XX | Berhenti dan Menyerah
"Aku benar-benar tidak bisa membantu, Warna. Itu sudah keputusan Ketua Yayasan. Selain permintaan dari beberapa pengajar, pihak keluarga Dito ad—"
"Iya, tidak apa-apa." Cepat, Warna memutus kalimat Juan. Melipat surat pemberhentiannya yang baru saja Juan antarkan ke ruangannya. Tanpa Juan jelaskan lebih rinci, ia sudah tahu alasan apa yang akhirnya membuat ia didepak dari Yuasa. "Aku memang tidak cukup baik menjadi pengajar di sini." Dada Warna dirundung sesak kini. Namun, hanya senyum tak lepas yang bisa ia tunjukkan kepada Juan.
"Warna … maaf." Iris kelam Juan menyorot sendu. Lama, ia memperhatikan Warna yang kini sibuk membereskan barang-barangnya. Merasa begitu bersalah sebab tak bisa memperjuangkan posisi perempuan itu lebih keras lagi.
"Tidak masalah. Aku bisa mencari perkejaan lain. Tapi, Juan …." Dengan kaca-kaca bening di balik mata teduhnya, Warna merogoh sesuatu dari balik tas jinjingnya. Lantas, mengeluarkan beberapa lembar kertas hasil voting anak-anak beberapa hari lalu yang belum sempat ia tunjukkan kepada si Kepala Sekolah. "Tolong pertimbangkan lagi. Aku tahu kamu lebih tahu bagaimana Faran sebenarnya."
Tak banyak lagi yang Warna suarakan. Usai menyerahkan potongan-potongan kertas itu kepada Juan, Warna segera membawa pergi barang-barangnya dan meninggalkan ruangan yang selama hampir satu tahun ini menjadi rumah keduanya. Tempat ia mendengarkan banyak cerita. Tempat yang tak seluas dunia, tetapi memberinya banyak pengalaman berarti. Tempat di mana Warna menggantungkan banyak harapan untuk kehidupan dan masa depan anak-anak didiknya.
Tanpa sadar, ketika kakinya melewati gerbang utama sekolah, air mata yang Warna tahan selama langkahnya menyusuri koridor, akhirnya tumpah ruah. Bukan, bukan sebab ia merasa dengan tanpa hormat dipecat, bukan sebab ia pergi meninggalkan Yuasa tanpa bisa menyuarakan salam perpisahan kepada anak-anak. Warna hanya merasa terlalu banyak hal yang perlu disesalinya. Terlebih, setelah berjuang cukup keras, pada akhirnya ia tidak bisa mempertahankan Faran dan justru perjuangan dirinya yang tamat begitu saja.
Warna mendudukkan dirinya di salah satu bangku pertokoan, setelah berjalan agak jauh dari sekolah. Kakinya mendadak begitu lemas. "Enggak apa-apa. Kamu udah melakukan yang terbaik, Warna." Warna mengusap-usap dadanya. Berusaha menguatkan diri. Mensugesti pikirannya sendiri kalau tidak semua hal yang sudah diperjuangkan, harus berhasil di akhir. Tetap saja, semuanya kembali bagaimana semesta mengiginkannya. Yang hanya perlu diyakini, Tuhan itu Maha Baik. Apa yang diberi pasti yang terbaik.
Panjang, Warna menarik napas. Setelah dirasa perasaannya mulai tertata cukup rapi, Warna bangkit segera. Ia akan pulang, beristirahat sejenak, sebelum mencari pekerjaan yang lebih layak sebab ia membutuhkan hal itu.
***
"Faran …."
"Aku enggak suka Bunda nyembunyiin kenyataan ini dariku." Faran memetik asal senar gitarnya. Menciptakan nada kacau. Sekacau perasaannya. Setelah menguping pembicaraan Inggit dengan Warna beberapa waktu lalu, Faran enggan membuka pembicaraan dengan Inggit. Bahkan sampai akhirnya ia diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Faran masih saja mendiamkan bundanya itu.
Entahlah … Faran hanya merasa sedikit kecewa. Harusnya jika ia tahu di awal, ia tidak akan terlalu berharap untuk Wira. Asa yang ia bangun untuk figur ayah terbaik pun tidak akan sekokoh saat ini.
"Bunda benar-benar minta maaf, Faran."
Faran berusaha tak terlalu menanggapi, dan mulai fokus dengan alat musik dalam pangkuannya. Mencari nada yang lebih tepat, sebab menurutnya hanya dengan bermain musik perasaannya bisa lebih baik.
Tapi mengapa tiba-tiba seakan kaupergi.
Melepas rangkulanmu dan berhenti melindungiku tanpa sebab.
Inggit mendesah panjang kala bagian lirik yang Faran lagukan menjamah pendengarannya. Terlalu paham tanpa perlu dijelaskan untuk siapa lagu itu dilantunkan. Setiap irama yang mengalun, menjelaskan seberapa banyak luka yang kini dirasakan putra satu-satunya itu. Pedihnya turut menancap tajam dalam sanubari Inggit.
Mungkin alam semesta tak menerimanya
Dan waktu tak memberi kesempatannya
Tapi setidaknya kau telah merubah
Dari resah menjadi luka.
Faran adalah sesuatu yang begitu berharga dalam hidup Inggit. Bukti cinta Inggit kepada kekasihnya. Bukti kalau Inggit tidak pernah sejengkal pun meninggalkan dia yang telah abadi, kendati sosok itu kini hanya sebuah kenangan yang tersimpan aman dalam sebagian memorinya. Terkadang, teduh mata Faran adalah penawar kala rindu akan sosok itu tiba-tiba merasuk dalam kalbu. Sekalipun, tidak pernah Inggit berpikir untuk mengguratkan luka di hati anaknya.
"Kamu enggak bisa ya maafin Bunda?" Begitu lagu yang Faran lantunkan berhenti, Inggit kembali melempar tanya.
Hela napas panjang Faran lepas landas. "Setidaknya sekarang aku tidak punya alasan untuk tetap berjuang, kan? Jadi, Bunda enggak perlu khawatir. Aku enggak pernah marah sama Bunda. Hanya sedikit kecewa."
***
Kumulonimbus dalam dada Warna semakin tebal tatkala lensa matanya merekam situasi kacau di dalam rumah. Seluruh perabotan tampak berserakan. Di bawah sofa butut tempatnya melepas penat selama ini, ia melihat kedua adiknya terduduk lesu di sana. Sabit tampak memeluk erat Tera yang tengah menangis, gadis itu terlihat begitu terguncang. Melihat hal itu, seperti halnya pecahan kaca yang berserakan di bawah pijakannya, hati Warna pun demikian.
"Apa yang terjadi?" Warna meletakkan barang-barangnya di atas meja terdekat, lantas berjongkok di sisi adik-adiknya. "Apa para rentenir itu kembali?"
Sabit mengangguk, sementara Tera menangis semakin keras. Tangisnya membuat hati Warna perih bukan main. "Mereka beneran mau bawa Tera pergi, untung aku cepet pulang dan menghalangi mereka," jelas si Adik lelaki selagi melepas pelukan Tera, menghapus air mata adik perempuannya. Untuk pertama kalinya ia melihat Tera begitu rapuh dan terguncang. Benar, nyaris saja orang-orang tak berperasaan itu membawa Tera pergi guna dijadikan jaminan atas hutang-hutang yang keluarganya tanggung.
"Kamu enggak apa-apa, Sabit?" Usai mengelus lembut punggung Tera, Warna beralih memegang kedua sisi lengan adik laki-lakinya. Menilik, barangkali Sabit kena pukul lagi seperti beberapa waktu silam.
"Aku baik-baik aja. Mereka langsung pergi pas aku berikan semua uang tabunganku. Tapi, mereka bilang bulan nanti kalau hutang kita enggak lunas juga, Tera beneran bakal dibawa dan warung kita bakal mereka obrak-abrik lebih parah dari ini."
Rasanya, Warna tidak bisa lagi menanggung beban yang ada. Terlebih tatkala ingat bahwasanya kini ia hanya seorang pengangguran yang tak memiliki pekerjaan. "Ibu mana?" tanyanya kemudian begitu ingat Yeyen tak terjamah pandangan matanya.
"Di kamar. Kayaknya Ibu juga syok banget. Lagi nenangin diri."
Mendengar jawaban Sabit, Warna mengangguk. Berusaha tenang, berusaha tegar padahal hatinya menangis pilu kali ini. Kini, hatinya bergelut. Ia pikir untuk menyerah saja. Ia akan berhenti mementingkan dirinya sendiri dan mulai menerima lamaran Juragan Dirsa. Untuk Tera dan Sabit. Baginya, masa depan kedua adiknya adalah yang terpenting.
"Makasih udah relain tabungan kamu. Suatu saat Mbak pasti bakal ganti."
Sabit menarik napas sepanjang yang ia bisa. Menatap manik cokelat Warna yang tampak dihiasi kaca-kaca bening, nyaris pecah dan memuntahkan air mata. "Enggak usah pikirin itu dulu, Mbak."
Warna berhambur memeluk Sabit dan Tera kemudian. Pertahanannya runtuh dan ia menangis dengan keras. Wira, maafin aku. Kita mungkin emang enggak akan pernah bisa bersatu. Warna membatin pilu.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top