XVIII | Selalu Tentang Faran


"Aku tidak ingin mati secepat dan semuda itu. Jadi kalau alasan Ibu perjuangin aku buat bisa kembali ke Yuasa adalah karena takut nasibku seperti Kakaknya Ibu, Ibu berhenti aja. Aku sekarat setiap hari, tetapi aku tidak pernah berpikir untuk membunuh diriku sendiri."

Panjang, Warna menghirup udara di sekitarnya. Kata-kata Faran sebelum taksi online membawanya pergi kemarin, kembali terngiang. Setiap kali berdengung dalam kepalanya, justru semakin membuat Warna mantap menarik Faran kembali ke Yuasa. Warna tak yakin apa alasannya. Hanya, rasanya tidak adil seandainya Faran keluar dari Yuasa sebagai antagonis, sementara pada kenyataanya tidak demikian.

Apa yang harus aku lakukan? Warna membatin, selagi membiarkan seluruh wajahnya tenggelam di balik kedua tangannya yang terlipat di atas meja ruang guru siang ini. Bel istirahat belum berbunyi, sebabnya ruang guru masih begitu hening. Warna bisa sedikit menenangkan diri di sana sebelum kembali ke ruang BK.

"Eh, kemarin-kemarin saya lihat Faran sama beberapa orang lagi ngamen loh, Bu Ema."

"Ah, yang bener?"

"Iya, orang saya lihat langsung. Dia beneran si Faran, kok. Saya enggak suka anak itu, tapi prihatin juga kalau lihat dia jadi pengamen."

"Bu Dila enggak perlu prihatin sama anak kayak gitu. Toh, dia bernasib buruk kan karena pilihannya sendiri."

Percakapan yang tanpa kedua orang itu sadari sampai ke telinga Warna, membuat Warna refleks mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Ia mengangkat kepala dan memusatkan seluruh penglihatannya ke arah dua orang yang baru saja membuka pintu ruang guru. Dalam dada, amarah itu meletup-letup, tetapi Warna berusaha untuk tak meluapkannya.

"Eh, ada Bu Warna. Ibu ngapain di sini?" Dila berucap salah tingkah. Tahu kalau selama ini Warna selalu berdiri di pihak Faran, ia jadi takut ucapannya menyinggung perasaan Guru BK itu.

Sebanyak mungkin, Warna menghimpun udara dalam dada sebelum kemudian dihelakannya dengan perlahan. "Yang pasti, di sini saya enggak lagi gunjuingin orang." Warna bangkit berdiri. Berniat untuk kembali ke ruangan Bk, sebab di jam istirahat biasanya selalu ada siswa atau staf yang meminta konseling. Walaupun, setelah insiden 'Guru Bermuka Dua' itu, tak ada lagi siswa yang mau berhadapan dengannya.

"Eh, Bu Warna udah tahu belum, kalau murid kesayangannya Bu Warna, tuh, si Faran. Dia katanya ngamen loh, Bu. Kasian banget, ya? Tapi, ya salah sendiri jadi anak nakal. Makanya masa depannya dia suram banget." Dengan sinis, Ema berujar. Setiap untaian katanya menahan pergerakan Warna.

"Asal Bu Ema tahu saja." Warna berbalik sejenak, menantang tatap Ema dengan sorot runcing. "Selama itu tidak merugikan orang lain, juga diri mereka sendiri, saya bangga untuk semua pilihan murid saya. Tak terkecuali Faran."

Ema mendengkus, selagi matanya berputar malas.

"Soal Faran, kalau Bu Ema enggak tahu banyak tentang dia, mending Ibu diem aja. Karena apa yang dia miliki, mungkin jauh lebih baik dari semua gibahan kalian. Dan satu lagi ...." Warna memutat handle pintu, tetapi matanya masih menyorot tajam sosok Ema. "Apa pun yang terjadi, saya tidak akan membiarkan Faran pergi begitu saja dari Yuasa." Lantas setelah berkata demikian, Warna biarkan pintu kayu itu memuntahkan dirinya.

***

Warna sempat merasa ragu ketika kakinya hendak melangkah masuk ke dalam ruangan kelas XI IPS 2. Kendati ada cukup banyak siswa yang membelanya di forum diskusi siswa kemarin, tetap saja Warna masih belum siap melihat reaksi mereka di pembelajaran hari ini.

Warna masih ingat bagaimana siswa-siswa tak mengacuhkan dirinya saat ia datang ke kelas. Mereka diam, tak berisik, tetapi tak ada satu pun yang mendengarkan materi yang diterangkannya. Warna berusaha bersikap seakrab mungkin, tetapi tidak ada yang benar-benar menganggap kehadirannya. Itu rasanya cukup menyakitkan.

Akan tetapi, berdiri mematung di depan pintu kelas pun bukan pilihan yang tepat. Lagi, kala teringat ada sesuatu yang perlu ia sampaikan kepada anak-anak, membuat Warna memantapkan hati untuk memutar handle pintu dan ...

"Bu Warna, kami semua minta maaf!"

... riuh salam pembuka itu membuat Warna cukup terkejut, tetapi menghangatkan perasaan Warna. Seluruh siswa tengah berdiri berbaris di depan kelas. Layaknya grup paduan suara, kompak mereka mengungkapkan kata serupa yang membuat haru biru mendadak melingkup jiwa Warna. Anak-anak itu begitu polos dan menggemaskan dalam pandangan Warna.

"Bu, kami benar-benar minta maaf karena sudah berperilaku tidak baik kepada Ibu kemarin-kemarin." Itu suara Riku.

Di sampingnya, Ruka mengangguk setuju. "Iya, Bu. Maaf karena kami tidak mencari kebenarannya terlebih dahulu, dan vonis Ibu begitu saja. Ke depannya, kami akan belajar mencari kebenaran sebelum memvonis seseorang bersalah atau tidak."

Seluruh siswa mengamini kata-kata Ruka. Warna bahagia karena masalah ini membuat anak-anak selangkah menjadi lebih dewasa. Tanpa sadar, air mata Warna menetes lantaran merasa begitu terharu. "Terima kasih, anak-anak. Ibu juga minta maaf karena belum sepenuhnya bisa jadi guru yang baik buat kalian. Ke depannya ayo, kita bikin hubungan yang lebih baik. Sekarang, kalian duduk. Ibu ingin menyampaikan beberapa hal penting untuk kalian."

Mendengar perintah Warna, semua siswa kemudian kembali ke tempat duduk masing-masing. Setelah memastikan seluruh perhatian terpusat ke arahnya, Warna mengambil posisi di mejanya. Menarik napas panjang sebentar, sebelum berujar, "Ini tentang teman kalian, Faran Raefal." Seketika, beberapa siswa mulai terdengar berbisik-bisik saat nama Faran disebut.

"Ehiya, kabarnya tuh anak gimana, ya?"

"Gue jadi kangen, deh. Enggak ada yang seseru dia di kelas, masa?"

"Hidup Bu Ema kayaknya flat banget ya, tanpa si Faran."

"Eh, tapi beneran enggak, ya kalau Faran itu make?"

"Dia beneran menghilang pas udah di drop out. Padahal, kayaknya di grup kelas kontaknya masih ada deh."

"Jadi, begini anak-anak." Warna berdiri, mencoba kembali menarik perhatian yang sempat teralihkan. "Kadang, kita hanya berpikir kalau pahlawan itu adalah mereka yang dengan gagah berani membela ketidakadilan di muka bumi ini. Tapi, pada kenyataannya kita tidak tahu kalau terkadang orang-orang biasa juga tanpa sepengetahuan kita, bisa menjadi pahlawan untuk kita. Di belakang kita, kita tidak tahu ada berapa banyak pahlawan yang melindungi kita dari sesuatu yang mungkin merugikan dan membuat kita bersedih. Malah terkadang, kita tidak tahu kalau penjahat sekalipun adalah pahlawan untuk sebagian orang."

Kelas masih hening. Tidak pernah Warna melihat anak-anak menyimak dengan begitu serius seperti sekarang.

"Jadi, begini ... beberapa minggu ini, Ibu sengaja mencari tahu banyak hal tentang Faran. Ibu enggak bisa bilang terlalu banyak, tapi yang pasti, dilihat dari pandangan Ibu, Faran ini tidak sepenuhnya bersalah. Dia bukan pecandu narkoba, dan dia punya alasan kuat kenapa memukuli anak kelas sebelah."

"Dari awal, kalian curiga enggak, sih kalau pihak sekolah emang enggak niat gali kasus ini soalnya emang pengen banget Faran keluar dari Yuasa?" Tera tiba-tiba melempar tanya yang langsung diamini oleh yang lainnya. Warna senang mendengar Tera menyuarakan pendapat itu.

"Iya, senakal-nakalnya Faran, dia selalu punya alasan buat setiap kenakalan yang dia lakukan. Kalian inget enggak sama jawaban kocak Faran di ulangan harian Bu Ema? Gue waktu itu dikeluarin dari kelas gara-gara kelihatan ngantuk, padahal seriusnya waktu itu gue lagi sakit. Faran bilang, dia enggak suka sama sikap Bu Ema yang selalu cepat ambil kesimpulan, makanya dia ngerjain Bu Ema dengan kasih jawaban asal. Padahal ya, Faran enggak bego-bego amat. Dia bisa saja jawab semua pertanyaan dengan bener."

Warna merasa kalau Faran semakin spesial saat mendengar cerita salah satu siswa itu.

"Gue jadi pengen wali kelas kita diganti, masa?"

"Minta Pak Juan jadiin Bu Warna wali kelas kita aja gimana?"

"Iya, ayo kita demo bareng ke kantor Pak Juan!"

"Anak-anak tunggu dulu!" Warna berusaha menginterupsi kebisingan yang mulai terdengar. "Bagaimana kalau kita pikirin soal wali kelas itu nanti. Sekarang, Ibu pengen kita melakukan voting untuk Faran. Sebagai teman sekelasnya, kalian setuju Faran keluar atau tidak dari Yuasa, mari kita tentukan lewat voting. Bagaimana?"

"Setuju, Bu!"

***

Senyum Warna tidak bisa berhenti merekah. Di sepanjang jalan menuju kantor kepala sekolah, warna tidak berhenti menatapi hasil voting anak-anak. Mereka setuju Faran tetap tinggal di Yuasa. Warna benar-benar tidak sabar ingin memberi tahu Juan perihal ini. Ia merasa jalannya untuk membawa Faran kembali ke Yuasa mulai menemui titik terang. Sebelum kemudian ....

"Pak Juan, kami tidak mau tahu, pokoknya Bapak harus mengeluarkan Bu Warna dari Yuasa."

"Iya, Pak. Kami rasa, Bu Warna kurang kompeten dalam mengemban tugasnya. Pak Juned bahkan lebih tegas dalam mengamankan siswa-siswa bermasalah. Tugas menginput data-data siswa pun bisa dilakukan oleh guru piket dan bagian administrasi. Kami rasa, Yuasa enggak perlu guru BK seperti Bu Warna."

"Kami ingin Bu Warna dikeluarkan saja."

... Warna merasa kalau dunianya baru saja runtuh kala percakapan di dalam ruangan yang hendak ditujunya itu terdengar.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top