IV | Persimpangan Masa Silam

"JADI gimana rasanya berurusan dengan para Ababil, hm?"

Desah panjang Warna mengudara, selagi punggungnya tenggelam lebih dalam di sandaran kursi. "Aku jadi berasa ikutan labil juga," keluhnya. Lantas, netranya menyapu seluruh sudut ruang kerja Rere—teman masa kuliahnya—yang saat ini bekerja sebagai psikolog rumah sakit.

Melihat ruang tempat Rere bekerja, Warna turut merasa bangga kepada temannya itu. Meskipun masih berstatus staf, tetapi pekerjaan Rere jauh lebih baik dari pada dirinya. Jelas saja, Rere sudah lulus S2, ia berhak mendapat pekerjaan yang lebih baik. Sementara dirinya, karena alasan biaya, ia harus menunda S2-nya. Lagi, jika mengingat tujuan awalnya masuk kuliah jurusan psikologi, menjadi guru BK adalah hal yang sudah sepatutnya ia syukuri.

"Seenggaknya, kamu enggak perlu ngadepin banyak pasien yang heterogen. Yang paling sebel, tuh, ya.   Pas harus ngadepin pasien resisten yang susah banget diatur. Rata-rata mereka itu ..." Jeda. Rere menutup laptop di hadapannya dan membereskan alat-alat assasement di atas meja. "... masih saja percaya hal-hal mistis. Mereka datang ke 'orang bodoh' kayak kita, karena 'orang pintar' ternyata enggak berhasil nyembuhin mereka."

Mendengar kata-kata Rere, Warna tertawa. "Mau pergi sekarang?" tanyanya saat melihat Rere bangkit dari duduknya. Mereka sebenarnya janji bertemu di kedai bakso langganan mereka sejak masih kuliah dulu, tetapi karena Rere punya beberapa pasien rujukan, Warna disuruh menemui sahabat baiknya itu di tempat kerja.

"Eh, tunggu bentar, deh." Rere kembali duduk. Warna mengerutkan kening saat Rere mencondongkan tubuhnya guna membisikkan sesuatu. "Baru keingetan. Temenku, Dokter Aufa, spesialis bedah, Na. Single, ganteng, dia baru aja cerai sama istrinya, punya an—"

"Re, udahlah!" Tahu maksud temannya itu, Warna kilat memutus kalimat Rere. Mendengkus geli kemudian.

"Ayolah, Na. Udah tujuh belas tahun. Move on aja, yaelah. Enggak adil kalau kamu masih stuck di dia, tapi dianya udah bahagia sama orang lain." Kembali, Rere menegakkan tubuhnya. Menatap Warna dengan bosan. Ia sudah menikah tiga tahun ke belakang, walaupun belum diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk menimang bayi. Melihat Warna masih tenggelam dalam masa lalunya yang kelabu, membuat Rere gemas sendiri.

Embus napas panjang Warna lepas landas. Tak lalu memberi respons berarti, Warna justru merasa lorong waktu menyedot dirinya, membawanya kembali berdiri di persimpangan masa silam. Masa yang selama ini berusaha Warna lupakan, tetapi pada kenyataannya selalu saja datang dan justru semakin melekat dalam jiwa.

***

"Sebagai hadiah kelulusan, semua makanan yang Kak Wira mau hari ini, aku traktir, deh."

Hari itu, di bawah teriknya sang penguasa siang, Warna bisa melihat mendung menggantung di balik wajah tampan Wira Aagha Fidan, kekasihnya. Padahal hari itu harusnya menjadi hari paling membahagiakan sebab setelah tiga tahun berjibaku dengan seragam putih abu-abu, akhirnya Wira bisa lulus dengan nilai tertinggi. Lantas, apa yang membuat nestapa melukis diri di wajah itu, Warna tak tahu pasti.

"Warna Pelangi." Lembut, Wira memanggil nama lengkap gadisnya. Selagi tangannya menarik tubuh Warna, memangkas spasi yang ada sehingga tubuh mereka kini menempel satu sama lain. "Aku suka dengan semua warna pelangi, karena itu adalah namamu. Kamu tahu itu, kan?"

Kendati bingung melingkup hati, Warna mengangguk. Laki-laki dua tahun lebih tua darinya itu memang selalu bilang kalau ia tidak perlu melihat indahnya pelangi, karena Warna Pelangi miliknya jauh lebih indah.

"Warna, makasih karena udah jadi hal paling indah dalam hidupku. Walaupun tak lama, tapi aku merasa sangat beruntung memilikimu."

Susunan kalimat yang lepas dari mulut Wira, membuat perasaan Warna tiba-tiba saja mencelos. Mendadak aura perpisahan yang sesungguhnya begitu kental terasa. Terlebih ketika Wira melepas pelukannya, menatapnya dengan sendu kemudian berujar, "Hubungan kita, kita akhiri sampai di sini saja."

"Maksud Kak Wira apa? Ke-kenapa ... Bukannya kita sudah sepakat? Walaupun Kak Wira harus kuliah di universitas yang jauh, kita masih bisa LDR-an, kan?"

Memang benar, sebelumnya mereka sudah membuat kesepakatan akan tetap melanjutkan hubungan walaupun Wira harus mengambil beasiswa kuliah di luar kota. Warna tidak keberatan dengan semua itu, selama mereka masih saling berkomunikasi. Namun faktanya, alasan kenapa Wira memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang bahkan belum genap satu tahun itu, tenyata ...

"Aku menghamili cewek lain. Jadi, aku harus bertanggung jawab untuk itu."

... tak sesimpel yang Warna pikirkan.

Mendengar hal itu, tangan Warna yang saat itu masih menggenggam surat kelulusan Wira tampak bergetar, sebelum kemudian lemas hingga lembar pernyataan itu jatuh dan terbang tertiup angin musim panas. Turut menerbangkan ceria yang sempat hinggap di dalam dada si gadis. Tanpa sadar, Warna menangis.

"Bohong!" tukas Warna. Wira adalah laki-laki yang baik, tidak mungkin kekasihnya melakukan hal sehina itu. Warna mengenalnya dengan sangat baik. Alasan Warna tidak bisa berhenti mencintai kakak kelasnya itu juga karena Wira begitu menghormati dan menjaga dirinya yang adalah seorang perempuan.

"Itu benar, Warna. Maaf. Setelah ini, kamu fokuslah pada dirimu sendiri. Selalu bahagia dan lupakan aku sepenuhnya."

Hari itu, setelah berujar demikian, Wira melangkah meninggalkan Warna. Kata-kata terakhirnya seperti proyektil beracun yang ditembakkan tepat ke dalam jantung. Tangis Warna pecah. Ingin ia berlari menerjang tubuh laki-laki itu, menahannya untuk tidak pergi. Namun, alasan kenapa laki-laki itu meninggalkannya, membuat segala pergerakannya membeku. Warna merasa tak tahu lagi harus berbuat apa selain melepas sosok itu dari hidupnya. Kendati sampai sekarang, ia tidak bisa melepaskan dirinya sendiri dari kenyataan bahwa cintanya harus kandas sebab alasan yang tidak pernah bisa ia percayai.

***

Suara derit kursi yang terdengar kala Rere bangkit dari duduknya, membuat gerbang lamunan Warna tertutup. Ia turut bangkit saat Rere menarik tubuhnya berdiri, lantas beriringan mereka berjalan keluar ruangan.

"Aku enggak maksa sih, jadi enggak usah dipikirin juga." Menutup pintu ruang kerjanya, Rere berujar maklum.

Warna tak menanggapi kata-kata Rere sepenuhnya sebab netranya kini menangkap hal lain. Faran. Salah satu siswa SMA Yuasa yang paling ia kenal—selain Tera—baru saja keluar dari salah satu ruangan. Sesaat keningnya berkerut melihat label yang menempel di atas pintu ruangan itu.

Poli Penyakit Dalam.

Apa Faran sakit? Dalam hati Warna bertanya. Entah kenapa mendadak semakin penasaran dengan latar belakang bocah satu itu. Dari semua ilmu psikologi tentang memahami perilaku manusia, hanya perilaku Faran yang benar-benar sulit untuk Warna pahami. Entah berapa banyak rahasia yang anak itu sembunyikan di balik sikap amusing, ramai, dan tidak bisa diamnya. Kadang, Warna bertanya-tanya, apa keonaran yang kerap Faran lakukan adalah benar-benar untuk mencuri perhatian orang lain—seperti kebanyakan anak nakal lainnya— atau justru untuk menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih penting dalam dirinya?

"Malah ngelamun, yaelah! Ayo buruan!"

Warna terkesiap, tak sadar kalau ia masih berdiri mematung seraya menatap pintu Poli Penyakit Dalam yang sudah tertutup. Sementara Rere sudah berada hampir dua meter dari posisinya saat ini. Meringis kecil, Warna segera melangkah tergesa menyusul Rere.

"Biasanya, orang-orang yang dateng ke poli penyakit dalam itu menderita apa ya, Re?" Tiba-tiba saja, Warna jadi penasaran.

"Kenapa mendadak kepo? Apa jangan-jangan tertarik lagi sama Dokter Aufa. Dia di poli penyakit dalam, loh." Alih-alih menjawab tanya Warna dengan benar, Rere justru malah menggoda teman baiknya itu.

"Apaan, sih?" Warna mendengus. Mencubit pelan lengan perempuan yang kini berjalan di sampingnya. Rere hanya tertawa saja melihat ekspresi kesal yang Warna tunjukkan.

Bersambung
Bandung, 03 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top