XXIV | Kebahagiaan yang Sempat Tertunda


Tuhan selalu menyusun rencana terbaik untuk setiap alur hidup umatnya. Meski kadang setiap doa tak langsung dijawab dan dikabulkan, tetapi Dia Yang Maha Kuasa pasti mendengar setiap doa yang terlafal. Hanya saja, ia lebih tahu kapan waktu yang tepat untuk mengabulkannya, pun dengan cara yang terbaik versi-Nya.

Warna selalu berpikir kalau hidupnya tak pernah berjalan seperti yang diinginkan. Saat tahu kalau ayahnya berhutang untuk membiayai kuliahnya, Warna berpikir kalau semua kekacauan yang ada dalam keluarganya adalah ia penyebabnya. Karena itu, mengorbankan kebahagiaan dan mimpi-mimpinya untuk keluarganya saat ini adalah tugasnya.

Sebab itu, kali ini setelah semua hal pahit yang dilaluinya, melihat Wira berjalan di sampingnya dan berbicara banyak hal tentang rencana pernikahan mereka  seperti melihat pelangi selepas hujan. Jawaban atas semua doa yang sejak dulu selalu dipanjatkannya. 

Warna tidak pernah merasa sebahagia saat ini.

"Aku enggak sabar lihat kamu pakai gaun pengantin dengan tujuh warna berbeda." Wira meraih tangan Warna selepas membuka pintu kaca gedung wedding organizer yang mereka kunjungi, menggenggamnya erat dan menenggelamkan tangan itu ke dalam saku jaket bersama dengan tangannya.

Warna ingin protes lantaran malu. Kendati waktu sudah mulai berangsur malam, tetapi masih banyak orang yang berseliweran. Namun, hangat genggaman tangan Wira yang merambah hingga sudut-sudut hatinya membuat ia terlanjur nyaman. Urung rasanya melepasnya.

Tiba-tiba saja Warna takut jika kehilangan lelaki itu untuk kedua kalinya. Warna ingin menjaga Wira kali ini. Tidak akan melepasnya apa pun yang terjadi.

"Sebenarnya aku lebih suka resepsi yang sederhana saja," tutur Warna.

Setelah seharian mempersiapkan rencana resepsi pernikahan, mulai dari mengunjungi gedung serbaguna yang hendak mereka booking untuk acara resepsi nanti, memilah-milih jenis dan bentuk kartu undangan, gaun pengantin, menu hidangan yang akan dihidangkan, dan lain sebagainya, satu hal yang Warna sadari.

Pesta pernikahannya akan benar-benar mewah. Lebih dari ekspektasi yang ia bayangkan selama ini.

"Walaupun belum sebesar perusahaan keluarga Inggit, tapi aku ini tetap pimpinan sebuah perusahaan. Jadi, akan ada banyak tamu penting dan aku enggak bisa ngadain resepsi pernikahan biasa-biasa aja."

"Duh, berasa tokoh drama pas tahu nikah sama CEO," cibir Warna.  Baru beberapa hari setelah tahu kalau Juragan Dirsa menjodohkan mereka, Wira memberi tahu Warna tentang segalanya.

Sejak awal rencana perjodohan mereka memang sudah dirancang apik dengan sedemikian rupa. Masa depan yang Wira serahkan kepada Inggit bukan semata-mata untuk bertanggung jawab atas Faran, atau pengorbanan untuk Juan saja. Namun, untuk sebuah kejuatan akhir bagi Warna juga. Wira mengorbankan banyak hal untuk kebahagiaan banyak orang.

Masa depan cemerlang yang sempat Wira tangguhkan untuk mengurus dan membahagiakan Faran, Inggit bayar dengan permintaan perceraian, dan membiarkan lelaki itu lepas bebas kemudian. Mengejar semua mimpi dan cita-citanya yang sempat tertunda, termasuk Warna.

Sempat Wira berpikir untuk menemui Warna lebih cepat dan meminta wanita itu menjadi pendamping hidupnya ketika tahu Warna masih melajang. Namun, setelah berpikir banyak, Wira memilih untuk melanjutkan studinya terlebih dahulu di Fulham. Baru setelah lulus dan berhasil membangun sebuah perusahaan, Wira kembali datang. Bahagia bukan buatan tatkala tahu Warna belum juga menikah. Ia sangat berterima kasih karena Juragan Dirsa berhasil membuat Warna benar-benar menjadi miliknya.

"Ohya, katanya kamu udah bisa kembali ke Yuasa?" tanya Wira.

Warna mengangguk semangat. Ia baru mendapat panggilan dari sekolah dua hari lepas, dan ia akan kembali mengajar setelah pesta pernikahannya diselenggarakan.

"Enggak cuma aku, tapi Faran juga. Walaupun enggak sepenuhnya berkat kemampuan ilmu psikologiku, tapi itu benar-benar melegakan. Bisa mempertahankan Faran hingga sampai tahap aku nyaris menyerah, membuat aku merasa menjadi sosok guru yang sebenarnya."

"Aku belum menemui anak itu lagi," ungkap Wira. Terakhir kali melihat Faran saat anak itu berusia sepuluh tahun. Sudah tujuh tahun yang lalu, jika mereka bertemu sekilas di jalan, ia pasti tidak akan mengenali sosok itu lagi.

Mungkin memang benar, Faran bukan anaknya. Namun, ingatkan Wira bahwasanya ia adalah orang pertama yang menggendong Faran ketika bayi mungil itu lahir ke dunia. Ia yang mengumandangkan azan di telinga Faran. Ia yang pertama kali Faran sebut Ayah. Sekuat apa pun Wira berusaha mengabaikan sosok itu dan menghindarinya, rasa sayangnya tiada akan pernah hilang.

"Setelah ini, kamu harus berjanji akan menemuinya. Aku masih ingat wajah kecewanya saat bilang kamu enggak menepati janji untuk nonton bersama."

Wira mengangguk. Setelah semuanya terungkap dan Faran tahu kalau dia bukan ayah kandungnya, Faran pasti akan memahami alasan kenapa selama ini ia menghindarinya.

"Saat tahu kalau dia anakmu, aku berpikir kalau itu alasan  kenapa aku selalu merasa terikat dengannya. Tapi, tahunya semuanya terikat jauh lebih kuat lagi. Aku tidak menyangka Faran itu anaknya Kak Sega. Ah, bakat musisi yang ia punya pasti dari ayahnya. Seperti Sabit, Kak Sega juga dulu suka banget sama musik." Warna menarik napas panjang. Sungguh, indahnya malam ini bahkan tidak bisa menggambarkan kebahagiaan yang tengah dirasanya.

"Aku dan Inggit tidak punya bakat dalam bidang musik. Selama ini Faran pasti bertanya-tanya dari mana bakatnya diturunkan."

"Hm ..." Warna mengangguk. Ia ingat Faran pernah menyinggung hal itu. "Tapi, ada satu hal yang sampai sekarang bikin aku penasaran tentang anak itu.

"Apa?"

"Faran ... apa dia sakit parah?"

....

Faran lahir prematur. Kondisinya benar-benar lemah sebab saat lahir ia mengalami agenesis ginjal, kondisi di mana ia lahir hanya dengan satu ginjal. Beruntung selain karena Faran lahir di tengah-tengah keluarga berada sehingga segala cara bisa dilakukan untuk membuatnya tumbuh dengan baik, juga karena Faran begitu tangguh dan kuat. Ia mau berjuang dan terus bertahan.

Akan tetapi, Inggit bilang, beberapa tahun ini, kondisi Faran memang memburuk. Satu-satunya ginjal yang ia miliki mengalami infeksi cukup serius. Meskipun untuk saat ini masih bisa ditangani dengan obat-obatan, tetapi pada akhirnya satu-satunya cara untuk mempertahankan Faran hanya dengan melakukan transplantasi ginjal. Dan sayangnya sampai saat ini, belum ada ginjal yang cocok untuknya.

"Jadi itu alasan kenapa Juan bilang kalau masa depan Faran adalah sesuatu yang rapuh? Anak itu bisa meninggalkan kapan saja." Warna menggumam pelan. Ada kesedihan yang turut mengudara bersama alunan kalimatnya.

Usai mendengar penjelasan Wira ada sakit yang turut menusuk sanubari Warna. Jujur, setelah tahu Faran anak dari Sega, Warna begitu takut kehilangan sosok itu. Warna takut satu-satunya hal tentang Sega yang bisa ditatap dan disentuhnya kembali lenyap.

"Sudahlah!" Wira tiba-tiba saja menghentikan langkahnya tepat di depan toko elektronik yang sudah tutup. Langkah Warna turut terhenti karenanya. "Kamu harus percaya kalau Faran itu anak yang kuat. Inggit dan Juragan Dirsa juga pasti melakukan berbagai cara untuk kesembuhannya. Faran pasti akan sembuh." Wira melepas genggaman tangan Warna yang masih tenggelam dalam saku jaketnya. Lantas tangan itu menyentuh halus puncak kepala Warna, berusaha menenangkan dan meyakinkan Warna. Kebahagiaan Warna baru saja tumbuh, tak semestinya cepat layu hanya karena kabar ini.

"Semoga saja." Warna menatap teduh mata Wira, tersenyum tipis kemudian. Ia harus percaya dengan apa yang Wira katakan kalau Faran itu kuat. Faran tidak akan menyerah begitu saja. Faran punya banyak alasan untuk terus berjuang dan bertahan. Benar, setelah banyak hal yang dilalui ia kenal betul bagaimana keponakannya itu.

Wira membalas senyum Warna. Keadaan sepi di sekelilingnya membuat Wira tak kuat menahan gejolak yang ada. Ia hendak mendaratkan ciuman singkat di kening perempuan yang paling disayanginya itu saat suara rusuh beberapa pasang kaki berlari dari arah gang sempit di sisi mereka.

Warna menggaruk pipinya yang tak gatal. Rasanya canggung, sedikit merutuki anak-anak remaja yang berlarian melewatinya dan Wira sebab terkejut. Tapi, tampaknya mereka pun tak menyadari keberadaan Warna dan Wira. Selain karena tembok yang menjorok keluar menghalangi posisi mereka, juga karena anak-anak berjumlah enam orang itu berlari dengan cepat seperti dikejar sesuatu.

"Bagaimana kalau dia mati?"

"Sialan! Gue nyuruh kasih dia pelajaran itu bukan berarti harus nusuk dia pake pisau, Goblok!"

"Anj**g! Tamat udah kita semua."

Suara-suara itu semakin sayup dibawa berlari oleh remaja-remaja itu. Namun, setiap uraian kata yang sempat menembus gendang telinga Warna dan Wira, sontak membuat keduanya saling melempar tatap. Sadar ada sesuatu yang tidak beres terjadi, tanpa sempat berkata-kata keduanya kompak berlari memasuki gang tempat anak-anak tadi keluar.

Warna dan Wira cukup cerdas dan bisa menangkap maksud yang baru saja diungkapkan oleh anak-anak seusia Faran itu. Keenam orang itu baru saja melakukan penyerangan kepada seseorang, dan mereka berpikir untuk memastikan kebenarannya. Jika memang benar, setidaknya mereka berharap bisa menyelamatkan orang itu.

Pencahayaan di gang itu sangat minim, nyaris gelap seandainya lampu di balkon atas bangunan di sampingnya tak menyala. Warna juga Wira nyaris tidak bisa melihat apa-apa. Namun, suara erangan kesakitan dan embus napas cepat tanpa irama yang berhasil bertepi hingga telinga, menuntun langkah mereka mendekat. Ketika jarak mereka dengan sumber suara semakin terhapus, kedua pasangan yang hendak menikah itu kemudian menangkap sosok seusia anak-anak yang tadi berlarian tengah duduk, bersandar lemah di sudut gang dengan sebelah tangan menekan perutnya sendiri. Sementara itu tangan lainnya tampak memegang lemah sebuah pisau berlumuran darah.

Seketika itu Warna memekik. Bukan sebab sadar kalau remaja itu tengah sekarat dengan darah yang mengucur deras dari perutnya. Namun, saat sosok itu mengangkat kepalanya yang semula tertunduk guna memastikan siapa yang datang, kendati dipenuhi lebam dan darah, Warna langsung bisa mengenali gurat wajah itu.

"FARAN!"

Bersambung

......

Di sini sepi banget. 😭
Tapi, saya udah bertekad nyelesain semua cerita yang saya mulai.
Dan ... Ini udah nyaris masuk chapter akhir. Selesai dari sini, saya bakal fokus sama Sahal dan Nura di Together for love.

.....

Kita akan berpisah dengannya di sini. Tapi, semoga ada kesempatan jadiin dia tokoh utama di cerita yang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top