XIII| Konflik yang Masih Belum Usai


"IBU udah telepon juragan Dirsa. Besok dia mau ke sini buat melamar kamu. Mau enggak mau, kamu harus terima lamaran itu!"

Warna mengatupkan rahangnya kuat-kuat, selagi kedua tangannya terkepal. Kata-kata Yeyen beberapa saat lalu terus saja berputar-putar dalam kepalanya dan semakin menambah rebak dalam dada. Resah. Gelisah. Warna tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia seperti tengah berada di ujung jurang terdalam, siap terjerumus tanpa bisa berbalik untuk menyelamatkan diri.

Sebagai anak yang paling tua, Warna merasa bertanggung jawab untuk kehidupan keluarganya. Memang, ibunya sudah cukup tua untuk menanggung beban yang berat seperti ini. Harusnya, di masa tuanya si Ibu menyicip dan menikmati bahagia. Namun, karena ia tak cukup berguna, di usia senjanya wanita tua itu harus hidup menderita.

"Ayah ... Kak Sega ... kalian tega bikin aku nanggung semua kesedihan ini sendiri. Harusnya, jika kalian masih ada, hidupku enggak akan sekacau ini." Warna biarkan tatapnya terpusat pada langit malam yang gelap. Berharap bisa bercengkrama dengan mereka yang lebih dulu tiada, dan mengadukan segala gundah yang menghimpit dadanya.

Jika dipikir lagi, hidupnya tidak pernah baik-baik saja setelah kedua jagoannya pergi lebih dulu menghadap Tuhan. Orang-orang hebat yang dulu selalu berada dalam barisan depan untuk menjaga dan melindunginya. Menjadikan kebahagiaannya prioritas utama dalam hidup mereka. Kini, mereka tak ada lagi di sisinya. Kendati perlahan mulai terbiasa, tetapi di saat-saat sulit seperti ini kadang hanya mereka yang Warna pikirkan.

"Warna?"

Warna terkesiap. Berhenti menatap gelapnya langit malam dan refleks menoleh ke arah sumber suara. "Juan?" Wajah lelaki bermata bulat itu terekam lensa mata.

"Ngapain?" tanya Juan, menilik Warna dengan intens. Piyama Hello Kitty yang melekat di tubuh sintalnya, membuat Warna tidak terlihat seperti wanita tiga puluh dua tahun.

Sadar Juan memperhatikan dirinya, warna merah melukis diri di pipi tembemnya seketika. Salting, ia menunjukkan kantong plastik putih yang tengah ia jinjing. "Beli obat," ungkapnya kemudian.

"Kamu sakit?"

Warna menggeleng. Ia bisa melihat mata bulat Juan mendadak menyorot khawatir. "Buat adikku." Saat giliran jaga toko, Sabit tidak datang. Yeyen bilang, Sabit diserang demam tinggi. Mungkin efek luka-luka di sekujur tubuhnya. Karena Yeyen harus menggantikan Sabit jaga toko, alhasil Warna yang harus merawat adiknya itu.

Angguk mafhum Juan layangkan. "Omong-omong, gimana? Kamu berhasil bertemu dengan orang tua Faran?"

Warna menggeleng lemah. "Aku enggak mau terlalu buru-buru menyimpulkan. Tapi, kayaknya Faran ini agak kurang perhatian. Pas aku datang ke sana, dia lagi sakit dan enggak ada satu pun yang nemenin. Tapi, Juan ...." Warna menoleh cepat ke arah lelaki berkaos hitam di sampingnya. "Kamu harus tahu kalau Faran itu tidak seburuk yang kita bayangkan. Enggak kayak di sekolah, dia itu sopan, ramah, juga punya banyak talenta yang rasanya sayang sekali kalau pihak sekolah dengan begitu saja mengelu—"

"Aku udah tahu semuanya."

"Maksud?" Sebelah alis Warna terangkat.

"Aku Omnya Faran," tukasnya.

Mendengar pemaparan Juan, mata Warna sontak melebar. "Kamu Omnya Faran?" tanya Warna setengah tak percaya. "Kalau kamu Omnya, kenap—"

"Aku lumayan tahu banyak tentang Faran. Dia baik, ramah, asyik, berbakat. Tapi ... aku enggak menyukainya," pangkas Juan memutus segala ketidakpercayaan perempuan yang kini duduk bersisian dengannya.

"Kenapa?" tanya Warna. Sedikitnya, ia merasa kesal mendengar kebenaran yang didengarnya. Jika Juan adalah Paman dari Faran, harusnya ia tidak perlu repot-repot mengorek terlalu banyak informasi tentang anak didiknya itu. Lagi, kenapa Juan harus bersikap sekeras itu terhadap keponakannya sendiri?

"Aku enggak ingin berpikir picik, tapi tetap saja aku selalu menganggap kalau Faran sudah merebut begitu banyak kebahagiaan orang lain." Masa itu, ketika ia dan keluarganya begitu bergantung pada Wira, kakaknya. Ketika Wira jadi satu-satunya harapan mereka, bayi dalam kandungan Inggit memaksa Wira mengambil keputusan terberat. Keputusan Wira untuk melepas mimpi dan semua cita-citanya tak hanya menjadi luka untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua anggota keluarga termasuk Juan. Kendati itu bukan salah Faran, tetapi hati kecil Juan selalu membenci anak itu bahkan jauh sebelum Faran lahir ke dunia ini.

Warna tidak lagi menanggapi. Bahagia. Kata itu adalah satu hal yang bergitu Warna rindukan akhir-akhir ini. Ke mana bahagianya pergi belakangan ini?

"Kurasa, karena adanya Faran, kamu juga merasakan penderitaan yang sama. Iya, 'kan, Warna?" tanya Juan, yang refleks membuat kening Warna berkerut dalam.

***

Saat Wira meninggalkannya, Warna tidak berpikir siapa yang salah sehingga cintanya harus kandas begitu saja. Inggit atau pun Wira, Warna tidak menyalahkan keduanya terlebih itu bayi yang Inggit kandung kala itu, sebagaimana yang Juan lakukan.

Akan tetapi, jika dipikir ulang, kisah cintanya memang tidak lagi berjalan mulus setelah hubungannya dengan Wira retak dan pecah. Ia menutup pintu hatinya untuk siapa pun, entah karena takut kembali menyicip luka, atau sebab masih ada rasa yang tertinggal untuk sosok itu.

Mendadak, Warna berpikir, seandainya dulu hubungannya dengan Wira tak berakhir, apa hidupnya akan tetap sekacau saat ini?

Seandainya dulu Wira tidak menghamili Inggit dan menikah dengan perempuan itu, apa orang yang saat ini duduk di hadapannya, tetap berstatus sebagai wali salah satu muridnya?

"Walaupun sudah bercerai, kamu harusnya menemui anakmu. Faran sakit dan dia dibiarkan mengurus dirinya sendiri." Cukup sarkas, Warna berujar. Selagi seluruh tatapnya terpusat enggan ke arah luar jendela kafe siang itu. Sebelumnya, ia menolak tawaran Wira untuk bertemu, tetapi kala ingat kunjungannya kemarin tak mempertemukan ia dengan Inggit, Warna akhirnya mengiyakan ajakan itu.

"Aku tidak ingin membahas Faran dulu, Warna. Ada hal lain yang ingin kubahas denganmu kali ini." Wira mencoba meraih tangan Warna yang terparkir asal di atas meja kafe. Sedikit kecewa tatkala Warna dengan cepat menarik tangannya dan menyembunyikannya di bawah meja.

"Tapi, aku ingin. Kamu perlu tahu, kepala sekolah mungkin akan mencabut hukuman drop out Faran seandainya kamu atau Inggit datang ke sekolah dan meminta untuk itu."

"Warna, bisakah kita bicara bukan sebagai guru dan wali murid saat ini? Benar-benar ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu."

Mendengar penuturan Wira, kontan saja mata Warna mengerling. Cukup tajam ia menatap sosok itu. "Apa yang lebih penting dari hidup seorang Ayah selain anaknya?" Kendatipun rasa itu—mungkin—masih tertanam, dan Warna seolah memiliki harapan saat tahu hubungan Inggit dan Wira sudah berakhir, tetapi melihat pengabaian Wira terhadap Faran, membuat Warna sedikit kecewa dengan sikap lelaki pujaan hatinya itu.

"Warna Pelangi," tukas Wira.

Warna mendengus kontan. "Enggak usah nge-bullshit! Usia kita terlalu tua untuk bersikap seperti ini."

"Itu sebabnya sebelum makin tua, terima lamaranku untuk menikahimu, Warna. Kamu tidak berpikir untuk hidup sendiri selamanya, 'kan?" Kotak perhiasan yang disodorkan tepat ke hadapan Warna adalah bukti kalau Wira tidak bercanda dengan ucapannya.

Untuk sejemang, Warna larut dalam diam. Mencoba menyerap segala maksud Wira yang semestinya membuat jantungnya berdebar. Namun, alih-alih menerima tawaran itu, Warna justru refleks bangkit dari duduknya. "Tunggu setelah aku berhasil membawa anakmu kembali ke Yuasa!" Lantas setelah itu perempuan itu membawa kakinya berayun ke arah pintu keluar. Sungguh! Segalanya terlalu tiba-tiba, Warna tidak ingin mengambil keputusan dengan terburu-buru untuk hal ini.

***

Selepas bertemu Wira dan pulang, Warna disuguhi pemandangan yang sama sekali tidak ingin Warna lihat. Melihat seorang pria tua berusia tujuh puluh tahunan duduk di sofa butut rumahnya, membuat Warna seketika menyesali keputusannya menolak Wira. Walaupun belum tentu bisa mengubah keputusan Yeyen, sebab yang ibunya butuhkan saat ini adalah pria bermateri, setidaknya Yeyen tahu kalau Warna masih cocok disandingkan dengan pria tampan macam Wira. Bukan pria tua yang saat ini tengah tersenyum dengan lebar ke arahnya.

"Bu ... kalau buat bisa bayar hutang, kenapa enggak Ibu aja yang nikah sama Kakek itu?" Warna berjalan  tegesa memasuki dapur, tempat di mana Yeyen berada saat ini. Dengan mata setengah menyorot kemarahan, Warna tatapi punggung si Ibu yang tengah menyiapkan makanan dan camilan.

"Jangan ngelantur. Ibu sudah cukup tua, enggak pantes kalau nikah lagi." Tanpa menoleh ke arah Warna, Yeyen berujar.

"Terus, apa menurut Ibu, kakek itu juga pantes bersanding denganku? Apa aku seburuk itu sampai-sampai Ibu tega jodohin aku dengan kakek-kakek?" Warna menangis. Sesuatu baru saja menggurat luka dalam hatinya. Apa yang si Ibu lakukan, jelas membuat Warna merasa tak memiliki harga diri sama sekali.

Mendengar penuturan Warna, Yeyen sedikit terkesiap. Ngilu terasa dalam sanubari sana. Bukan ini yang ia harapkan untuk masa depan Warna. Namun, hidup tetaplah hidup. Kenyataan memaksa ia berlaku demikian. "Pokoknya, mau menangis sebanyak apa pun, kamu tidak akan bisa menolak lamaran juragan Dirsa."

"Bu!" Warna menjerit. Kesedihan yang menjerat, membuat sumbu dalam dadanya tersulut.

Panjang, Yeyen menarik napas. Jeritan Warna turut menjadi luka dalam hatinya juga. "Kalau kamu egois seperti ini, Sabit dan Tera mungkin akan kehilangan masa depan mereka," ujarnya seraya melangkah cepat melewati Warna. Nampan dalam genggamannya tampak bergetar kecil, pertanda kalau ia pun cukup terguncang dengan keputusannya sendiri.

Sesaat Warna terdiam. Menghapus kasar hujan di balik sudut matanya dengan punggung tangan.

"Mbak ...." Entah sejak kapan, Sabit berada di dapur. Laki-laki dengan lebam di sekitar wajah tampannya itu tampak berjalan tertatih guna menghapus jarak antara ia dan juga si Kakak. "Aku akan berhenti kuliah. Jadi, Mbak enggak usah ...."

"Enggak usah ikut campur! Kamu enggak berhak memutuskan apa pun!" Lantas dengan lesu, Warna berjalan meninggalkan dapur. Meninggalkan Sabit yang juga sama-sama menanggung beban dan luka yang sama. Rasanya bahkan jauh lebih menyakitkan ketimbang pukulan bertubi-tubi yang ia dapatkan kemarin.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top