VII | Razia


"KAMU enggak curiga kalau Faran itu sakit?"

Tera menyodorkan uang recehan itu kepada pembeli sebagai kembalian. Lantas, saat sosok pria tinggi berwajah tampan yang baru saja membeli satu bungkus rokok itu pergi, Tera segera menatap Warna yang kini tengah menyusun berbagai macam jenis mi instan ke dalam etalase.

"Anak itu emang sakit," celetuk Tera seraya mengempas kasar tubuhnya ke atas sofa butut di antara tumpukan kardus. "Sakit jiwa!" sambungnya yang langsung mendapat tatapan sengit dari Warna.

"Waktu itu Mbak ketemu dia di rumah sakit. Mbak jadi penasaran kenapa dia ada di sana. Malah keluar dari poli penyakit dalam lagi. Apa Faran sakit parah, ya?"

Iris cokelat tua Tera berputar, bosan. "Orang tuanya, kan, dokter. Jadi, wajar kalau kadang dia berkeliaran di rumah sakit. Lagian, Mbak kenapa, sih, kayaknya tertarik banget sama si ahli gombal cap liur badak itu?" Tera masih sangat kesal sebab sampai saat ini, Faran tidak mengaku kalau dia yang membajak Facebook dan sosial media miliknya.

Sesaat Warna tertawa kecil mendengar ejekan Tera terhadap Faran. "Asal tahu aja, ya, dia itu kasus yang harus Mbak pecahkan." Warna bahkan tidak tahu kalau Faran anak seorang dokter.

"Sok detektif!"

Warna mencebik. Kembali sibuk dengan kegiatannya dan membiarkan Tera asyik dengan ponselnya sendiri. "Eh, tapi dari dokumen semua siswa yang Mbak data, profesi orang tua Faran bukan dokter, loh. Kamu, tahu dari mana kalau Faran anaknya seorang dokter?"

Gerak jempol Tera yang hendak menggeser permen-permen lucu di game Candy Crush Saga, mendadak terjeda kala tanya si Kakak bertepi di telinga. "Ya, aku nebak aja." Menahan raut gugup yang hendak timbul, Tera kembali sibuk memainkan game favoritnya itu.

Lama, Warna menatap gerak-gerik Tera yang tampak mencurigakan. Jelas-jelas dari dokumen siswa yang ia data, orang tua Faran itu seorang wirausahawan. Ia tidak tahu kenapa Tera terlihat begitu jujur dan yakin mengatakan bahwasanya orang tua Faran adalah seorang dokter.

Prasangka yang melumuri seluruh bola mata Warna, membuat Tera risih. Dalam satu gerakan, gadis itu bangkit. Mengambil alih pekerjaan Warna seraya berujar, "Mbak pulang aja, gih. Bukan jadwalnya jaga warung juga, kan?"

Kendati masih terlihat tenang, tetapi gelagat aneh Tera jelas terekam lensa mata Warna. Si yang lebih tua jelas tahu kalau sikap Tera menunjukkan ada banyak hal yang tengah ia sembunyikan.

Tak ingin berdebat dan terburu-buru menanyakan banyak hal pada Tera, Warna perlahan bangkit dari posisinya. "Yaudah, Mbak pulang. Mau ngedrakor aja di rumah."

"Dasar enggak inget umur!" desis Tera.

***

"Bu Warna ikut saya!"

Suasana masih begitu pagi, saat Junaedi—Waka Kesiswaan—membuka pintu ruangan BK dan memerintah Warna untuk mengikutinya. Meninggalkan materi pembelajaran yang sedang dipelajari, Warna kemudian mengikuti langkah cepat Junaedi dan Ema yang ternyata turut ikut.

Warna dibuat bingung saat tiba-tiba saja Junaedi masuk ke dalam kelas XI IPS 2 dan berseru, "Letakkan tas kalian di meja! Hari ini kita adakan razia."

Ini ide buruk, pikir Warna kalut. Sumpah serapah lolos dalam hati Warna begitu tahu kalau ia tidak mendapat konfirmasi terlebih dahulu perihal razia kali ini. Namun, tak bisa menyuarakan apa pun, Warna hanya bisa diam di tempat. Seperti anak-anak yang tampak panik dan cemas, hati Warna pun demikian. Mendadak, ia merasa seluruh tatap siswa menyorot sinar kebencian ke arahnya.

Ternyata cuma topeng doang. Kemarin, bersikap baik cuma jadi mata-mata kita semua. Dalam kepala Warna anak-anak seolah berkata demikian. Mengakui hal itu perasaan Warna menjadi begitu sedih. Terlebih tatkala Ema dan Waka Kesiswaan mulai berkeliling memeriksa satu per satu semua tas siswa.

"Kalian mau sekolah atau mau buka salon ini?!" Ema mengumpulkan alat-alat make up di atas satu meja. Banyak sekali sampai Warna pun berpikir anak-anak perempuan di kelas ini adalah Beauty Enthusiast.

"Kamu, baca komik aja! Baca buku pelajaran enggak ada yang masuk ke otak. Masuknya ke dengkul semua!"

"Kamu bawa banyak sampo sebegini banyak buat apa? Jadi duta sampo, kamu?"

"Ponsel kalian juga, semua keluarkan! Ponsel aja smart, otak kalian enggak ada pinter-pinternya!"

Ada banyak hal-hal aneh yang anak-anak bawa ke sekolah. Selain sampo, make up, komik, pun juga majalah, CD drama Korea, psp, novel, dan banyak lainnya. Namun, itu masih di batas wajar dalam pandangan Warna. Kecuali ...

"SAYA TANYA INI APA, FARAN?!"

... tak hanya Warna, seluruh mata kontan menoleh ke arah meja paling pojok ruangan, tempat Faran duduk, saat teriakan Junaedi menggema.

Kendati masih terlihat datar, tetapi tatap Tera kepada Faran mengandung banyak ketidakpercayaan tatkala sebuah tabung kecil berisi pil-pil berwarna putih Junaedi acungkan tepat di hadapan Faran.

Hal serupa terjadi kepada sahabat terdekat Faran, Ruka dan Riku. Mereka menatap Faran dengan mulut setengah terbuka.

"Obat," jawab Faran berusaha tenang, walaupun dalam hati ia merasa begitu resah. "Itu bukan ob—"

"Ternyata benar, kamu ini make! Dasar penjahat!" Ema berjalan mendekat ke arah Junaedi seraya memutus kata-kata Faran, seolah ia memang tidak memperbolehkan Faran menjelaskan apa pun. Setelah sekian lama, akhirnya ia merasakan kemenangan itu. Ia punya alasan kuat untuk membuat siswa yang paling dibencinya itu minggat dari Yuasa. Ia merasa sangat bersyukur saat mendapat laporan nyata kalau Faran memang benar-benar menggunakan obat-obatan.

Melihat kejadian di depannya, Warna merasa begitu sedih. Ia ingin menangis dengan keras saat Junaedi tiba-tiba menarik tubuh Faran bangkit, kemudian menyeretnya keluar kelas guna diserahkan kepada kepala sekolah.

"Bu Warna bereskan sisanya!" Bahkan ketika Ema turut memberi perintah, Warna hanya bisa mematung di tempatnya. Tatap kebencian semua siswa yang tersorot ke arahnya, seperti rudal squad yang langsung meluluhlantakkan jiwanya.

***

Saat langkah Faran pun Ema dan Junaedi berhenti di depan ruangan kepala sekolah, Faran melakukan pemberontakan. Ia berusaha meloloskan diri dari cengkeraman Junaedi dan sejurus kemudian melarikan diri. Junaedi berusaha mengejar Faran dengan cepat.

"Dasar berandal!" Junaedi pikir, Faran berniat untuk kabur dan melarikan diri dari sekolah. Namun, praduganya salah kala netranya justru melihat Faran berlari masuk ke dalam kelas XI IPA 1.

Tak hanya Junaedi, guru biologi fisika yang tengah mengisi jam pelajara juga para siswa yang ada di kelas XI IPA 1 itu kaget tatkala Faran tiba-tiba masuk, berjalan rusuh menghampiri salah satu bangku di sana.

"Lo, 'kan? Lo yang fitnah gue make obat-obatan? Ngaku, AN#$@G!" Dengan emosi yang meletup-letup, Faran meraih kerah seragam Dito, mencengkeramnya kuat sebelum memaksa tubuh itu untuk bangkit.

Mendengar tanya Faran, Dito mendecih. Ia menepis kasar tangan Faran. Namun, detik selanjutnya sebuah bogem mentah mendarat mulus di pipi kanannya. Cukup keras hingga laki-laki berambut ikal kecokelatan itu merasa bagian dalam pipinya sobek dan berdarah.

Semua siswa—terlebih perempuan—kontan menjerit histeris saat tubuh Dito tersungkur di bawah meja. Tak memberi Dito kesempatan untuk melawan, Faran melayangkan pukulannya ke arah laki-laki di bawahnya dengan membabi-buta. Kemarahan jelas menjarah seluruh jiwa dan raganya, sehingga bahkan Junaedi dan beberapa siswa laki-laki tak bisa menghentikan aksi brutalnya.

Baru setelah Dito benar-benar nyaris berakhir, laki-laki itu terenggut pingsan dengan lebam di sana-sini, Faran menghentikan aksinya. Selagi tatap kosongnya terlempar ke arah Dito yang kini mulai dikerubungi beberapa siswa, Faran merasa tubuhnya ditarik mundur oleh Junaedi. Saat tubuhnya diseret paksa keluar dari kelas XI IPA 1, anak-anak yang lain tampak berkerumun di luar. Melemparinya dengan tatap tak percaya.

"Setidaknya, kita perlu memeriksa obat apa yang Faran konsumsi ini. Kita enggak bisa vonis dia pecandu begitu saja. Bagaimana kalau seandainya Faran ini benar-benar sakit?"

Saat masuk ke ruangan kepala sekolah, Faran melihat Warna tengah berdebat dengan Ema. Di tangannya ada satu kantong berisi barang-barang hasil razia milik teman-teman sekelasnya. Juga tabung obat yang selama ini ia konsumsi. Sementara itu, di singgasananya, Juan tampak memperhatikan kedua guru itu tanpa ingin menyela pembicaraan. Hanya diam, menunggu keduanya menyuarakan pendapat masing-masing sebelum ia mengambil kesimpulan.

"Bu Warna enggak punya lagi alasan buat mempertahankan anak ini di Yuasa. Dia benar-benar sudah keterlaluan. Enggak mau ngaku sebagai pecandu, dia justru mukulin siswa lain sampai babak belur. Dan sialnya, itu tepat di depan mata saya! Harusnya, hukumannya bahkan lebih berat dari drop out. Kita harus bawa anak ini ke kantor polisi!" Junaedi bersungut-sungut penuh amarah. Beberapa kali ia mendorong-dorong kepala Faran.

Mendengar pengakuan Junaedi, Warna menatap Faran dengan sorot tak percaya. Tak percaya sebab ada bagian lain yang baru saja ia lewatkan. "Bener, Faran?" tanya Warna sangsi. Ia menahan tangan Junaedi yang hendak memukul kepala Faran.

"Faran mungkin salah, tapi melakukan tindak fisik seperti itu bukan hal yang harus dilakukan oleh seorang guru!"

"Bu Warna ini guru BK, tapi kenapa selalu bersikap seperti ini?!"

"Justru karena saya guru BK. Saya sedang berusaha memahami semua anak-anak saya, tapi Pak Juned dan Bu Ema sudah mendorong saya jatuh bahkan di langkah pertama saya."

"Bu Warna ini terlalu lamban. Tidak sigap bertindak makanya anak-anak bandel seperti Faran ini semakin kurang ajar."

"Anak-anak kurang ajar itu wajar karena mereka masih belajar. Tapi, pengajar yang kurang ajar, apa masih pantas dibilang pengajar?" Kata-kata sarkasme Warna lolos. Kesal, si Guru BK mulai menaikan nada suaranya. Tak lagi peduli dengan Juan yang masih bungkam di tempatnya.

Faran tampak tak sepenuhnya mendengar perdebatan Warna dengan guru-gurunya sebab seluruh fokusnya kini terpusat ke arah Juan. Lantas setelah beberapa detik melepas tatap sengit si kepala sekolah, Faran beranjak dari tempatnya. Ia tidak perlu menunggu keputusan apa pun dari Juan sebab ia yakin sebanyak apa pun ia membela, sebanyak apa pun Warna mempertahankannya, ia akan tetap berakhir saat ini.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top