabanku. Aku mulai fokus pada ujianku.

"Akhirnya, selesai juga." Ucapku sembari memasukkan pulpenku ke dalam tas. Ujian hari ini berakhir dengan cukup baik, kecuali aku absen di mata kuliah pertama. Besok aku akan menemui dosenku untuk meminta ujian susulan, semoga dosennya mengijinkan.

"Amna, kok kamu bisa telat sih? Kalau  hari-hari biasa mah nggak pa-pa. Ini ujian. U.ji.an." Maya, sahabat terbaikku menanyakan perihal keterlambatanku pagi tadi setelah kami berada diluar kelas. Aku hanya mengatakan kalau semalam aku belajar sampai larut malam hingga terlambat bangun pagi. Nggak mungkin aku menceritakan kejadian yang sebenarnya, bisa-bisa aku diceramahinya sampe subuh.

"Masak iya sih?" Maya terlihat meragukan jawabanku. Bener 'kan yang ku bilang. Aku segera menarik tangannya, sedikit menyeretnya ke kantin.

Kantin siang ini sangat ramai. Berbeda dengan tadi pagi waktu aku sarapan. Pemandangan seperti ini sangat langka terjadi, sebagian besar mahasiswa membawa buku di tangannya. Entah itu buku catatan mata kuliah yang diujiankan hari ini ataupun besok. Dan yang dibahaspun tentang soal-soal ujian tadi.

Aku dan Maya ikut mengantri. Perutku terasa sangat lapar siang ini, jadi nasi putihnya pulen, ada  ayam saos kecap dengan tambahan telur asin dan sayur nangka. Tak lupa segelas jeruk hangat. Maya memesan makanan yang sama denganku hanya saja ia menambahkan roti bakar isi keju. Sungguh, tidak ada yang akan menyangka. Tubuh sekecil Maya bisa menghabiskan dua porsi makanan orang dewasa.

"Selamat makan." Seru Maya sebelum mulai menikmati makan siangnya. Aku juga mulai menikmati makan siangku.

"Pak Panji ada nggak ya di ruangannya?" Maya mengunyah makanannya pelan.

"Cari aja, siapa tahu beliau ada." Kata Maya.

Aku mengangguk, selanjutnya kami makan dalam diam, mungkin karena terlalu lapar hingga kami tidak mengobrol seperti biasanya.

Setelah membayar makanan, kami segera menuju ruangan Pak Panji yang terletak di gedung utama. Kami berpapasan dengan beberapa dosen. Maya bertanya pada salah satu dosen muda tentang Pak Panji dan Alhamdulillah beliau ada diruangannya.

Aku deg-degan, takut sekaligus malu bertemu dengan pak Panji. Beliau salah satu dosen muda yang cerdas dan ramah pada mahasiswanya. Beberapa kali aku mengumpulkan tugas teman-teman untuk kemudian kuserahkan. Dan itu membuatku malu untuk berhadapan dengannya sekarang.

"Aku tunggu disini saja, kamu masuk sendirian." Maya mengetuk pintu ruangan pak Panji kemudian berlari dan duduk di kursi tunggu yang tersedia disana. Aku menatapnya tajam dan dia sengaja tidak melihatku dengan pura-pura sibuk membuka ponselnya.

"Masuk."

Seruan dari dalam membuatku berbalik, menatap pintu kaca berwarna hitam di depanku.niat Meski aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja yang ada di dalam sana. Aku bisa melihat bahwa pak Panji sedang memiliki tamu. Entah itu sesama dosen atau tamu luar, siapapun itu aku pasti malu mengutarakan niatku.

"Silahkan masuk."

Kembali seruan itu terdengar dan aku meringis dalam hati. Mau nggak mau aku harus masuk. Akhirnya aku membuka pintu perlahan sembari mengucapkan salam. "Selamat siang pak, maaf saya mengganggu." Ucapku setelah sebelumnya menutup pintu.

"Siang, silahkan duduk." Perintahnya.

Pak Panji adalah salah satu dosen muda yang terkenal ramah, manis, tapi tidak tanggung-tanggung dalam memberikan tugas. Namun hal itu tidak lantas membuatnya tersingkir menjadi dosen idola para mahasiswi.

Aku mengambil duduk di kursi kosong yang ada di sebelah tamu pak Panji. Aku tidak tahu apakah orang di sebelahku ini salah satu dosen disini atau orang luar. Pakaian mereka sama, mengenakan kemeja panjang dan celana kain panjang khas pakaian kerja laki-laki. Aku tidak berani menoleh, takut malu kalau dia memang salah satu dosenku. Lain cerita kalau dia hanyalah orang liar yang tidak ku kenal sama sekali.

"Ada keperluan apa ya?" Tanya Pak Panji setelah aku duduk di depannya.

Aku menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokanku agar tidak kering. "Saya Amna pak, mahasiswi bapak di mata kuliah akuntansi, semester 6." Kataku.

"Terus?"

Aku mulai menceritakan niatku menemuinya, tentu saja aku meminta maaf sebelum menjelaskan alasan keterlambatanku. Aku bilang kalo tadi pagi aku mendapat tamu bulananku membuat perutku terasa sangat sakit hingga aku tidak bisa bergerak meski aku sudah terjaga. Karena rasa sakit itu aku jadi terlambat mengikuti ujian akuntansi dibawah bimbingannya. Karena hal itu, aku meminta kesempatan untuk melakukan ujian ulang atau menggantinya dengan tugas lain.

Pak Panji nampak memikirkan sesuatu. Mungkin beliau sedang menimbang apakah aku bisa mengikuti ujian ulang atau tidak. Sumpah, pak Panji terlihat sangat menarik ketika sedang berpikir seperti saat ini. Kulit hitam manisnya dan rambut cepaknya membuat dia terlihat sangat macho, belum lagi kaca mata yang digunakannya memperlihatkan bahwa dia adalah orang yang cerdas.

Tapi sayang, dia tidak semenarik tetanggaku. Dia tidak bisa menyaingi ketampanannya. "Astagfirullahalazim," aku langsung beristigfar begitu sadar bahwa aku sedang membandingkan dosenku dengan tetanggaku. Bukan hanya tetangga tetapi juga suami orang.

"Ada apa Amna?"

Aku mendongak begitu mendengar pak Panji bertanya padaku.

"I.iya pak?" Kataku terkejut.

"Tadi kamu bilang astagfirullahalazim, ada apa?" Tanyanya lagi.

"Oh, nggak. Nggak ada apa-apa Pak." Jawabku dengan cepat.

"Baiklah, mengenai permintaanmu aku sudah menemukan jalannya."

"Alhamdulillah."

"Kamu tahu kan, sebagai mahasiswi di tingkat akhir seharusnya kamu bisa lebih disiplin. Terlambat di hari pertama ujian itu bukanlah hal yang benar Amna."

Semerdu dan setampan apapun seorang laki-laki, kalau dia sedang memarahimu tetap saja terdengar menyebalkan, walaupun aku tahu aku yang salah.

"Iya pak, maafkan saya." Kataku pelan.

"Saya bisa memaklumi alasan keterlambatanmu. Karena itu saya akan memberikan kesempatan padamu."

Aku tersenyum sangat lebar, bisa kurasakan sudut bibirku tertarik lebar ke samping. "Terima kasih banyak pak." Ucapku senang.

Pak Panji terlihat mengambil berkas dari dalam laci mejanya. Terlihat tangannya sedang memilih-milih berkas yang akan diberikannya padaku. Lalu dia menarik sebuah map berwarna biru. Map biru itu terlihat tebal dan perasaanku sungguh tak enak.

"Ini kumpulan nota penjualan sebuah koperasi selama 1 tahun. Tugasmu membuat neracanya. Harus balance, tidak boleh ada selisih meski hanya 1 point."

Aku melongo, menatap map berwarna biru ditangan pak Panji yang kini sudah terulur ke arahku. Aku meraih map itu perlahan. Aku memandang nanar pada map biru yang kini sudah sepenuhnya berada ditanganku.

"Kamu punya waktu satu minggu untuk menyelesaikannya."

"Satu minggu Pak?" Seruku. Aku kaget mendengar suaraku yang melengking tinggi. Aku semakin kaget melihat wajah ganteng pak Panji berubah masam.

"Ma.maaf pak bukan maksud saya berteriak, tapi ujian masih satu minggu lagi, kalau aku punya batas waktu sesempit itu bagaimana aku bisa belajar untuk mata kuliah yang lain pak."

Pak Panji menaikkan alisnya sebelah kemudian menatapku penuh selidik membuatku merasa nggak nyaman.

"Mmm baiklah, waktumu dua minggu. Tidak boleh ada perpanjangan waktu lagi."

Dua minggu untuk neraca satu tahun? Mana aku nggak ngerti-ngerti amat lagi. Aku kembali menatap map biru ditanganku, cukup lama hingga aku merasakan kalau laki-laki disampingku yang sedari aku masuk dan berbicara dengan pak Panji hanya diam saja kini menoleh ke arahku.

Mungkin dia terkejut mendengar seruanku yang keras. Masa bodoh, aku nggak peduli. Aku hanya memedulikan nasibku ditangan dosen cakep tapi nyebelin ini.

"Kalau kamu tidak mau ya nggak pa-pa. Kamu akan memdapat nilai D untuk ujian kali ini."

Aku menghela napas panjang, sebagai orang yang bersalah dan membutuhkan nilai aku nggak ada pilihan selain menyetujuinya. Aku harus bersyukur diberi kesempatan untuk memperoleh nilai. Meaki tugasnya berat.

"Baiklah pak, terima kasih banyak atas kesempatannya." Ucapku.

"Sama-sama." Kata pak Panji.

"Saya permisi dulu pak, selamat siang." Aku berdiri dan hendak keluar dari ruangan, tapi saat aku memutar tubuh betapa terkejutnya aku melihat laki-laki yang sedari tadi ada disampingku.

Laki-laki itu masih melihat ke arahku dengan senyum yang entah kenapa terlihat sedang menertawakanku. Aku terkejut bukan karena senyum mengejeknya, aku terkejut karena laki-laki itu adalah mas Reifan. Tetanggaku, idolaku. Ya Tuhan, aku malu sekali. Bagaimana dia bisa ada disini? Bagaimana dia bisa mengenal pak Panji? Ada urusan apa?

"Apa ada yang belum jelas?"

Suara pak Panji menyadarkanku dari keterkejutanku.

"Ah, nggak pak. Nggak ada apa-apa lagi. Permisi." Kataku langsung melangkah ke arah pintu.

30.8.2019
14.14
#tbc



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top