XII | Konflik Tanpa Jeda


"ASSALAMUALAIKUM, permisi ...."

Warna berpikir untuk kembali seandainya saja salam dan ketukan pintunya yang kelima ini tak jua mendapat respons dari pemilik rumah. Namun, suara berputarnya kunci dari dalam, mengurungkan niat perempuan tiga puluh dua tahun itu. Seraya melepas embus napas lega, Warna menunggu pintu dengan kayu terbaik itu terbuka.

"Bu Warna?" Raut terkejut di wajah pucat Faran tampak tak mampu disembunyikan.

Warna tersenyum canggung, sedikit khawatir melihat Faran yang tampak pucat dan lemas. "Orang  tua kamu ada?" tanya Warna tanpa basa-basi. Ia izin tidak datang ke sekolah untuk melakukan home visit. Guru-guru, terlebih Ema dan Junaedi,  cukup menentangnya saat tahu kalau rumah yang hendak ia kunjungi adalah rumah orang tua Faran. Namun, berkat persetujuan Juan, Warna tidak lagi peduli dengan tentangan semua pengajar.

"Katanya, sih, pagi ini Bunda pulang," terang Faran.

"Kalau gitu, Ibu tunggu di sini sampai ibumu pulang."

Faran tak punya waktu untuk memikirkan maksud dan tujuan Warna, lantaran kepalanya terasa begitu penuh saat ini. "Yaudah, tunggu di dalam aja, Bu." Faran membuka pintu lebih lebar, kode agar Warna masuk lebih dalam ke kediamannya.

Warna tersenyum tipis. Berjalan mengekori langkah Faran yang tampak lesu. "Kamu sendirian di rumah?" tanya Warna. Ia mendudukkan diri di kursi ruang tamu, tak jauh dari pintu utama yang ia lewati barusan.

Rumah tempat di mana Faran tinggal sangat besar dan luas. Warna sempat terpekur dalam takjub. Ornamen dan segala sesuatu yang ada di dalamnya bisa dipastikan adalah barang-barang mewah dan mahal. Jika kebahagiaan itu diukur dengan materi, segala kemewahan yang ada harusnya membuat hidup Faran bahagia. Namun, sayangnya tolak ukur kebahagiaan tidak dilihat dari hal-hal duniawi seperti itu.

"Tadi sama Bi Lastri, tapi kayaknya lagi pergi ke pasar. Aku ambil minum du—"

"Enggak usah, kamu duduk aja." Warna sedikit terkejut, anak laki-laki yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya, sungguh lain dengan anak laki-laki yang selalu ia hadapi di sekolah. Faran terlihat lebih sopan dan santun. Rasanya, Warna ingin memberi tahu semua pengajar yang sering mengatai Faran anak nakal, kalau anak itu tak seburuk kelihatannya.

Faran tersenyum tipis. "Bunda bilang, menjamu tamu adalah suatu keharusan." Lantas sebelum dilempari protes, Faran melangkah agak terseok ke arah dapur.

Sejak awal, bukan Warna tak menyadari gelagat aneh Faran. Ia tahu anak itu sakit. Wajah pucat dan gerak lambatnya jelas terlihat kalau anak didiknya itu sedang tidak baik-baik saja. Kemudian segalanya terbukti saat Warna mendengar suara keributan dari arah dapur, tempat di mana Faran berada. Dari dalam sana, Faran tampaknya menjatuhkan dan memecahkan sesuatu.

Mengingat tak ada sesiapa di rumah mewah itu selain ia dan Faran, Warna bergegas bangkit. Melesat ke arah di mana sumber suara berasal. Seketika itu, kala langkahnya bertepi di tempat tujuan ...

"Ya, Tuhan! Faran, kamu enggak apa-apa?!"

... Warna memekik panik. Menyerbu tubuh Faran yang tampak terduduk lemah, bersandar penuh pada kaki meja makan dengan napas yang sedikit berat. Sementara itu, di sisi tubuhnya pecahan gelas tampak berserakan. Warna berinisiatif untuk menyapunya—dengan asal—terlebih dahulu, sebelum kemudian membantu Faran bangkit.

***

"Udah enakan?"

Faran mengangguk kecil. Menempelkan botol berisi air hangat di area perutnya. "Makasih, Bu. Maaf bukannya menjamu tamu, aku malah repotin Ibu kayak gini." Warna baru saja membantunya makan dan minum obat. Juga membuatkannya hot pack dari botol guna meredakan nyeri yang ia rasa.

"Sabit punya dispepsia yang cukup parah. Kalau  lagi kumat, dia selalu minta dibikinin botol berisi air hangat buat ditempel di perutnya. Katanya itu bikin enakan." Warna ingat kalau hubungannya dengan Sabit belum membaik. Ia belum punya kesempatan untuk meminta maaf pada adiknya itu. Mendadak, Sabit juga mengingatkan Warna kalau ada beberapa hal yang perlu ia tanyakan kepada Faran.

"Ibu sama Kak Sabit saudaraan, ya?" tanya Faran selagi membenarkan posisinya menjadi duduk. Tiduran di sofa membuatnya sedikit tak nyaman. Hanya saja, pindah ke kamar juga membuatnya tak enak kepada Warna.

"Iya. Kamu kenal Sabit udah lama?"

"Lumayan."

"Kamu udah lama juga suka musik?" Warna pikir, ini kesempatan untuk menggali banyak informasi tentang Faran. Kepribadian, bakat minat, dan semua hal yang bisa menjadi bukti kalau Faran adalah siswa Yuasa yang tak sepatutnya dibuang begitu saja.

Faran mengangguk semangat. "Kayak udah bawaan lahir. Jiwa aku langsung menyatu begitu aja dengan musik. Bunda bilang, pas masih kecil, aku udah handal mainin banyak alat musik. Padahal, Ayah sama Bunda enggak punya talenta di bidang itu. Darah musisi ini, entah diturunkan dari siapa."

Tiba-tiba saja, Faran terlihat begitu bersemangat. Tampaknya, musik benar-benar membuat Faran lebih hidup. Semangat yang Faran tunjukkan mendadak menular juga ke dalam jiwa Warna.

"Ibu, mau lihat aku main musik?" tawar Faran tiba-tiba.

Bola mata Warna berputar, berpikir. Lantas mengangguk.

Faran bangkit dari posisinya. Mengajak Warna ke studio mini miliknya. Walaupun sebenarnya Warna ingin Faran istirahat saja, tetapi melihat Faran tampak bersemangat, Warna pun tak kuasa menolak. Perempuan itu mengikuti ke mana langkah Faran membawanya. Terkagum sesaat kala netranya melihat studio mini milik anak muridnya itu. Namun, terenyuh seketika saat sebuah foto yang berdiri tegak di atas meja, menyapa halus penglihatannya.

Foto Faran dan Wira, menjadi bukti nyata kalau Faran benar-benar anak dari mantan kekasihnya.

***

Setelah sekian lama menunggu, Warna tak jua dipertemukan dengan orang tua Faran. Baik Inggit maupun Wira. Terlalu lama menunggu sementara waktu beranjak siang, Warna pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Karena Lastri, asisten rumah tangga keluarga Faran, sudah kembali dari pasar, Warna sedikit tenang meninggalkan Faran.

Ah, padahal ibunya dokter. Kakeknya juga punya rumah sakit. Tapinya, Faran malah dibiarin ngurus diri sendiri pas lagi sakit. Warna tak habis pikir. Perempuan itu melangkah tergesa memasuki gang rumahnya. Ia lapar dan wangi Indomie Empal Gentong rasanya sudah menusuk-nusuk indra penciuman.

Akan tetapi, keinginannya menyicip mie favoritnya itu harus terpaksa ditunda saat netranya menangkap hal ganjil di depan rumahnya.

Beberapa orang berpakaian serba hitam tampak membuat keributan di depan sana. Dari pakaiannya, Warna tahu kalau mereka semua adalah para rentenir. Mereka tengah mengeroyok seseorang sementara Yeyen menangis sembari menjerit-jerit meminta mereka berhenti.

Dari sekian banyak para tetangga yang melihat, tidak ada yang berani menghentikan keributan yang tengah terjadi. Memang, sulitnya hidup di zaman sekarang, adalah terlalu banyak orang-orang apatis yang kadang tak ingin peduli dengan penderitaan orang lain.

"Sabit!" Langsung saja nama itu yang terlintas dalam benak Warna. Panik, ia berlari dan masuk ke tengah-tengah laga yang tengah berlangsung. Benar saja, Sabit tengah dihajar habis-habisan oleh pria berjumlah tiga orang itu.

"BERHENTI, SIALAN!"

Sumpah, itu bukan Warna. Warna bahkan belum membuka mulut saat Tera tahu-tahu berlari dan melayangkan tendangan ke arah salah satu dari pria berpakaian serba hitam yang tanpa adab menendang-nendang tubuh Sabit. Hal itu kontan membuat kedua pria lainnya kompak menghentikan aksinya.

"Sudah! Sudah! Saya, mohon hentikan!" Kendati tahu kalau Tera itu anak Taekwondo, Warna menarik gadis itu mundur saat para rentenir hendak memberi serangan balasan. Sementara Yeyen membantu Sabit bangkit, Warna merentangkan kedua tangannya guna melindungi anggota keluarganya. Tera hendak berontak, tetapi Warna berusaha menghalangi adiknya itu.

"Tolong beri kami waktu lagi. Kami janji akan melunasinya. Tapi, enggak hari ini."

"Alaaahh ... kalian janji janji aja! Pokoknya hari ini juga kalian harus lunasi hutang-hutang kalian!" Salah satu pria berpakaian serba hitam itu berseru. Telunjuknya melayang-layang tepat di depan muka Warna.

"Bulan depan. Saya janji akan membayarnya bulan depan. Jadi, tolong ... pergilah!" Warna mengatupkan kedua tangannya. Memohon. Air matanya berlinang. Takut. Sedih. Tak bisa lagi melakukan apa pun. Ia juga malu dengan para tetangga yang menonton adegan dramatis ini.

Hening sesaat. Pria berambut cepak yang Warna kira adalah pemimpin dari kedua orang lainnya itu tampak berpikir. "Enggak bisa! Pokoknya har—"

"Astaghfirullah, Sabit!"

Warna tidak berniat mendengar kelanjutan kata-kata si rentenir kala pekikan Yeyen menusuk gendang telinga. Warna membalikkan badan, memastikan. Matanya membola refleks saat melihat tubuh Sabit terkulai sebelum kemudian jatuh menghantam lantai. Refleks baik Warna maupun Tera berlutut, berusaha membangunkan Sabit.

Melihat hal itu, entah iba atau malas bertanggung jawab dengan kondisi orang yang sempat mereka keroyok, ketiga pria itu akhirnya berujar, "Satu bulan lagi kelamaan. Minggu depan, kami akan datang lagi ke sini! Kalau kalian masih belum bisa lunasi hutang kalian, anak ini ...." Pria dengan rambut cepak itu menunjuk Tera. "Kami bawa untuk kami jadikan pelacur!"

"BRENGSEK!" Tera yang biasanya tenang, tersulut emosi. Ia hendak bangkit, tetapi niatnya terhalang saat tangan Sabit mencengkeram pergelangan tangannya. Rupanya, kakak laki-lakinya itu hanya pura-pura pingsan agar para penagih hutang itu segera minggat. Saat ketiga pria itu pergi dan berlalu dari pandangan, Tera mengibaskan tangannya guna melepas cengkeraman itu.

"Kamu ini, bikin khawatir aja!" Saat Sabit mengambil posisi duduk, Yeyen memukul lengan Sabit dengan cukup keras hingga si Anak meringis, setengah terkekeh kecil sebab berhasil mengerjai orang-orang di sana. Lantas Yeyen bangkit. Meminta para tetangga yang berkerumun membubarkan diri sebelum masuk ke dalam rumah.

Menghilangnya Yeyen dari pandangan, membuat Warna merasa waktu sesaat berhenti. Ia terduduk lemas. Menatap luka-luka lebam di sekitar wajah Sabit. "Pasti sakit.  Maaf...." Air mata Warna tak kuasa ditahan. Ia tertunduk. Menangis. Merasa gagal melindungi adik-adiknya.

Melihat Warna menangis, Sabit dan Tera yang masih di posisi masing-masing terkesiap. Warna sangat jarang menangis, bahkan di kondisi terburuk sekalipun. Apa yang terjadi barusan mungkin begitu melukai sampai-sampai berhasil membuat air mata si yang paling tua di antara mereka itu tak lagi bisa dibendung.

"Ini enggak sakit sama sekali, kok." Sabit perlahan bangkit. Ia mengulurkan kedua tangannya ke Warna dan Tera guna menarik keduanya untuk bangkit berdiri. "Salah satu pengalaman penting buat cowok itu, ya ... bonyok kayak gini."

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top