XXII | Hadiah Tak Terduga
Warna merasa begitu mengantuk, tetapi masih ada dua jam sebelum Sabit datang mengganti tugasnya. Suasana tak begitu ramai, dan warungnya sepi pembeli. Hal itu membuat Warna merasa begitu mengantuk. Ia nyaris saja tenggelam dalam tidur, saat ponselnya berdering dengan nyaring dan membuatnya terkejut.
Panggilan dari Inggit.
Warna mengerutkan kening bingung, sebelum berputus mengangkat panggilan itu. Sejak saling bertukar kontak satu bulan silam, baik ia maupun Inggit tidak pernah saling menghubungi via telepon. Wajar ia merasa heran melihat nama Inggit di layar ponselnya saat ini.
"Warna …."
Begitu panggilan itu tersambung, Warna bisa mendengar namanya disebut dengan parau. Getar di balik suara Inggit membuat resah mendadak muncul dalam dada Warna. "Kenapa?"
"Faran … dia kritis. Dia benar-benar menyerah sekarang. Dia bilang, dia akan segera menemui ayah kandungnya. Dia … dia bi---"
"Sebentar, Inggit. Apa maksudmu?" Warna bahkan masih ingat kalau tadi pagi orang yang ia lihat adalah Faran. Tera bahkan melihatnya juga. Orang yang jalan bersama Juragan Dirsa adalah Faran, benar-benar Faran. Anak laki-laki itu terlihat baik-baik saja. Jadi, bagaimana bisa Inggit bilang kalau Faran kritis dan …
"Dia tengah melakukan operasi, tapi aku tidak bisa berbuat banyak untuknya. Aku benar-benar dokter yang payah, kan?"
… Warna tidak pernah benar-benar tahu seberapa parah penyakit yang Faran derita.
"Aku akan menemuimu sekarang." Sedetik setelah memutuskan panggilan, Warna bangkit. Menutup toko dengan tergesa dan menyetop taksi. Ia tidak tahu kalau kabar ini membuat perasaannya kalangkabut. Setelah tahu Faran adalah keponakannya, anak dari saudaranya, Warna semakin merasa ingin melindungi sosok itu. Warna ingin melihat Faran untuk waktu yang lebih lama lagi. Seolah seandainya Faran benar-benar menyerah dengan hidupnya, ia akan kembali merasakan sakitnya kehilangan itu.
Please, Kak. Tolong biarkan Faran tetap di sini. Jangan bawa dia pergi gitu aja, ketika aku bahkan baru tahu kalau dia adalah anakmu. Tolong! Selama perjalanan menuju rumah sakit, Warna meracaukan banyak hal dalam hatinya. Sesak kemudian menghujamnya seketika tatkala adegan di hadapannya terekam lensa mata.
Inggit tengah berdiri dengan wajah pucat dan tubuh bergetar di depan pintu ruang operasi. Kedua tangan yang saling terkatup, dengan bibir yang tak henti melafal doa, wanita itu tampak menanti keputusan terberat yang akan diterimanya. Perlahan, Warna beringsut mendekat. Membawa sosok itu ke dalam dekapannya, berusaha menguatkan. "Faran pasti bertahan. Kita memohon bersama untuk kehidupannya."
Tubuh Inggit mendadak luruh, terduduk lemas di atas lantai rumah sakit yang dingin. Warna bisa melihat, nestapa yang tersorot dari balik mata indah wanita itu adalah bukti seberapa besar ia mencintai Faran, juga mencintai Sega. "Dia selalu bilang enggak mau jadi anak baik, karena menurutnya orang-orang baik selalu lebih cepat dipanggil sama Tuhan. Dia itu anak nakal, enggak pernah nurut apa kata orang tua, suka bolos sekolah, sering masuk ruang BK, rebel, suka ngelawan, seenaknya, tapi kenapa Tuhan begitu terburu-buru mengambilnya?"
"Inggit, kita belum kehilangannya. Tuhan belum mengambilnya. Dia masih berjuang di sana." Warna memposisikan diri sejajar dengan Inggit. Menuntun Inggit untuk menatap matanya, meyakinkan sosok itu untuk tak berputus asa.
Inggit menggeleng. Air matanya semakin berlinang. "Aku lebih tahu seburuk apa kondisinya, Warna."
"Tapi, bukan kamu yang menentukan hidup dan matinya."
Warna mengalihkan tatap ke arah sumber suara yang baru saja menyentuh gendang telinga. Wira tampak berdiri di hadapannya dan juga Inggit. Lelaki itu menarik tubuh Inggit untuk berdiri sebelum kemudian menghadiahinya sebuah pelukan hangat. Membenamkan seluruh wajah basah penuh air mata Inggit di dada kokohnya, selagi tangannya mengelus lembut rambut perempuan itu. Melihat seberapa lembut perlakuan Wira untuk Inggit, dada Warna dikawani sesak seketika.
Akan tetapi, tak sempat bagi Warna memikirkan hal lain sebab pintu ruang operasi di belakangnya mendadak terbuka, memuntahkan beberapa dokter dan pasukannya. Inggit melepas pelukan Wira dan tergesa menghampiri salah satu dokter di sana.
"Aufa, tolong bilang kamu berhasil bawa Faran kembali. Tolong … kamu dokter bedah terbaik di rumah sakit ini. Kamu harusnya bis---"
"Maaf, Inggit. Tapi, Faran benar-benar sudah menyerah dengan hidupnya."
Wajah tampan Aufa tampak begitu mendung, dikawani nestapa dan penyesalan yang begitu mendalam. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain menepuk singkat bahu Inggit dan melangkah lesu meninggalkan tempatnya.
Jerit tangis Inggit kemudian pecah, serpihan tajamnya turut melukai hati terdalam Warna. Ketika Inggit berlari tergesa memasuki ruang operasi tanpa mempedulikan protokol rumah sakit yang semestinya, Warna berniat mengikuti. Namun, langkahnya hanya bertahan sampai ambang pintu ruangan itu.
Inggit baru saja kembali membuka kain putih yang sempat menutupi seluruh tubuh Faran guna mencium lama tiap inci wajah anaknya. Pucat wajah Faran yang sempat memenuhi indra penglihatannya, membuat rebak dalam dada Warna makin melebar. Ia seperti melihat Sega di sana. Sosok yang kini terbaring kaku di meja operasi itu benar-benar begitu mirip dengan orang yang paling dirindukannya. Sosok yang kepergiannya mengguratkan luka dalam dada yang hingga saat ini tak juga mengering. Malah makin berdarah dan bernanah kala sadar kalau sosok itu pun kini turut pergi.
"MBAK! PONSELNYA BERISIK ITU!"
Warna tersentak kaget. Teriakan Sabit dan dering ponselnya menarik paksa sadarnya yang sempat tenggelam dalam bunga tidur. Sesaat Warna biarkan netranya menilik keadaan di sekitar. Ia masih di tempat yang sama, di antara tumpukan dus berbagai macam produk makanan. Benar, ia tengah menunggu Sabit sambil terkantuk-kantuk sebelum akhirnya jatuh tertidur dan dihadiahi mimpi buruk itu. Syukurlah … semuanya hanya mimpi. Warna menghela napas panjang kemudian.
"Kamu dari kapan datang ke sini?" Warna melempar tanya.
"Baru aja, sih. Ponsel Mbak bunyi terus dari tadi. Kayaknya panggilan penting."
Warna melirik ponselnya yang sudah menggelap, pertanda panggilan terputus otomatis sebab ia tak menjawab. Guna memastikan siapa yang menghubunginya, Warna segera meraih benda pipih yang ia letakkan di dalam etalase toko itu. Dan, netranya membola seketika kala tulisan di balik layar ponselnya itu terbaca.
Sepuluh panggilan tak terjawab dari Inggit.
***
Padahal, Warna sudah was-was, dirundung takut saat ia melakukan panggilan balik kepada Inggit. Takut seandainya Inggit menghubunginya untuk memberi kabar buruk dan mimpinya menjadi kenyataan. Namun, melihat keberadaan Inggit beserta Faran di rumah bututnya kali ini, membuat hela napas Warna mengudara bebas. Mantan pacar dari kakaknya dan mantan istri dari mantan pacarnya itu bilang akan berkunjung ke rumahnya untuk membicarakan hal penting.
Sedari pertama melihat Faran, Warna selalu merasa wajah itu begitu familiar. Tak terlintas barang sekalipun jika pahatan di balik paras teduh itu mengguratkan banyak kemiripan dengan Sega, kakaknya. Garis mata tegas, tetapi menyorot kelembutan dan kehangatan itu begitu sama. Namun, bagaimana cara mereka melukis kurva lebar di wajah, membentuk sebuah senyuman indah adalah yang paling serupa. Sayangnya, Warna baru menyadari hari ini setelah Inggit menyingkap runtuhan memori masa lalu yang kelabu.
Faran tak sepucat saat terakhir kali bertemu. Kala ingatan tentang mimpinya kemarin terbayang, Warna selalu merasa bersyukur melihat keberadaan Faran saat ini.
Tera sudah lengkap dengan seragamnya dan hendak berangkat ke sekolah. Ia ingin bersikap tidak peduli saat tahu Faran datang berkunjung ke rumahnya, kendati sebenarnya ia senang melihat laki-laki yang beberapa hari terakhir ini diam-diam menyelundupkan rindu dalam kalbunya. Namun, ingatkan pembaca bahwa Tera ini adalah tipe manusia yang tak begitu pandai menunjukkan perasaannya. Sebabnya, ketika Warna meminta bantuannya membawa beberapa camilan untuk disuguhkan kepada si tamu, Tera hanya menampilkan ekspresi datar di hadapan Faran.
"Sepulang lo dari sekolah, ayo kita bertemu." Faran berbisik saat Tera berlutut guna menyimpan baki minuman di atas meja. Paparan katanya membuat Tera kontan menoleh, sementara atensi Inggit teralih saat Warna bertanya perihal hal penting apa yang membuat Inggit datang mengunjungi rumahnya. "Di tempat kenangan kita," sambung Faran. Bermaksud memberi tahu lokasi tempat mereka bertemu nanti.
Senyap. Tera tak lalu memberi respons, memilih memindahkan gelas di atas nampan ke meja. Lantas gadis berseragam OSIS itu bangkit, seraya berujar singkat. "Oke!"
Senyum Faran tergurat. Ia biarkan Tera pergi sebelum kemudian dengan enggan memperhatikan pembicaraan Warna dan Inggit.
"Kudengar kamu dipecat dari Yuasa karena mencoba mempertahankan Faran." Inggit menatap Warna. Perempuan itu masih terlihat lembut dan anggun walaupun warna merah cabe kemeja flannel oversize-nya terlihat mencolok. Penampilan Inggit selalu berhasil membuat Warna merasa insecure yang sesungguhnya. Terlebih, tatkala ingatan tentang mimpinya semalam kembali terbayang. Walaupun hanya dalam mimpi, tetapi Warna merasa … ya, sedikit tak rela Wira memeluk Inggit.
"Juan memberi tahumu?" Warna bertanya, melirik Faran sekilas.
"Hubungan kami enggak sedekat itu." Tentu saja, sejak awal hubungan mereka tak terajut rapi. Terlalu banyak benih antipati yang Juan tanam untuk dirinya, juga keluarganya. Kendatipun akhirnya Inggit berhasil membuka celah untuk mengabarkan fakta yang sesungguhnya, Juan bukanlah pribadi yang senang membubazirkan kata untuk bercerita banyak hal.
Warna mengangguk mafhum. Tak terlalu penting dari siapa Inggit tahu perihal pemutusan kerja yang dijatuhkan padanya. Tentu saja, yang paling penting saat ini hanya …
"Aku mungkin bisa membantumu kembali ke Yuasa. Atau juga mencarikan posisi yang lebih baik di salah satu cabang perusahaan milik keluargaku."
… sebuah celah di mana Warna bisa mencari jalan keluar untuk lepas dari belenggu erat permasalahannya kini.
"Tapi, dengan satu syarat." Sebuah lirikan kecil, Inggit arahkan kepada anak laki-laki di sampingnya. Faran hanya mengangkat bahu, tak tahu mesti menyuarakan pendapat seperti apa. "Terima saja lamaran ayahku." Seraya kembali melempar tatap ke arah Warna, Inggit berujar dengan nada sangsi yang cukup kentara.
Jantung Warna terasa ditohok dari dalam. Mendadak merasa begitu kecewa sebab pada akhirnya, celah jalan yang terbuka untuk ia meloloskan diri dari permasalahan yang menimpa itu berujung pada sebuah keputusan final di mana keputusasaan siap melahapnya tanpa belas kasih.
"Benar, terima saja. Karena lamaran ini bukan untuk saya. Tapi, untuk menantu saya, Wira."
Sebelum akhirnya, suara berat pria tua yang kini berjalan tertatih memasuki rumahnya, memaku segala pergerakan Warna. Di samping seluruh hatinya yang mendadak bergetar hebat. Inggit tampak melukis senyum lebar, seraya menepuk bahunya beberapa kali sebagai ucapan selamat.
Yeyen yang turut datang bersama Juragan Dirsa mencubit lengan Warna dengan gemas. "Coba kamu terima saja dari dulu. Kamu kan enggak akan nikah di usia tua begini."
Warna ingin melempar protes kepada Yeyen, seandainya saja perhatian ibunya itu tak pesat beralih ke arah Faran. Mata tua wanita itu tampak berbinar, diselimuti kerinduan yang mendalam. Lekat, Yeyen menatap wajah Faran. Tampak mencoba menegarkan hatinya yang tiba-tiba saja dilumpuhkan kembali oleh penyesalannya di masa lampau. Lantas, dengan sedikit terseok ia berjalan memutari sofa, sebelum akhirnya mengambil posisi tepat di samping Faran.
"Kamu, begitu mirip dengannya." Tangis Yeyen pecah, selagi peluk eratnya ia lingkarkan di tubuh kurus anak laki-laki penyuka musik itu. Kerinduan yang selama ini diam-diam ia pendam rapat itu akhirnya buncah tak tertahan. Penyesalan yang selalu merayap masuk di setiap hela napasnya, perlahan berpencar kala hangat tubuh Faran menguar hingga pedalaman sanubari. "Benarkah, ini cucuku? Benarkah kamu lahir dengan membawa darah Sega dalam tubuhmu?"
Faran tak tahu kalimat apa yang harus ia urai untuk merespons segala tutur penuh kepedihan yang menyentuh pendengarannya. Hanya angguk kaku yang ia layangkan. Yeyen melepas pelukannya, berganti menyentuh wajah Faran. Iris lelah wanita berusia senja itu mendadak membuat hati Faran terenyuh dalam. Turut merasakan nestapa yang membelit rongga dada wanita itu.
***
"Karena luka selalu menitipkan sisa, makanya memaafkan selalu lebih sulit dari meminta maaf. Tapi, dengan menyimpan marah berlarut-larut, luka itu akan semakin parah. Jadi, lepaskan saja. Maafkan bundamu, Faran."
Pagi itu, sebelum besoknya meminta Inggit datang berkunjung ke rumah Warna, Faran tiba-tiba diminta menemani kakeknya berjalan-jalan di taman kota. Tiada disangka, di tengah-tengah perjalanan mereka, si kakek menyinggung soal hubungannya dengan Inggit yang belum juga memulih. Memang, sebab masih kesal, Faran belum mau membuka tegur dan sapa kepada ibunya itu. Rupanya, kendati tak berada di atap yang sama, kabar guncangnya hubungan ia dan Inggit itu sampai juga kepada kakeknya. Dan, Faran paling tidak bisa membantah atau melawan segala tutur kata pria tua yang paling dihormatinya itu.
"Kamu harus janji akan memaafkan bundamu." Juragan Dirsa mendudukan diri di salah satu bangku taman yang paling dekat dengan posisinya. Faran mengambil tempat di sampingnya.
"Iya, Kek. Sepulang dari sini aku akan bicara dengan Bunda." Walaupun sangsi, Faran hanya bisa berucap demikian. Guna menenangkan kakeknya.
Dirsa tersenyum lembut, selagi tangannya yang sudah dipenuhi guratan keriput itu menepuk puncak kepala Faran beberapa kali. Faran tersenyum tawar. Ia bangkit saat pedagang minuman di seberang jalan terlihat. "Aku mau beli minum dulu." Masih pagi, tetapi matahari seperti memanggang bumi. Panas, dan Faran merasa tenggorokannya dilanda kemarau. Anggukan Dirsa, membawa kaki Faran melangkah menuju kedai minuman berlogo gambar alpukat dan cokelat itu.
Faran baru saja memesan dua alpukat cokelat dengan sedikit gula dan es, saat dua orang yang tengah duduk di salah satu bangku kedai itu menarik atensinya. Kedua orang berbeda gender itu begitu Faran hafal betul. Sabit dan Rean. Tak pernah Faran duga, kalau ….
"Sebenarnya, aku sudah menabung jauh-jauh hari untuk rencana pernikahan kita nanti."
…. Dunia selalu terasa sempit untuknya.
Faran hendak menghampiri mereka yang lebih tua darinya itu guna memberi sapa. Namun, obrolan Sabit dan Rean yang berhasil menyentuh pendengarnya, berhasil membuatnya membeku. Sebelum kemudian meleleh dibakar ketidakpercayaan.
"Hanya karena berusaha mempertahan seorang murid, Mbak Warna dipecat dari pekerjaannya, dan hutang keluargaku sangat banyak. Tera nyaris saja dibawa sebagai jaminan. Aku tidak punya pilihan selain merelakan semua uang tabunganku untuk menyelamatkan Tera waktu itu. Maafkan aku, Rean."
"Sudahlah, kita bisa menabung bersama lagi nanti. Lagipula, kita enggak mungkin kan ngedahului Mbak Warna?"
Tanpa sadar, jari jemari Faran mengepal. Dengan gemuruh dalam dadanya yang mendadak bertabuh ramai, Faran meninggalkan pesanannya. Berjalan rusuh ke arah Dirsa yang masih duduk di seberang sana.
"Lah, minumannya mana?"
"Kakek …." Faran menggantungkan kalimatnya, menatap Dirsa dengan mata berkilat-kilat penuh ancaman dan bahaya. "… aku ingin menunjukkan siapa aku sebenarnya kali ini."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top