XVI | (Tidak) Mau Jadi Anak Baik

"DUDUK!"

Entah kenapa, mendadak Faran tidak bisa menolak segala titah Warna. Ketika perempuan itu menahannya masuk, menarik ia lebih menepi dan menyuruhnya duduk di teras minimarket, Faran hanya menurut saja.

Warna tersenyum tipis, turut mendudukkan diri di samping Faran. "Aneh rasanya lihat kamu nurut gini." tukas Warna selagi mengeluarkan Cadbury yang ia beli dari kantong plastik, dan menyodorkannya ke hadapan Faran.

Faran menggeleng, menolak tawaran Warna. "Aku enggak suka cokelat." Ia tidak bisa bilang kalau makanan yang ia konsumsi harus benar-benar terjaga.

Warna memasukkan kembali cokelat kesukaan adiknya itu ke tempat semula. Panjang, ia menarik napas. Membuangnya dengan perlahan kemudian. "Kita berteman saja, bagaimana?"

"Hah?" Faran menoleh cepat ke arah Warna. Menatap wajah cantik gurunya itu dengan sorot tak paham.

Senyum simpul Warna tersemat. "Kadang, ada beberapa hal yang hanya bisa kita ceritakan kepada teman saja. Kalau kamu tidak punya teman yang bisa dengerin semua hal yang kamu pendam sendiri di sini …." Warna menunjuk dada Faran. "Ibu mau jadi teman kamu. Ibu mau dengerin semuanya sebagai teman yang baik."

Tak lalu merespons, Faran justru sibuk menatap jari-jari kakinya yang tampak mengkerut lantaran terlalu lama dibiarkan kedinginan. Karena terburu-buru, ia tidak sempat mengenakan sepatu dan hanya mengenakan sandal yang ada di rumah sakit saat itu. Ah, Inggit bahkan tidak tahu kalau ia pergi diam-diam dari rumah sakit.

"Setelah banyak hal yang kita lalui, Ibu sedih karena kamu tidak juga mempercayai Ibu. Padahal, kalau tidak bisa jadi guru yang kamu percayai, Ibu mau jadi teman yang baik buat kamu." Serius, Warna menunjukkan raut kecewa.

Kepala Faran terangkat. Kali ini tatap sendunya terarah ke jalanan sepi di hadapannya. Sebelum akhirnya anak laki-laki itu biarkan seluruh wajahnya terbenam di balik lipatan sikutnya. Kemudian, guncang kecil diiringi isak kecil itu mengusik sadar Warna. Akhirnya, kendati baru selangkah, tetapi Warna berhasil menyentuh sisi kelam anak muridnya itu.

"Bodoh!" Masih dalam posisi yang sama, Faran mengumpat pelan.

Warna tak ingin memutus cepat-cepat. Kali ini, ia hanya akan menjadi pendengar yang baik, sebagaimana biasanya.

"Harusnya aku tahu kalau sejak awal, Ayah tidak pernah menyayangiku. Alasannya bercerai dengan Bunda, alasannya pergi jauh dariku, alasannya tidak juga menemuiku, adalah karena dia memang tidak pernah benar-benar menyayangiku. Aku … bukan hal terpenting untuk hidup orang yang paling penting dalam hidupku."

Susunan kalimat yang terurai, tak hanya menusuk gendang telinga Warna, tetapi juga menusuk sadis perasaannya. Ia sadar betul, orang yang tengah Faran bicarakan adalah seseorang yang---mungkin masih---berarti juga dalam hidupnya. Wira Aagha Fidan.

"Ayah bilang, kita akan nonton bareng malam ini. Tapi, dia tidak datang padahal aku udah nunggu lama." Faran mengeluarkan sesuatu dari balik saku outfit biru pastelnya. Dua tiket bioskop.

Karena tak jua datang menemuinya, Faran berinisiatif mengirim pesan lebih dulu kepada Wira. Meminta temu malam ini. Saat Wira akhirnya membalas pesannya, menyetujui pertemuan mereka dan bilang akan bertemu di bioskop untuk menonton film horor terbaru, Faran sangat bahagia sampai diam-diam ia menyelinap keluar rumah sakit. Padahal, setelah kumat tadi siang, ia masih membutuhkan pengawasan dokter.

Akan tetapi, perjuangannya sama sekali tidak membuahkan hasil. Ia tetap tidak bisa bertemu dengan ayahnya. Wira benar-benar tidak ingin menemuinya. Sebanyak apa pun Faran mencoba berpikir positif tentang si Ayah, kenyataan yang ada tetap tak bisa dipungkiri. Kenyataan kalau ada hal yang jauh lebih penting dari dirinya di hidup Wira, sehingga pria itu benar-benar tak bisa menemuinya walau hanya sekali, sungguh menjadi tombak paling tajam yang dengan sadis menusuk relung hati yang terdalam.

Benar kata Tera, ia memang makhluk paling sial!

Warna masih menahan semua kata yang ia punya dalam dada. Secuil hatinya menyimpan rasa bersalah kini. Pertemuannya dengan Wira beberapa saat lalu membuat ia berpikir kalau baru saja ia mencuri waktu Wira yang begitu Faran harapkan.

"Faran … marah sama Ayah?" Warna bertanya hati-hati, selagi tangannya mengusap pelan punggung anak didiknya itu.

Faran menggeleng.

Sesaat Warna menghimpun udara positif dalam dadanya. Tentu saja ia tahu kalau Faran berbohong. "Mengaku saja dulu. Kalau enggak bisa mengaku pada orang lain, ngaku aja sama Tuhan dan diri kamu sendiri. Coba bilang, 'Tuhan … aku lagi marah'. Dengan begitu, perasaan kamu bisa sedikit membaik."

Faran menegakkan tubuhnya. Menghapus air mata dan menatap perempuan di sampingnya, selagi parau ia berujar, "Aku marah banget sama Ayah."

Senyum tipis Warna terulas kontan mendengar hal itu.  "Marah, sedih, takut, itu semua sudah menjadi bagian dari diri manusia. Jadi, kalau Faran mau marah sama Ayah, enggak apa-apa. Mau bersedih juga enggak apa-apa. Tapi, enggak boleh lama-lama. Karena berlama-lama dalam kemarahan dan kesedihan itu adalah sebuah kerugian." Sesaat Warna terenyuh kala seluruh fokusnya terpusat penuh tepat di bola mata Faran. Entah kenapa, ia merasa jiwanya begitu dekat dengan sosok itu.

"Sejak awal, Ibu tahu kalau kamu ini istimewa. Ayahmu akan menyesal mengesampingkan anak sehebat dirimu."

Tak ada respons dari Faran. Mengundang hening di antara mereka untuk beberapa saat.

"Karena belum sempat menunjukkan segala keistimewaan yang aku miliki pada ayahku, aku pikir ..." Faran mengarahkan tatap ke atas gelapnya horizon yang pekat. Waktu semakin merangkak menuju malam. Udara semakin dingin, serentak memeluk tubuh dan jiwanya. "... aku enggak mau jadi anak yang baik."

"Kenapa?" tanya Warna tak paham.

"Soalnya orang-orang baik itu selalu lebih cepat dipanggil sama Tuhan. Aku selalu enggak siap untuk itu. Tapi, kalau itu yang bisa bikin dia menyesal, aku ingin menjadi anak baik sekarang."

"Faran ...."

"Aku enggak berharap Ibu memperjuangkanku kembali ke sekolah. Tapi, satu hal yang ingin aku kasih tahu ke Ibu. Soal pertengkaranku dengan Dito, kejadian yang sebenarnya itu ...."

***

Senang sebab berhasil menggoda Rean, si resepsionis cantik di rumah sakit milik keluarganya, Faran berjalan melewati lorong rumah sakit sambil tertawa-tawa sore itu. Tawanya kemudian memudar kala tubuhnya menabrak seseorang di belokan lorong bangunan bernuansa putih itu. Begitu tahu siapa yang baru saja bertabrakan dengannya, bola mata Faran berputar kontan. Mendelik tak suka.

"Sial banget gue ketemu lo di sini." Dito mengumpat. Membuang muka kesal.

"Enggak ketemu gue juga, orang munafik kayak lo hidupnya pasti sial." Faran berdecak. Tak ingin terlalu berurusan dengan teman sesekolahannya itu, Faran bergegas melewati Dito. Hubungan mereka tak cukup dekat, jadi tidak ada alasan untuk Faran bercengkerama lama-lama dengan laki-laki itu.

"Gue denger, lo bajak semua akun sosmed Tera. Saking frustrasi diputusin, lo sampai bertindak nekat sejauh ini."

Langkah Faran terhenti. Kembali, ia membalikkan badan. Tatap meremehkan yang selalu Dito arahkan kepadanya, Faran balas dengan tajam dan menusuk. "Pas pacaran sama gue, Tera bahkan dengan terbuka kasih tahu semua password sosmed yang dia punya. Apa yang gue lakukan sekarang, jelas antisipasi seandainya dia tanpa sadar bertindak bodoh dengan melakukan hal yang sama dengan pacar barunya. Orang munafik kayak lo bisa jadi lakukan yang lebih nekat dari gue."

Kedua tangan yang menggantung di kedua sisi tubuhnya itu terkepal. "Bilang aja lo sirik karena akhirnya lo putus dari Tera dan dia jatuh juga ke dalam pelukan gue. Lagian, cewek paling buruk di dunia ini pun enggak pantas buat orang brengsek kayak lo. Brutal, urakan, trouble maker, dan …" Dito menggantung kalimatnya, berjalan selangkah lebih dekat dan berdiri di hadapan Faran. "… apa jadinya kalau semua orang tahu kalau lo itu make?"

Susunan kalimat yang meluncur dari mulut Dito membuat Faran refleks mendorong tubuh di hadapannya dengan cukup kuat, sehingga Dito mundur beberapa langkah ke belakang. "Lo enggak tahu apa-apa, sialan!"

"Sayangnya gue tahu apa yang enggak orang tahu dari lo, Faran."

Faran mendengkus sebal. Sungguh, hal yang paling dibencinya adalah orang-orang yang bersikap 'sok paling tahu'. Manusia bahkan kadang tidak mengerti tentang dirinya sendiri dan kadang hanya dimengerti oleh Tuhan, tetapi selalu saja ada orang yang menilai seseorang seolah yang paling mengerti tentang orang itu.

"Tenang saja …." Dito kembali berujar. "Gue enggak bakal bocorin aksi lo ngobat di toilet sekolah waktu itu, asal lo kasih tahu password sosmed milik Tera sama gue."

Salah satu alis Faran terangkat.

"Lo udah bukan siapa-siapa Tera lagi. Jadi, kenapa lo harus repot-repot lindungi akun cewek itu dari gue? Lo masih mencintainya?"

Panjang, Faran menarik napas. Memang, harusnya jika bukan karena Dito, hubungannya dengan Tera mungkin masih baik-baik saja. Seandainya saja Dito tidak memprovokasi Tera, menuduh kalau ia berselingkuh dengan cewek lain, Tera mungkin tidak akan memutuskannya. Tera mungkin masih menjadi gadisnya saat ini.

"Gue heran, deh. Kenapa, sih, lo pengen tahu banget password sosmed Tera?"

"Karena gue pacarnya."

"Yang katanya anak IPA, jenius kimia dan fisika, mikir bisa dong gimana caranya retas akun orang, jangan ngemis sama gue kayak gini."

Dengkus kesal Dito mengudara.  "Lo sama mantan cewek lo itu sama saja. Sama-sama menyebalkan. Untungnya, kalau bukan karena taruhan sama temen-temen gue buat permaluin cewek sialan itu, gue ogah perjuangin cewek sok jual mahal kayak dia," tukas Dito seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Mengotak-atiknya sebentar sebelum menunjukkan sesuatu ke hadapan Faran.

"Tadinya, kalau gue bisa masuk akun sosmed mantan cewek lo, gue bisa posting foto itu di akunnya sendiri dan bikin dia terkesan mempermalukan diri sendiri. Tapi, karena lo udah lebih dulu bajak akunnya, yaudah … gue bisa bikin akun lain buat posting foto itu di Forum Diskusi Siswa."

Faran tadinya ingin tertawa saat tahu kalau Dito ternyata berbohong soal hubungannya dengan Tera. Lagi pula, sejak awal ia sangsi kalau Tera bisa dengan mudah membuka hati untuk laki-laki lain.

Akan tetapi, melihat gambar yang terpampang di balik layar ponsel itu yang baru saja Dito tunjukkan, seketika membuat tawa Faran kembali terkulum dalam mulut.  Mendadak jiwa malaikat maut dalam diri Faran muncul. Laki-laki itu berniat merampas ponsel dalam genggaman Dito, tetapi si pemilik ponsel jauh lebih cekatan. Secepat kilat, Dito memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantong celananya.

"Lo, kalau macam-macam sama Tera, gue pastiin hidup lo enggak akan pernah tenang!" ancam Faran. Ia meraih kerah baju Dito.

"Tenang aja, Faran. Sebelum hancurin hidup Tera, gue pasti lebih dulu hancurin hidup lo."

***

"Tolong jangan kasih tahu Tera dulu soal ini."

"Awas saja kalau anak itu berani-berani ganggu Tera, Ibu enggak akan tinggal diam." Amarah mendadak merambati  tiap jengkal tubuh Warna kala Faran menyelesaikan ceritanya. Di samping tidak percaya kalau adiknya sudah tumbuh dewasa, sudah berani berpacaran, bersama Faran pula.

"Keputusanku membajak akun Tera ternyata enggak salah. Tera mungkin terlihat begitu tertutup, tapi terkadang ia begitu mudah memercayai orang lain." Faran menarik napas panjang. Selagi tangannya mulai sibuk memeluk tubuhnya sendiri. Dingin mulai terasa menusuk kulit. Ia heran kenapa Warna terlihat biasa saja padahal perempuan belasan tahun di atasnya itu bahkan menggunakan pakaian yang lebih tipis darinya.

"Makasih udah lindungi Tera. Juga …" Jeda. Warna biarkan tangannya terparkir di bahu Faran. Menatap mata sayu Faran dengan penuh haru. "Makasih udah belain Ibu di Forum Diskusi Siswa." Pengakuan Faran tentang ia membajak akun Tera menarik seluruh kesimpulan, tentang kenapa Tera bilang kalau bukan ia yang membalas semua komentar buruk di Forum Diskusi Siswa.

. Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top