XIX | Masih Tentang Faran
"Soal perasaanku, kamu pikir aku ini becanda, Warna?"
Panjang, Warna menarik napas. Tak lalu menanggapi pemaparan laki-laki tinggi di hadapannya. Apa yang terjadi di sekolah beberapa saat lalu membuat pikirannya ruwet. Warna tak bisa berpikir banyak, sebab ia sendiri tengah sibuk menata hati yang nyaris dikuasai bermacam emosi negatif.
"Warna Pelangi, kita bukan lagi anak-anak, kamu ingat? Kita sudah sama-sama dewasa dan aku yakin---"
"Padahal anak-anak sudah setuju kalau Faran kembali ke Yuasa," tutur Warna selagi membiarkan wajahnya terbenam di balik kedua telapak tangannya. Tak benar-benar peduli dengan topik yang tengah Wira bahas. Saat ini, jiwanya masih berkeliaran di kejadian beberapa saat lalu. "Tapi, sekarang malah aku yang diminta minggat dari Yuasa."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Wira meraih tangan Warna untuk dibawanya dalam genggaman hangat. Terhenyak sesaat kala melihat air mata wanita itu berlinang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Wira melihat lagi bagaimana perempuan yang paling disayanginya itu menangis.
Dengan cepat, Warna menghapus air matanya. Selagi buru-buru menarik tangannya dari genggaman tangan Wira. Sejujurnya, hangatnya sentuhan Wira membuat perasaanya sedikit lebih tenang. Sebenarnya pula, ia percaya kalau Wira serius ingin melamarnya. Namun, setelah kejadian kemarin, Warna takut menorehkan luka di hati Faran seandainya ia menyetujui lamaran itu.
"Aku sebenarnya penasaran kenapa kamu begitu peduli dengan Faran." Hela napas Wira mengudara.
"Aku sendiri enggak yakin. Tapi, aku rasa karena Faran itu anakmu." Warna memutar bola mata, mengamati lalu lalang orang-orang yang tengah menikmati suasana taman kota sore ini.
Jawaban Warna yang tak Wira sangka, seketika membuatnya membisu.
"Sekarang, aku yang penasaran kenapa kamu terlihat tidak begitu peduli dengan anakmu sendiri. Saat tahu kamu tak mengacuhkan Faran, aku sedikit kecewa. Saat melihat Faran menangis kemarin malam karena kamu tidak menepati janji untuk nonton bersamanya, aku berpikir kalau kamu bukan lagi Wira yang kukenal. Aku hanya yakin, orang yang kucintai tidak mungkin bersikap keterlaluan terhadap anaknya sendiri."
Sesaat Wira biarkan pandangannya tertunduk, menatapi sepatu kets putih kusamnya. Mendung seketika bergelayut manja di balik paras rupawannya. Sedikit tidak menyangka kalau Faran benar-benar sedih karenanya.
"Seperti yang kamu bilang, kita bukan lagi anak-anak. Kita harusnya lebih dewasa dalam menghadapi anak-anak semacam Faran."
Kembali Wira mengangkat kepalanya, menoleh cepat ke arah perempuan di sampingnya. "Aku ingin memberitahu kamu sesuatu, Warna. Tapi, aku harap kamu tidak membocorkan masalah ini kepada Juan." Angin sore yang berhembus membuat suasana mendadak jadi lebih melankolis. Memaksa Wira kembali menarik diri ke kejadian yang membuatnya harus menelan banyak pil pahit kehidupan selama beberapa waktu.
"Kenapa dengan Juan?"
"Tepat di hari itu, saat aku memutuskan hubungan kita, Juan sedang sakit parah. Kesempatan hidupnya sangat tipis, dan satu-satunya jalan untuk membuatnya tetap hidup adalah dengan melakukan operasi. Kondisi keluargaku waktu itu begitu pas-pasan. Kita tidak mampu membayar biaya operasi itu, sementara Juan membutuhkan penanganan segera." Jeda, selagi embus napas letih Wira mengudara. Terbang. Menarik segala kisah masa lalu dalam cerita hari ini.
Di tempatnya, Warna larut dalam bungkam. Tak sangka ia akan mendengarkan kebenaran yang sesungguhnya setelah tujuh belas tahun terlewati.
"Saat keluarga Inggit menawarkan sebuah kesepakatan, berat untukku menolak. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa kehilangan Juan begitu saja."
Melihat nestapa yang mendadak hinggap di wajah tampan Wira, Warna tak tahan. Ia memalingkan muka ke arah lain. Entah kenapa, kenyataan yang sebenarnya terasa menampar sadis relung hatinya. Kenapa dulu ia tidak diizinkan mendengar alasan yang sesungguhnya sehingga ia harus menanggung banyak luka hingga saat ini.
Wira hanya tidak tahu, saat laki-laki itu mengguratkan luka di dadanya, luka karena kehilangan Sega yang dirasanya belum sepenuhnya mengering, sehingga nyeri yang Warna rasa berkali-kali lipat rasanya, membekas hingga saat ini.
"Aku mengambil tanggung jawab untuk Faran hanya untuk Juan. Pada kenyataannya, aku tidak tahu Faran itu anak siapa. Faran bukan anakku."
Cepat, Warna kembali menoleh ke arah Wira. Mendadak, ia begitu ingin memeluk sosok itu.
***
"Jadi, menurut kamu adikku itu berbohong?"
Memang, salah Warna terlalu cepat mengambil langkah ini. Ia sangka, sebab sama-sama belajar bagaimana cara memahami manusia, Rere bisa lebih mengerti daripada yang lainnya, Rere akan jauh lebih bijak saat tahu kebenaran perihal kasus Faran dan Dito. Namun, pada kenyataannya tak demikian. Sinis, Rere menanggapi dirinya. Tatap antipati terhadapnya kini justru terlempar dengan begitu sadis.
"Aku tidak bilang adikmu bohong. Aku kira ini hanya kesalahpahaman, Re. Rasanya ini tidak adil untuk muridku yang lain. Sebagai guru BK Dito dan juga Faran, aku harus mengambil jalan tengah agar keduanya tidak dirugikan."
"Setelah adikku bonyok dan nyaris tewas, kamu pikir ini tidak adil? Masih untung aku tidak menyeretnya ke penjara juga."
"Re, permasalahan Dito dan Faran ini adalah hal wajar untuk anak-anak seusia mereka. Aku pikir kamu juga tahu bagaimana cara menghadapi hal-hal seperti ini. Kita selalu diajarkan untuk memahami segala permasalahan dari berbagai sisi, Re."
Rere mendengkus kesal. Sedikit membanting pena yang tengah digenggamnya ke atas meja kerjanya. "Kamu benar-benar terkesan meremehkan pengetahuanku. Kamu berpikir kalau aku tidak cukup pintar mengatasi masalah seperti ini? Terus, kamu berpikir kalau kamu yang paling bisa memahami dan memecahkan masalahan ini, gitu?"
Mendengar untaian kalimat Rere, tubuh Warna mendadak menegang. Ruangan serba putih tempat Rere melayani para pasien konselingnya, seketika dirambati aura pengap. Tiba-tiba saja Warna merasa sesak menghujam dadanya. Ia tidak ingin hubungannya dengan Rere pecah sebab masalah ini, tetapi Rere tampak tak cukup tenang untuk membuat segalanya lebih baik.
"Aku enggak mau bahas soal ini lagi, Na. Kesepakatannya sudah jelas. Pihak sekolah mengeluarkan murid itu dan keluargaku tidak melapor polisi, kan? Kalau kamu masih mengungkit masalah ini, aku akan meminta pihak sekolah untuk mengeluarkanmu juga."
Warna tidak menyangka kalau teman yang ia anggap teman terbaiknya itu begitu egois. "Baiklah, terserah kamu saja, Re." Warna bangkit. Ia tidak ingin masalah semakin runyam dengan memperpanjang perdebatan yang ada. Sebabnya dengan hati yang sedikit dongkol, Warna meraih tasnya dan segera berjalan keluar ruangan. Meninggalkan Rere yang juga tengah diliputi amarah.
"Kamu Warna, kan? Warna Pelangi?"
Warna terkesiap tatkala lima langkah kakinya menjauhi ruangan Rere. Penasaran siapa yang baru saja melempar tanya, perempuan itu membalikkan badan guna memastikan. Sedikit terkejut saat melihat sosok yang kini memenuhi bola matanya.
***
Inggit tampak begitu keren dengan snelli dan stetoskop yang menggantung di lehernya. Bagaimana caranya berbicara dan bersikap sungguh begitu anggun. Dalam pandangan Warna yang perempuan saja, Inggit tampak begitu cantik dan mengagumkan.
Warna heran kenapa Wira harus melepaskan Inggit padahal perempuan yang saat ini tengah menikmati White coffee di hadapannya itu terlihat begitu sempurna ditilik dari sudut manapun. Sesempurna ruangan kerjanya yang luas dan nyaman, tempat mereka berbincang saat ini.
"Omong-omong, kabar Faran gimana?" Warna melepas tanya lebih dulu.
"Lah, kamu kenal anakku?" Inggit melepas stetoskop yang baru ia sadari masih menggantung di lehernya, menjejalkannya ke dalam saku snelli sebelum menatap Warna dengan mata setengah menyipit.
"Saya guru BK Faran." Warna kira Inggit sudah tahu, tetapi ternyata tidak demikian.
Sebenarnya, pernah beberapa kali Inggit mendapat panggilan dari Warna, tetapi karena alasan sibuk dengan pekerjaan, dan juga permintaan Faran untuk tak memenuhi panggilan itu, membuat Inggit tak pernah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan si guru BK. Tak ia sangka kalau orang itu adalah Warna. Sekarang, ia tahu alasan kenapa Wira tak keberatan saat ia meminta mantan suaminya itu mewakili panggilan dari sekolah beberapa waktu silam.
"Kurasa ini begitu kebetulan. Atau, Tuhan memang sengaja membuat skenario hidup kita seperti ini." Inggit kembali menyesap white coffee-nya. Lantas mengubah posisi duduknya lebih condong ke arah Warna.
Beberapa tahun terakhir ini, Inggit memang begitu ingin bertemu dengan mantan kekasih dari mantan suaminya itu. Ada hutang cerita yang sebenarnya ingin ia sampaikan sejak lama. Namun, Tuhan memang baru berkenan memberinya kesempatan untuk itu setelah tujuh belas tahun terlewati.
"Semua permasalahan ini bermula karena hadirnya Faran. Aku rasa, kunci utama dari permasalahan ini pun ada di Faran."
Warna tersenyum tipis. Sejak pertama Faran masuk ke ruangan BK sebab terlalu sering bolos jam mata pelajaran, sejak saat itu Warna mengenal anak itu. Dan, tiba-tiba saja ia merasa begitu tertarik. Merasa kalau ada sebuah benang yang memang sejak awal menghubungkan hubungan keduanya. Tak Warna sangka kalau Faran adalah anak dari kedua orang yang pernah menjadi bagian penting dari masa lalunya.
Benar, Warna kira itu hanya lantaran Wira yang begitu didambanya. Selalu didambanya. Namun ternyata, cerita tak usai hanya di pengakuan Wira yang sempat didengarnya kemarin. Faktanya, bagian terpenting adalah kenyataan yang Inggit kisahkan selanjutnya.
"Sebenarnya, sudah sejak lama aku ingin bertemu denganmu. Selain ingin meminta maaf untuk kejadian tujuh belas tahun lalu, ada hal penting yang ingin aku ceritakan kepadamu, Warna. Tentang Faran sebenarnya."
Warna sadar, selama beberapa hari terakhir ini topik yang selalu ia dengar pasti tentang Faran. Sampai Warna pikir, cerita ini mungkin lebih cocok diberi judul Faran Raefal saja.
"Tujuh belas tahun lalu, alasan dia memutuskan membunuh dirinya sendiri. Entah itu karena kasus kamu dengan guru olahraga, atau karena kabar kalau aku hamil anaknya, aku tidak tahu. Tapi, yang pasti, Warna, aku menikah dengan Wira tidak bermaksud untuk balas dendam. Aku---"
"Tunggu! Apa maksudmu? Siapa dia yang kita bicarakan ini?" Warna bertanya rusuh, memenggal cepat cerita Inggit. Warna sadar kalau yang mereka bicarakan ini bukan sepenuhnya tentang Faran.
Inggit memejam sejenak. Menghimpun udara dalam ruang paru-parunya. Berat rasanya menyebut nama itu, sebab sampai saat ini sosok itu selalu menjadi orang yang paling dirindukannya.
"Apa dia yang kamu maksud itu …."
"Sega, kakakmu."
"Jadi, maksud Bunda, Ayah Wira bukan ayahku?"
Baik Inggit maupun Warna seketika menoleh ketika alunan suara penuh tanya dan ketidakpercayaan itu berlabuh di telinga keduanya. Sosok Faran, dengan tiang infus yang mendampinginya, memenuhi indra penglihatan mereka kini.
"Sekarang aku paham kenapa Ayah tidak pernah terlihat benar-benar peduli padaku."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top