XXI | Warna Pelangi

Entah ke berapa kalinya Warna menghela napas. Permasalahan yang menerpa hidupnya benar-benar menemukan jalan buntu. Seberapa banyak pun ia berpikir dan mencari arah, jalan satu-satunya Cuma berbarik arah dan menerima kenyataan yang ada dengan lapang dada. Setidaknya ia bisa menyelamatakan masa depan kedua adiknya.

"Aku heran seberapa kaya keluarga si Dito itu sampai bisa bikin Faran sama Mbak dikeluarin dari sekolah." Tera mengambil posisi di samping Warna, dengan dua cup besar minuman dingin di tangan.

Pagi-pagi sekali, Warna memaksa ia menemaninya lari pagi minggu ini. Tera sempat menolak sebab ia tidak terlalu suka berkeringat. Namun, wajah mendung Warna yang kontras dengan cerahnya cakrawala hari ini, membuat gadis kelas sebelas SMA itu akhirnya berubah pikiran. Sama sekali Tak Tera sangka Warna mengambil momen ini untuk jujur perihal permasalahan yang tengah terjadi.

"Entahlah … Mbak enggak ngerti. Uang dan kekayaan bukan segalanya di dunia ini. Tapi, tanpa itu hidup kita bahkan kesulitan."

Tera mengangguk singkat sebelum membiarkan hening merajai.

"Pada dasarnya, setiap tindakan dan perilaku manusia selalu berlandaskan suasana hati. Mood Rere mungkin sedang tidak baik saat Mbak berbicara perihal Faran kepadanya. Kita juga enggak berhak membenci dan menghakimi mereka. Rere itu orang yang baik, hanya saja ia bertindak saat suasana hatinya sedang buruk." Usai menandaskan minumannya, Warna kembali berujar. Netranya menatap jauh ke depan. Memikirkan banyak hal yang sama sekali tidak membantunya melepaskan diri dari permasalahan yang ada.

"Jika ditarik dari awal, permasalahan utamanya adalah aku kan, Mbak? Perkelahian Faran dan Dito adalah aku alasannya. Kalau saja aku enggak berurusan dengan Dito, Dito juga tidak akan mencari masalah dengan Faran. Faran tidak harus dapat kasus, dan Mbak tidak harus berjuang mempertahankan Faran sampai-sampai harus didepak dari Yuasa."

Sejemang, Warna melirik raut Tera yang tiba-tiba saja dikawani kabut sendu. Perasaan bersalah jelas terlihat di balik wajah si Adik. "Bukan waktunya mencari siapa yang salah di sini. Kita hanya harus mencari jalan keluar untuk masalah yang kita hadapi ini." Warna menepuk punggung Tera beberapa kali, mencoba menghibur.

"Terus, sekarang Mbak mau ngapain?"

Hela napas panjang Warna mengudara sebelum menjawab, "Mencari pekerjaan baru. Tapi, kalau enggak dapat juga, Mbak mungkin akan meneriman lamaran juragan Dirsa."

"Mbak harusnya mendapatkan pria yang lebih baik." Tera menunduk dalam.

"Kita tidak akan pernah tahu sesuatu baik atau buruk untuk kita, jika kita tidak berusaha lebih dekat dengannya. Yang sulit itu mengambil keputusan untuk memulai, tapi kalau udah dijalani, selalu ada cara untuk bisa dinikmati." Memang mudah mengatakan hal itu untuk menenangkan perasaan adiknya, tetapi  jelas hati Warna begitu berat menjalaninya.

Tak ada lagi respons berarti dari Tera. Gadis itu hanya memusatkan seluruh atensinya pada ukiran pavingblock taman kota yang tengah dipijakinya. Ia merasa tidak berdaya sebab tidak bisa memberi solusi apa pun untuk keluarganya.

"Eh, itu Faran bukan, ya? Tapi kenapa …" Warna menunjuk seseorang yang tengah duduk berdua di salah satu kursi taman, agak jauh dari posisinya dan Tera saat ini. Matanya memicing tatkala sosok lain di sisi Faran terasa di kenalnya. "… Faran sama Juragan Dirsa ya?"

"Jangan-jangan …." Kompak, Tera dan Warna saling melempar pandang.

***

Warna berusaha bersikap senormal mungkin saat Juan berdiri di depan etalase warung. Membeli dua botol minuman dingin sebelum kemudian meminta waktu untuk berbicara. Setelah ia keluar dari Yuasa satu minggu silam, baru kali ini mereka kembali bertemu. Rasanya begitu canggung.

"Aku mengundurkan diri dari Yuasa."

"HAH?" Warna terlalu terkejut sampai mulutnya menganga. Netranya yang semula sibuk menatapi jalanan yang selalu ramai kendati waktu sudah merangkak menuju malam, beralih kontan ke arah lelaki di sampingnya. "Ke-kenapa?"

"Aku mendapat tawaran pekerjaan yang lebih bagus." Juan menyodorkan satu botol minuman yang dibelinya ke hadapan Warna. Ingin Warna menolak, tetapi tatap penuh intimidasi milik Juan membuatnya mengambil minuman itu dengan enggan.

Panjang, Warna menarik napas. Juan itu pintar dan berpendidikan. Bukan hal sulit untuk lelaki itu mendapat pekerjaan. Sementara dirinya, lamarannya ke beberapa perusahaan yang sempat ia kirim beberapa hari selepas dirinya dipecat pun, belum juga mendapat respons berarti. Ah, ia juga tak lagi berada di usia produktif. Akan sangat sulit perusahaan untuk menerima lamaran pekerjaannya.

"Aku masih menganggur sekarang." Warna memainkan minuman di tangannya, tanpa berniat untuk membuka dan meminumnya. Terlalu banyak yang disesali, sehingga sesak menghimpit dadanya.

Lama juan biarkan obsidiannya menilik wajah Warna sehingga si perempuan merasa salah tingkah dan menunduk dalam. "Jangan terlalu berusaha keras lagi. Terima lamaran Wira dan menikah saja dengannya." Tak rela sebenarnya melepas Warna begitu saja. Namun, beberapa hari lalu, Inggit datang menemuinya. Menceritakan kejadian sebenarnya tentang kenapa Wira mengambil keputusan---yang dalam pikiran Juan---begitu bodoh. Setelah tahu semuanya, Juan berpikir hanya ada satu hal yang bisa membalas pengorbanan Wira untuknya. Warna Pelangi.

"Seandainya saja bisa." Warna membuka tutup botol minuman yang Juan berikan dan meneguk isinya hingga sisa setengah. Tiba-tiba saja suasana menjadi lebih gerah. Seolah tatap Juan mengandung kekuatan api, dan membuatnya begitu panas. "Aku tidak mungkin menikah dengan Wira saat kondisi keluargaku kacau begini. Kasihan Wira kalau harus menanggung beban keluargaku. Lagi, aku pun tidak mungkin meninggalkan Ibu dan adik-adikku begitu saja pas lagi dililit hutang seperti ini."

Untuk beberapa sekon, hening menjamah keduanya.

"Aku mungkin akan menerima lamaran juragan Dirsa," celetuk Warna.

Mendengar hal itu, mata bulat Juan melebar. Terkejut. "Juragan Dirsa? Maksudmu …."

Warna mengangguk. Tidak heran melihat ekspresi terkejut Juan sebab tidak ada yang tak mengenal pria tua dengan kekayaan yang melimpah itu di daerahnya. "Bukan maksudku bangga karena aku dilamar oleh seorang pengusaha kaya raya. Tapi, aku merasa tidak ada jalan lain lagi sela---"

"Tunggu, Warna! Juragan Dirsa yang kamu maksud itu ..." Sengaja, Juan membiarkan kalimatnya menggantung untuk memejam sejenak, meyakinkan dirinya  sendiri. "… ayahnya Inggit?"

"Ayahnya Inggit?" Kini, giliran Warna yang dibuat terkejut. Kemudian, ingatannya mampir ke kejadian tadi pagi saat ia melihat Faran dan juga pria tua yang hendak dijodohkan dengannya itu jalan bersama. Dari sekian juta kilo meter luasnya Indonesia, kenapa dunia terasa begitu sempit? Pikir Warna.

***

Ema baru saja naik jabatan, diangkat sebagai Kepala Sekolah oleh Ketua Yayasan SMA Yuasa sebab pengunduran diri Juan begitu tiba-tiba. Gosip yang beredar di antara para guru, seorang pengusaha kaya raya menawari Juan posisi terbaik di salah satu cabang perusahaannya. Kabarnya juga, Juan hendak kembali melanjutkan pendidikannya di Amerika. Ada pula yang bilang kalau Juan merasa bersalah karena tidak bisa mempertahankan Warna di Yuasa. Alasan apa pun yang membuat Juan mengundurkan diri, itu adalah sebuah berkah untuk Ema.

Akan tetapi, pemikiran itu buyar seketika tatkala netranya menangkap hal ganjil di ruangan barunya. Ruangan yang dulu di tempati oleh Juan itu terlihat begitu padat. Saat ia membuka pintu, barisan anak-anak kelas XI IPS 2 itu menyambutnya dengan koor serempak bak anak-anak paduan suara.

"Mohon maaf, Bu. Kami tidak akan keluar dari ruangan Ibu sebelum Faran dan Bu Warna kembali ke Yuasa!"

"APA-APAAN KALIAN INI?" Ema naik pitam. Namun, jawaban yang didapat setiap kali ia melempar tanya adalah kalimat serupa.

"Mohon maaf, Bu. Kami tidak akan keluar dari ruangan Ibu sebelum Faran dan Bu Warna kembali ke Yuasa!"

"Siapa provokatornya, Hah?!"

"Mohon maaf, Bu. Kami tidak akan keluar dari ruangan Ibu sebelum Faran dan Bu Warna kembali ke Yuasa!"

Anak-anak itu benar-benar seperti robot yang sudah terprogram untuk memberi jawaban demikian. Demo macam apa ini? Ema benar-benar tak habis pikir.

Bersambung


Juan Kiraal Fidan

Follow ig : @queenofsadending_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top