V | Persetujuan
WARNA sebenarnya panik dan kaget luar biasa saat Irfan—guru olahraga SMA Yuasa—dengan rusuh menyeret masuk tiga orang siswa ke dalam ruangannya. Namun, sebisa mungkin Warna bersikap tenang, seperti biasanya. Melupakan lembar klasifikasi minat dan bakat siswa yang tengah dipelajarinya, Warna perlahan bangkit berdiri guna menyambut ketiga siswa beserta guru olahraga itu.
"Bukannya ikut berolahraga, mereka malah mojok di belakang sekolah. Merokok pula!" Irfan melempar satu bungkus rokok dan lighter ke atas meja Warna. Warna kontan melirik benda makruh itu sebelum kemudian menatap murid-murid di hadapannya dengan datar.
"Anak-anak yang tidak ada keinginan untuk belajar, buat apa bersekolah?! Bu Warna kasih saja hukuman paling berat, biar mereka jera!" Irfan bersungut-sungut, selagi tangannya menunjuk-nunjuk ketiga anak remaja di hadapannya dengan amarah yang kentara.
Sebentar Warna terdiam. Ia tidak ingin terburu-buru memutuskan untuk menjatuhi vonis hukuman. Karena ia adalah guru Bimbingan Konseling, bukan polisi sekolah yang tugasnya menghakimi anak dan memberi hukuman kepada mereka. Seminggu kemarin, melihat Tera dan Faran dihukum saja, Warna merasa sangat bersalah. Berpikir bahwa alih-alih membuat siswa itu menjadi lebih baik, hukuman itu justru akan melukai harga diri mereka dan mungkin akan menjadi memori menyakitkan di kemudian hari.
"Pak Irfan serahin anak-anak ini sama saya. Bapak bisa kembali melanjutkan jam mengajar." Lengkap dengan senyumnya, Warna berujar. Berusaha meyakinkan guru bertubuh atletis itu untuk segera pergi.
"Kasih mereka hukuman yang bisa bikin mereka kapok!" pesan Irfan sambil berjalan tergesa ke luar ruangan.
Warna menyatukan ujung jempol dan telunjuknya membentuk huruf O, isyarat mengiyakan perintah Irfan. Sekadar meyakinkan si guru untuk segera pergi dari ruangannya. Sebab, beberapa saat setelah Irfan tak lagi tersentuh pandang, Warna menatap ketiga siswa di hadapannya dengan lembut. Tak ada kesan intimidasi di balik sorot itu, jelas membuat ketiga anak remaja di sana kebingungan.
"Kalian baru pertama kali masuk sini?" tanya Warna. Ia memberi isyarat agar anak-anak didiknya itu duduk di kursi yang disediakan. Tersenyum tipis saat melihat mereka mengangguk polos. Setidaknya mereka tidak sebebal Faran, pikir Warna.
"Ada beberapa hal yang mau Ibu tanyakan." Warna meraih bungkus rokok di hadapannya, mengeluarkan salah satunya untuk kemudian meletakkannya di hadapan siswa-siswa.
Ketiga siswa itu hanya menatap Warna dengan bingung. Juga tegang. Berpikir, bahwa siapa yang tahu kalau di balik sikap lembut dan kesan baiknya, guru perempuan itu menyembunyikan maksud terselubung.
"Kalian enggak usah tegang." Warna tertawa kecil. "Ibu cuma pengen nanya. Ada yang tahu kandungan apa aja dalam rokok ini?" Warna menunjuk sebatang rokok yang ia keluarkan dari bungkusnya tadi.
Sesaat ketiga siswa itu saling pandang. Sebelum akhirnya berebutan mereka menjawab pertanyaan Warna. Nikotin, tar, karbon monoksida, benzena, arsenik, begitu jawab mereka.
"Wah, ibu bahkan tidak tahu. Tapi, kalian tahu banyak. Kalian mempelajari ini di pelajaran biologi?" tebak Warna. Ketiganya kompak mengangguk, ekspresi wajah mereka terlihat lebih santai.
"Kayaknya kalian bisa menangkap pelajaran biologi dengan mudah. Tapi, kenapa tidak dengan pelajaran olahraga, hm?"
"Pak Irfan itu enggak seasyik guru Biologi. Harusnya pelajaran olahraga bisa lebih seru karena dilakukan di luar, tapi ini bahkan jauh lebih membosankan."
"Kalau aku, sih, karena enggak terlalu suka berkeringat. Makanya tiap pelajaran olahraga males banget!"
"Aku enggak suka pelajaran olahraga karena Pak Irfan lebih sering memperhatikan anak-anak cewek."
"Oh, begitu ...." Dari semua jawaban itu, Warna mulai bisa menarik kesimpulan. Kadang, ada banyak guru yang kurang memahami gaya belajar siswa. Mereka menuntut siswa untuk mengikuti cara mengajar mereka, tanpa peduli kalau hal itu justru membuat anak-anak semakin malas belajar. Warna pikir, bukan siswa saja yang perlu melakukan konseling, guru pun demikian.
***
"Bagaimana bisa Bu Warna melepas mereka tanpa memberi mereka sanksi?! Itu hanya akan membuat mereka melakukan kesalahan yang sama saat pelajaranku nanti."
Panjang Warna menarik napas. Berusaha tegar, berusaha kuat, saat Irfan menyemprotnya dengan omelan panjang. Semua pasang mata di ruangan guru yang kini terpusat penuh padanya, membuat Warna semakin merasa tersudut. Namun, kali ini Warna tidak boleh kalah. Ia harus menjelaskan kepada guru-guru kalau mengambil sikap "menghukum siswa yang salah" itu tidak sepenuhnya benar.
"Itu tidak mungkin terjadi, Pak. Mereka sudah berjanji kepada saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." Benar, di sesi konseling terakhir mereka, ketiga anak itu berjanji tidak akan bolos pelajaran olahraga lagi. Mereka juga tidak akan merokok ketika masih mengenakan seragam SMA Yuasa.
"Terus Bu Warna dengan mudah memegang janji mereka, begitu? Apa janji anak-anak nakal seperti mereka bisa dipercaya? Saya pikir, Bu Warna ini terlalu naif sampai-sampai bisa dibodohi oleh anak-anak seperti ini."
"Pak walaupun saya hanya lulusan S1, dan saya belum menjadi psikolog seutuhnya, tapi saya juga belajar bagaimana me—"
"Bagaimana ini, Bu Warna?!"
Kalimat Warna terpenggal dengan kehadiran Ema di ruangan itu. Di sampingnya, ada Faran yang diseret Ema untuk turut masuk ke dalam. Dalam pandangan Warna, Faran tampak pucat, walau masih tampak berenergik karena senyum konyolnya yang terlempar saat mata mereka bersitatap.
"Masa jawaban dia di ulangan saya seperti ini?!" Jengkel, Ema menghadapkan lembar jawaban ulangan Faran ke hadapan Warna. "Anak ini, benar-benar mempermainkan saya!" Gulungan kertas ulangan siswa yang lain dalam genggamannya, Ema layangkan guna memukul lengan atas Faran.
Dalam hati, Warna ingin terbahak kala netranya membaca semua jawaban yang Faran tuliskan di semua pertanyaan esay itu.
Ya.
Oh, begitu ya, Bu?
Hmmm ... enggak tahu, tuh, gimana kalau ibu tanya Google aja. Google lebih pinter dari saya.
Au ah gelap!
Aduh, Bu saya pusing serius.
Ibu enggak bisa apa bikin soal yang lebih mudah? Saya benar-benar mual membaca soal ini.
Faran benar-benar sudah keterlaluan, sejak awal Warna pun berpikir demikian. Hanya saja, menghukum Faran bukan satu-satunya jalan. Buktinya, hukuman yang waka kesiswaan berikan seminggu kemarin tak benar-benar membuat Faran bertobat, bukan?
Kembali, Warna melirik Faran yang kini tertunduk. Poni rambutnya yang jatuh ke depan, membuat Warna tidak bisa melihat ekspresi wajah Faran saat ini. Namun, Warna yakin kalau Faran tidak sedang baik-baik saja. "Faran, kamu sakit?" Ingatan Warna mampir ke kejadian di rumah sakit kemarin. Pertanyaannya membuat Ema semakin kesal saja.
"Bu Warna ingat? Dia sering pura-pura sakit hanya untuk membolos mata pelajaran," geram Ema yang langsung dihadiahi angguk setuju dari beberapa pengajar di sana. Artinya, Faran memang sering membolos di banyak jam mata pelajaran dengan alasan seperti itu.
"Pokoknya, ya, Bu. Kalau layanan konseling Ibu sama anak satu ini enggak juga berhasil, saya akan bilang langsung ke kepala sekolah biar keluarin dia dari Yuasa."
"Kenapa Bu Ema terkesan menyepelekan kemampuan saya? Ibu pikir me—"
"Bu Warna, saya tunggu di ruangan saya."
Tak hanya Warna, seluruh orang yang ada di ruangan itu cukup terkejut dengan kehadiran Juan di depan pintu sana. Kemudian, sedetik setelah Juan kembali pergi meninggalkan tempatnya, bisik-bisik mulai terdengar di telinga Warna. Sorot underestimate jelas tersorot dari balik mata Ema dan Irfan, juga beberapa guru yang lain, berpikir bahwa Juan memanggilnya karena ketidakbecusannya menangani siswa-siswa bermasalah.
"Faran, kamu sekalian ikut Ibu ke ruang kepala sekolah," tukas Warna seraya melangkah meninggalkan ruangan. Dengan setengah hati, Faran mengekori Warna. Bukan gentar sebab akan bersitatap dengan pimpinan tertinggi di SMA Yuasa, Faran justru menunjukkan ekspresi malas dan bosan.
***
"Nah, Ibu akan masuk. Kamu pergilah ke UKS. Istirahat di sana."
"Hah?" Faran membulatkan matanya, bukan tak paham maksud Warna. Melainkan terkejut karena ternyata Warna tidak benar-benar menyeretnya masuk ke ruang kepala sekolah.
Tak ada waktu mengomentari ekspresi Faran, Warna segera meraih handle pintu, membukanya dan kemudian berjalan lebih jauh ke dalam ruangan. Juan tampak begitu fokus menatapi layar laptop, sama sekali tidak terganggu dengan kehadirannya. Jujur, dalam hati Warna gugup, takut seandainya ia benar-benar akan disidang sebab tak becus menghadapi siswa-siswa bermasalah.
"Maaf, Pak." Warna mencicit, memecah hening yang ada di ruangan penuh buku itu.
Juan mengubah pandang ke arah Warna, selagi memberi isyarat agar perempuan itu mengambil tempat di kursi yang tersedia. "Soal pengajuan itu, saya sudah memikirkannya." Begitu jarak ia dan Warna hanya terhalang meja kerjanya, Juan membuka pembicaraan. To the point pada intinya.
Dalam hati, Warna bersyukur alasannya dipanggil bukan lantaran kasus kenakalan anak-anak yang sedang dihadapinya. "Bapak kenapa tidak menelepon saya saja." Seingat Warna, Juan meminta ia menginput nomor ponselnya adalah untuk pemberitaan ini.
"Kenapa harus lewat telepon? Bu Warna tidak suka bertemu dengan saya?"
"Ah, itu ... bu-bukan gitu maksudnya. Saya ...." Entah kenapa, mendadak lidah Warna kehilangan fungsinya. Ia merasa sudah melepas pertanyaan yang salah, sekarang ia bingung menjelaskan maksudnya.
"Sudahlah." Juan mengubah posisi duduknya, melesakkan punggungnya ke sandaran kursi. Sorot yang tak pernah terlihat santai itu terlalu represif untuk Warna. Dari sekian banyak orang, cuma Juan yang tidak pernah bisa membuat perasaan Warna damai saat saling berhadapan seperti ini.
"Jadi gimana, Pak? Bapak menyetujui usulan saya, 'kan?" tanya Warna, sedikit tak sabar mendengar jawaban Juan.
Juan mengangguk, selagi gumam kecil lepas dari bibir penuhnya yang tampak begitu seksi dalam pandangan Warna. Persetujuan itu, membuat senyum Warna merekah mekar.
"Terima kasih banyak, Pak." Kali ini saya tidak akan dicap sebagai guru paling gabut lagi, imbuh Warna dalam hati. Padahal tugas administratif yang dbebankan kepadanya, juga layanan konseling yang terkadang harus memaksa ia melakukan home visit di luar jam sekolah, mengatakan hal sebaliknya, tetap saja guru-guru lain selalu menyebutnya guru paling gabut sebab tak punya jadwal masuk kelas. Sekarang, Warna merasa sangat senang dan tenang mendengar keputusan kepala sekolah.
Senyum Warna tanpa sadar mewabah, menular cepat kepada Juan. Kepala sekolah yang dikenal dingin dan kaku layaknya es batu itu tiba-tiba saja sedikit mencair.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top