VIII | Merasa Terpukul
DARI hasil rapat kemarin, semua guru termasuk Juan sepakat kalau drop out adalah satu-satunya hukuman yang pantas untuk Faran. Bahkan, sebanyak apa pun Warna melakukan pembelaan, tidak satu pun dari semua guru di SMA Yuasa yang berdiri di pihaknya.
Kenyataan itu, membuat Warna merasa begitu terpukul. Baru selangkah ia berjalan mendekati anak-anak didiknya, pukulan hebat membentangkan jarak yang begitu lebar. Sekarang, bukan hanya kehilangan muridnya, anak-anak yang lain pun mengatainya guru bermuka dua.
"Yang dikeluarkan Faran, kenapa Mbak yang sedih, sih? Anaknya aja cuek-cuek aja." Tera mengambil tempat di samping Warna yang tengah duduk di bawah etalase toko. Termenung sendiri sembari memainkan smartphone versi lamanya.
"Mbak cuma ngerasa takut, penyesalan yang pernah Mbak rasa dulu terulang lagi. Ah, rasanya pengen mundur dari Yuasa. Guru-guru di sana sangat sulit dipahami. Kepala sekolahnya apalagi," keluh Warna selagi tatapnya terfokus ke arah layar ponsel yang menampilkan kontak Juan lengkap dengan foto ekspresi dinginnya. Ia benar-benar merasa kecewa sekali dengan pria itu. Warna pikir Juan berbeda, tetapi sama saja.
Tera tak menanggapi. Mungkin hati kecilnya pun, ia merasa kehilangan Faran. Hanya saja tidak seberlebihan Warna, yang bahkan seharian ini terus bersikap murung.
"Bukankah kehilangan sesuatu yang sedang kita perjuangkan itu sangat menyakitkan?" Warna tersentak saat ponselnya berdering. Panggilan dari Juan membuat jantungnya berdebar refleks.
Bagaimana ini? Ada apa Pak Juan nelepon saya? Apa jangan-jangan ... ah, angkat enggak, ya? Hati Warna berceloteh panik.
Di sampingnya, Tera turut melirik ponsel Warna. Berdecak bosan sebelum membantu Warna menggeser ikon hijau guna menjawab panggilan itu.
"TERA!" Warna melotot, tanpa suara memekikkan nama adiknya. Tanggung sudah diangkat, Warna akhirnya mendekatkan ponsel itu ke telinga.
"Saya ada di rumah kamu. Bisa temui saya secepatnya?"
Warna refleks berdiri mendengar kata-kata di balik speaker ponsel itu. "Saya ke sana sekarang, Pak!" putusnya nyaris memekik. Ia hendak meninggalkan tempatnya saat seorang—yang warna kira pembeli—datang ke tokonya. Warna hendak menyuruh Tera untuk melayani pembeli itu sebelum ....
"Warna Pelangi."
... suara itu memaku segala pergerakannya. Ragu, Warna menoleh ke arah lelaki yang kini berdiri di hadapannya, hanya terpisah oleh etalase toko yang ada. Mata dengan garis tipis miliknya semakin menyipit, sekon kemudian nama itu terlantun parau dari bibir berlipstik naturalnya.
"Kak Wira?!"
***
"Maaf, ada seseorang yang harus aku temui sekarang!"
Benar, Warna mungkin menolak ajakan Wira untuk bertemu dan berbicara. Namun, hati kecilnya mengatakan hal lain. Kerinduan yang ia tabung sejak hari itu, hari di mana ia melihat Wira melepas pelukannya untuk kemudian pergi tanpa menoleh kembali, membuat ia ingin berhambur memeluk tubuh tegap itu. Hanya saja kebencian dan kekecewaan yang turut melingkup seluruh sanubari membuat keinginannya pun tertahan dalam dada.
"Sebenarnya ada apa, ya, Pak? Kenapa Bapak repot-repot ke rumah saya." Lagi, Warna juga tidak bisa membuat Juan menunggu lama seandainya ia mengiyakan ajakan Wira.
"Di luar sekolah, panggil saya Juan saja, bisa?" tanya Juan, selagi mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Warna seintens mungkin.
"Eh, tapinya ...."
"Enggak, bisa? Yaudah." Juan mendengus kecewa. Kembali melesakkan punggungnya ke sandaran sofa butut di ruangan depan rumah Warna. "Padahal saya berharap kita berteman di sini."
Warna tersenyum canggung. Menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Ia pikir usulan Juan pun tidak ada salahnya. Menjadi teman Juan? Mungkin, itu hal paling spesial yang Juan tawarkan untuk orang-orang tertentu. "Yaudah, kalau gitu." Namun, rasanya benar-benar canggung.
Mendengar hal itu, Juan tersenyum tipis.
"Soal hasil rapat kemarin ...."
"Saya sebenarnya kecewa dengan hasil rapat itu. Harusnya, kita enggak semudah itu mengambil keputusan hanya karena lihat sudut pandang guru-guru. Harusnya, kita juga memposisikan diri di posisi si siswa. Bagaimana kalau seandainya keputusan kita sebagai gurunya, menjadi penghancur masa depannya kelak."
Juan berdehem kecil, menarik seluruh atensi Warna. "Justru keputusan ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depan Faran. Yah, walaupun saya enggak yakin Faran ini punya masa depan atau tidak."
"Saya enggak ngerti kenapa semua orang selalu menganggap anak-anak bermasalah itu tak punya masa depan. Padahal, siapa yang tahu gurat takdir seseorang di masa yang akan datang!" Kesal, Warna mengambil air di atas meja dan meneguknya sampai tandas. Tak peduli lagi seandainya itu terlihat tidak sopan di mata Juan. Mereka sekarang teman, ingat?
"Pihak keluarga Dito bilang akan menuntut Faran. Tapi, setelah negosiasi cukup panjang, akhirnya mereka mencabut tuntutan itu dengan syarat pihak sekolah mengeluarkan Faran dari Yuasa." Tak begitu peduli dengan kesal di wajah cantik Warna kendati wanita itu sudah berumur, Juan lanjut menjelaskan.
Beruntung air dalam mulutnya sudah ia teguk sedetik sebelum rentetan kalimat itu bertepi di telinganya, sehingga tak perlu menyembur keluar lantaran tersedak. "Kenapa saya enggak tahu soal ini?!" Mata Warna membola. Ia merasa melewatkan sesuatu yang sangat penting. Jika apa yang Juan paparkan itu benar, berati keputusan mengeluarkan Faran adalah lebih baik. Faran mungkin bisa mencari sekolah yang lain, yang lebih baik. Lain jika seandainya anak itu harus berurusan dengan pihak hukum.
"Tapi, tetep. Saya enggak bisa begitu saja menerima keputusan itu. Keluarnya Faran dari Yuasa, sama dengan kegagalan untuk saya."
Bola mata Juan berputar, menilik tiap sudut rumah Warna yang jauh dari kata rapi.
"Sebenarnya gini, Juan." Warna mulai merasa santai sekarang. Tanpa sadar ia bahkan sudah berani memanggil langsung nama si kepala sekolah. "Waktu saya berkunjung ke rumah sakit, saya lihat Faran keluar dari poli penyakit dalam. Penting kita cari tahu Faran ini beneran sakit atau enggak."
"Dexamethasone."
"Maksud?" Warna menaikkan sebelas alisnya kontan saat Juan menggumamkan sesuatu.
"Nama obat yang Faran konsumsi."
"Itu ... obat apa?"
"Yang pasti bukan narkotika."
Mendengar penjelasan Juan, mata Warna menyipit, menilik lelaki di hadapannya dengan intens. "Kamu, mencari tahunya? Obat yang Faran konsumsi, kamu benar-benar mencari tahu tentang obat itu?" Di samping lega karena Faran tak benar-benar menjadi pecandu, Warna juga senang saat tahu Juan mau menelisik lebih dalam tentang kasus yang ada.
Juan menggumam kecil guna menjawab tanya Warna. Walau pada kenyataannya, sedari awal ia sudah tahu tentang itu semua.
"Itu artinya, tuduhan tentang Faran itu tidak benar, 'kan? Harusnya kit—"
"Yang jadi permasalahan sekarang itu bukan lagi soal Faran pecandu atau bukan. Tapi, tindak kekerasan yang Faran lakukan, yang bikin kita harus mengambil keputusan drop out ini."
Sejenak Warna terdiam. Kembali kecewa. "Kalau gitu, saya harus bicara dengan pihak keluarga Dito dan juga keluarga Faran. Mereka harus bertemu dan membicarakan ini secara kekeluargaan."
"Saya tidak yakin dengan hal ini."
Mendengar pemaparan Juan, Warna mendengus. "Kayaknya emang cuma saya yang berjuang untuk Faran di sini." Tentu saja, seandainya Juan mau berdiri di pihaknya, kemungkinan untuk mempertahankan Faran di Yuasa cukup banyak.
Panjang, Juan menarik napas. Menghimpun udara positif sebanyak mungkin dalam dada. "Memperjuangkan seseorang yang bahkan tidak ingin berjuang untuk dirinya sendiri, bukankan itu tindakan bodoh?" Warna hanya tidak tahu saja kalau sebelumnya Juan pun sudah bertemu dengan pihak keluarga Dito. Dan, sangat sulit sekali meminta pengertian mereka.
Lidah Warna kelu. Kata-kata Juan menyentil keras hatinya dengan tiba-tiba.
"Kita tidak bisa terus memaksa orang untuk terus bertahan. Kadang, manusia perlu menyerah untuk tahu kalau mereka punya sisi terlemah dalam hidup mereka."
Warna tidak benar-benar paham apa maksud Juan. Namun, lelaki dengan pakaian serba hitam itu tampak sedang membicarakan dirinya saat ini. Juan sedang menyindir dirinya.
Selama ini, ia berjuang untuk mempertahankan banyak hal dalam hidupnya. Tak hanya tentang Faran, juga tentang rasa yang selama ini bersemayam dalam dada. Termasuk rasa untuk Wira yang faktanya masih ia perjuangkan dan pertahankan sampai saat ini.
.Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top