XV | Haruskah Merasa Bahagia?
WARNA tidak tahu apa alasan Juan mengajaknya bertemu malam ini. Padahal, suasana hatinya yang tengah dikawani awan mendung membuatnya malas melakukan banyak hal. Warna bahkan menghindari percakapan dengan Sabit dan Tera juga Yeyen selama di rumah.
Selepas pulang dari sekolah, Warna hanya sibuk mengurung diri di kamar. Menenggelamkan diri dalam buaian bunga tidur.
Berharap saat terbangun segala permasalahan hidupnya menghilang, atau paling tidak, ia terbangun di dunia lain yang jauh lebih baik.
"Jadi ada apa?" tanya Warna. Mendudukan diri tepat di hadapan lelaki ber-sweater hitam. Jika dipikir lagi, pakaian yang Juan kenakan selalu berwarna monokrom. Jika tidak hitam, ya ... putih.
"Kamu sudah menyerah dengan Faran?" Alih-alih menjawab, Juan melempar tanya lain.
Warna mengangkat bahu. "Harusnya aku enggak usah peduli. Toh, Om sama orang tuanya aja enggak peduli." Warna tidak ingin menyerah, tentu saja. Ia masih ingat tugasnya sebagai guru BK. Namun, setiap kali diingatkan dengan benang permasalahan hidupnya yang tengah kusut, membuat Warna enggan memikirkan hal lain untuk sementara ini.
Untuk sesaat hening tercipta antara keduanya. Warna sibuk menyeruput teh hijau yang Juan pesankan, sementara Juan tampak fokus dengan ponselnya.
"Aku tahu, kamu mungkin punya permasalahan hidup yang rumit. Tapi, tolong jangan menyerah dengan anak-anak." Juan menyodorkan ponselnya ke hadapan Warna. Menyuruh si perempuan membaca apa yang ada di baliknya.
Ragu, Warna meraih ponsel seri itu. Seketika, kala netranya menangkap apa yang tertulis di balik layar enam inci itu, mendadak membuat musim semi dalam dada Warna muncul. Ia tidak menyangka ada sebagian dari anak-anak Yuasa yang masih berdiri di pihaknya. Tanpa sadar, air mata Warna menetes. Terlebih ketika nama akun Tera Alora dengan berani membalas satu per satu komentar buruk di Forum Diskusi Siswa itu. Di balik sikap dinginnya, ternyata Tera masih menyimpan perhatian padanya.
"Walaupun masih ada saja yang berkomentar buruk tentangmu, tapi setidaknya ada yang percaya kalau kamu itu guru yang baik."
Warna tidak terlalu mengindahkan perkataan Juan. Ia mengetik pesan kepada Tera. Berniat berterima kasih kepada si Adik. Tak butuh waktu lama, ponsel Warna berbunyi. Tera gesit membalas pesannya.
Tera
| Bukan aku, Mbak.
"Walaupun aku membencinya, tetapi itu bukan berarti aku setuju kamu menyerah dengan anak itu."
Sesaat, Warna mengerutkan kening bingung dengan pesan balasan Tera. Namun, pernyataan yang baru saja lolos dari lisan Juan, membuat seluruh perhatian perempuan itu teralih kontan. Dalam, ia menatap Juan. Mencoba membaca apa yang sebenarnya lelaki minim ekspresi itu pikirkan.
"Aku tahu, kamu tidak benar-benar membenci Faran, Juan." Senyum miring Warna tersemat. Ia menyodorkan ponsel di hadapannya kepada pemiliknya.
***
"Jadi benar, kamu sudah berpaling sama adikku, Warna?"
Langkah Warna pun Juan yang baru saja melewati pintu kafe kontan terhenti kala sebuah tanya itu menyentuh halus pendengaran. Keduanya lantas berbalik dan menatap Wira yang kini tengah berdiri dengan kedua tangan terbenam ke dalam saku jaketnya, menatap Warna dan Juan dengan sorot mata yang tak terbaca kata.
"Adik?" Warna mengangkat alis, refleks menatap Juan yang kini berdiri di sampingnya. "Ah ...." Ia bahkan baru sadar dengan hubungan yang ada. Saat Juan bilang kalau ia Omnya Faran, ia tidak berpikir kalau Juan adalah adik dari mantan kekasihnya.
"Aku mungkin bisa menahan rindu. Tapi, jangan berpikir kalau aku bisa menahan cemburu, Warna." Wira biarkan langkahnya menghapus spasi yang ada di antara mereka. Kemudian berdiri tepat di hadapan satu-satunya perempuan di antara mereka.
Mendengar kata-kata Wira, Juan mendengkus. Menyungging senyum sarkasme andalannya. Sementara Warna hanya memutar bola mata, menatap hal lain selain mata teduh Wira. Sebuah fakta yang tak bisa Warna pungkiri, sedari dulu Wira tidak jua berubah. Segala hal kecil yang lelaki itu lakukan memang selalu sukses membuatnya berdebar.
"Kamu merasa pantas mengatakan hal itu setelah apa yang kamu lakukan tujuh belas tahun yang lalu, hm? Harusnya jika kamu manusia, kamu merasa malu untuk berdiri di sini, bahkan di dunia ini." Melihat gelagat salah tingkah Warna, membuat Juan tidak tahan untuk mengungkap kata-kata sinis itu.
Mata Wira berotasi, menatap Juan dengan datar. Sejujurnya, tidak ada yang paling memahami Juan selain dirinya. Sebab itu, sedikit pun Wira tak merasa tersinggung dengan apa yang Juan paparkan. "Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk bersiap-siap, Juan. Bersiap-siap menerima kalau sampai detik ini, wanita yang kamu damba ini masih menyimpan namaku dalam hatinya."
Juan berdecak. "Tapi, kudengar lamaranmu ditolak."
"Bukan ditolak, dia hanya ingin memastikan Faran kembali ke Yuasa terlebih dahulu sebelum memutuskan segalanya."
"Maka memohonlah kepadaku agar aku mengembalikan anakmu ke sekolah!"
Perdebatan antara kedua lelaki di hadapannya, membuat Warna berulang kali menghela napas. Ingin ia memaki keduanya. Namun, dengan berlaku demikian, Warna hanya akan terlihat sama kekanakannya. "Kalian ... urus saja urusan kalian. Aku akan pulang, dan jangan berpikir untuk mengantarku!" Karenanya, tanpa ingin peduli dengan kedua lelaki itu, Warna sesegera mungkin mengambil langkah cepat. Meninggalkan tempatnya. Meninggalkan Juan dan Wira yang hanya bisa mematung melepas kepergiannya.
Apa aku harus bahagia dengan ini semua? Warna membatin.
***
Saya
| Gue doain lo sial seumur hidup lo karena udah sembarangan pake akun orang lain.
Faran
| Asal tahu saja, hidup gue udah sial karena enggak bisa lihat lo.
| sekarang makin Sial karena kangen banget sama lo.
Saya
| Lo emang sialan!
Dengan mata berkilat marah, Tera melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Kesal. Ia sudah melupakan siapa orang yang sudah membajak semua akun sosial medianya beberapa hari terakhir ini. Toh, ia pun sangat jarang berseluncur di dunia maya. Namun, pesan dari Warna yang ia terima beberapa saat lalu, membuat Tera kembali teringat dengan hal itu.
Dengan modal meminjam akun Sabit, gadis kelas dua SMA itu masuk ke Forum Diskusi Siswa dan membaca semua balasan komentar yang di-posting atas nama akunnya. Bagimana caranya membalas komentar-komentar jahat itu, membuat Tera menarik kesimpulan kalau orang yang sudah membajak akunnya itu benar-benar Faran.
Ah, sejak awal ia memang yakin kalau itu Faran. Karena sedari awal, memang tidak ada orang yang tahu banyak tentang dirinya selain laki-laki itu.
Kembali, Tera menyambar ponselnya. Membaca sekilas pesan balasan dari Faran.
Faran
| Lo bener, gue emang makhluk paling sial di muka bumi ini!
Sebentar, Tera mengernyit membaca pesan balasan itu. Namun tak ingin terlalu peduli kenapa mendadak Faran terkesan emosional, Tera segera mencari nomor Warna. Faran membuat mood-nya mendadak buruk, dan ia perlu sesuatu yang bisa memperbaiki suasana hatinya saat ini.
Saya
| Mbak, beliin Cadbury yang gede, dong.
***
Warna hendak mendorong pintu minimarket saat wajah di balik pintu kaca itu terekam lensa mata. "Faran?" desis Warna bergegas keluar sebelum Faran masuk.
"Eh, Ibu?" Seperti biasa, selalu saja senyum polos itu yang Faran tunjukkan setiap kali berpapasan dengan si guru. Membuat Warna jadi gemas sendiri, tidak mengerti kenapa anak yang selalu terlihat rebel di sekolah bisa menggemaskan seperti ini di luar sekolah. "Ibu ngapain malam-malam di sini?" tanyanya.
"Kamu yang ngapain malam-malam di sini?" Warna menepuk lengan Faran dengan agak keras sehingga laki-laki dengan outfit biru pastel itu meringis. Warna baru saja hendak pulang selepas pertemuannya dengan Juan dan-tanpa disangka-juga dengan Wira. Hanya saja, pesan Tera membuat perempuan itu akhirnya terpaksa mampir dulu ke minimarket.
Urung menjawab, Faran justru mengedarkan pandangannya ke arah kantong belanjaan Warna. Samar ia melihat cokelat Cadbury di balik plastik putih yang warna jinjing. "Titipan Tera ya, Bu?" tanyanya, sekadar berbasa-basi lantaran ia pun tidak tahu harus menjawab tanya Warna dengan jawaban apa.
"Kok tahu?" Sebelah alis Warna berjungkit. "Kamu tahu kalau Tera adiknya Ibu?"
Faran mengangguk. "Aku kira karena Ibu kakaknya Kak Sabit, berarti Ibu kakaknya Tera juga," jelas Faran. Ia mengusap belakang kepalanya. Nyengir lebar.
Sejemang, Warna biarkan matanya menatap muridnya itu dengan intens. Ada yang aneh dengan anak laki-laki itu. "Kamu baik-baik aja?" Selain raut pucat yang tergambar, jelas Warna bisa melihat mata Faran tampak sembab. Faran tidak bisa menyembunyikan hal itu dari Warna saat ini. Semuanya terekam penuh oleh lensa mata. Raut ceria yang Faran tunjukkan beberapa detik yang lalu hanya dibuat-buat.
"Ah, aku lupa mau beli sesuatu."
"Faran!" Warna mencekal pergelangan tangan anak laki-laki itu. Menahan Faran yang hendak menarik pintu minimarket. Kali ini, Warna ingin memastikan tak ada hal apa pun lagi yang Faran sembunyikan darinya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top