III | Kepala Sekolah SMA Yuasa


"BENER, enggak kalau hukuman Faran lebih berat?"

"Kayaknya sih, iya. Kali ini enggak cuma bolos sama tidur di kelas, jadi wajar kalau hukumannya lebih dari sebelum-sebelumnya."

Sepertinya, kedua siswi itu tidak menyadari keberadaan Warna di belakangnya. Atau memang mereka tidak tahu kalau Warna ini salah satu guru di SMA Yuasa, mengingat eksistensi Warna di sekolah itu tak terlalu menonjol. Sebab, selain tidak memiliki jadwal seperti guru-guru yang lain, kerjaan Warna hanya berkutat antara ruang BK dan ruang guru saja.  Karenanya kedua murid perempuan itu begitu asyik bergosip tanpa peduli kalau ...

"Tapi, katanya guru BK itu baik, loh. Jadi, masa sih dia hukum Faran sama Tera sampai segitunya?"

... tema yang mereka perbincangkan ada sangkut paut dengan dirinya.

"Mungkin karena Faran udah keterlaluan. Dia berantem, loh, ini, sama cewek lagi. Sebaik-baiknya juga guru BK, emang tugasnya, kan, menghukum murid yang bandel. Lagian masih syukur enggak kena skor atau dikeluarin juga."

Deretan kalimat salah satu siswa berransel navy di hadapannya, membuat Warna tersenyum kecut. Faktanya, persepsi anak-anak tentang guru BK itu sepertinya memang demikian, galak, killer, suka menghukum dan tidak asyik. Padahal Warna bahkan tidak pernah ada niatan untuk menghukum para murid yang bermasalah. Ia justru sangat berharap bisa merengkuh dan memeluk hangat mereka, mencari tahu beban berat apa yang mereka tanggung untuk kemudian mencari solusinya bersama.

"Gue, sih, walaupun gurunya baik, ogah banget urusan sama BK. Masuk ruang BK auto raib uang jajan gue. Nyokap gue ngamuk pastinya."

"Samaanlah ... gue juga enggak mau masuk ruang BK. Nanti gue dicap murid bandel lagi."

Ekspresi wajah Warna semakin terlihat masam mendengar pernyataan kedua siswi di hadapannya. Padahal, masuk ruang BK tidak harus mereka yang bermasalah dan bandel. Semua siswa yang ingin mendapat layanan konseling, bukan berarti dia siswa bandel dan tidak taat aturan.

Ketika kedua siswi itu berbelok dan masuk ke dalam kelas mereka, netra Warna melihat Faran dan Tera di lapangan sana. Keduanya tampak sibuk dengan sapu dan pengki masing-masing.

Sebenarnya, bukan ide Warna menghukum mereka membersihkan seluruh halaman sekolah selama satu minggu ini. Melainkan, guna menyumpal cerocosan guru lainnya, Warna akhirnya mengiyakan usulan Waka kesiswaan untuk menghukum kedua siswa itu membersihkan bagian luar sekolah—dari halaman depan dan belakang, lapangan upacara dan olahraga—yang luasnya bukan main.

"Mau Ibu bantu, hm?" Warna berdiri di sisi lapangan, tersenyum sehangat mentari pagi ini ke arah mereka yang kini menoleh cepat ke arahnya. Bukan berniat untuk mengejek, serius ia ingin membantu keduanya. Barangkali bisa membuka obrolan ringan, membuka permasalahan yang ada, di sela kegiatan mereka.

Di tempatnya, begitu  wajah guru yang juga kakaknya itu terekam, Tera langsung mendelik, membuang tatap ke arah lain. Sampah-sampah yang ia kumpulkan di bawah kakinya jauh lebih mengasyikan ketimbang basa-basi dari Warna. Cih, dia yang kasih kita hukuman, ngapain juga sok mau bantu? Cari muka banget, sih. Gerutu Tera dalam hati.

"Enggak usah, Bu. Nanti kulit cantik Ibu terkena paparan sinar matahari lagi," canda Faran. Mendengar hal itu, Tera mendengkus geli.

Warna sedikit terkesiap saat mendengar nada dering ponselnya berbunyi. "Padahal, Ibu udah pakai sun protection, loh, ini. Tapi, karena enggak boleh bantu, yaudah. Kalian berdua semangat, ya!" Detik berikutnya, Warna berlalu untuk menerima panggilan yang masuk ke nomornya.

Tak terlalu menanggapi hal itu, Tera dan Faran sesaat saling pandang sebelum kemudian kembali sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada penduduk SMA Yuasa yang tahu kalau Warna dan Tera adalah saudara, omong-omong.

***

Obrolan anak-anak di koridor pagi tadi yang berhasil ia curi dengar, juga perdebatan antara dirinya dengan Ema dan guru yang lain kemarin, membawa Warna berada di dalam ruangan ini. Ruangan yang didominasi warna hijau pucat, tempat di mana pimpinan tertinggi di Yuasa berada. Sengaja, Warna  mengetuk-ngetukkan ujung sepatu pantofelnya, kebiasaan buruk saat ia merasa begitu gugup.

"Jadi, Bu Warna minta pengajuan agar diberi jam bimbingan konseling?"

Warna mengangguk. Menatap pria di hadapannya sekilas sebelum tertunduk. Tak kuat menatap iris tegas pria bertubuh tegap itu terlalu lama.

Jangan bayangkan kepala sekolah yang tengah Warna hadapi adalah pria tambun dengan kacamata tebal dan kumis lebat. Justru, pria yang saat ini duduk manis di kursinya seraya membolak-balik lampiran surat pengajuan yang Warna serahkan beberapa saat lalu, adalah sosok tipe pria pemikat hati wanita. Tampan, karismatik, maskulin, berwibawa, terlihat begitu sempurna dengan gelar Kepala Sekolah Muda yang disematnya. Tak hanya guru-guru muda yang mengidolakan sosok itu, ada banyak murid yang juga sangat menyukainya.

Bagi Warna pribadi, bukan sebab alasan di atas yang membuatnya merasa amat gugup berhadapan dengan lelaki itu. Toh, sedikitpun Warna tidak pernah merasa tertarik dengan si Kepala Sekolah. Hanya saja, dari rumor yang beredar, lelaki yang kini menjadi lawan bicaranya itu terkenal dingin, tegas, berpendirian teguh, dan mungkin saja usulannya akan ditolak mentah-mentah.

"Setahu saya, di sekolah lain, guru BK mendapat kesempatan mengisi jam pelajaran bimbingan konseling di kelas. Saya tidak keberatan walaupun itu hanya satu hari dalam seminggu, yang penting anak-anak bisa mengenal saya dan mereka juga lebih tahu kalau BK itu tidak seperti yang mereka pikirkan selama ini." Juga, biar saya enggak selalu dibilang makan gaji buta, batin Warna mengimbuhkan.

Sesaat Juan—Kepala Sekolah SMA Yuasa—larut dalam diam, menimang-nimang. Selagi netranya menatap intens setiap pergerakan perempuan di hadapannya. Melihat ekspresi tegang yang tergurat di wajah cantik Warna, menerbitkan senyum tipis lelaki itu. Selama berada dalam ruang lingkup yang sama, sangat jarang mereka berinteraksi. Mereka pun jarang berjumpa tatap sebab baik Warna maupun dirinya lebih sering berdiam di ruangan masing-masing. Kalaupun ada kesempatan, mereka hanya bertegur sapa seperlunya. Juan tidak menyangka kalau guru BK itu bisa terlihat menggemaskan seperti ini.

"Saya akan mempertimbangkannya dulu."

Mendengar hal itu, Warna menoleh cepat ke arah Juan. Sedikit kecewa sebab usulannya tak langsung diterima. Namun, cukup beruntung juga sebab tak langsung ditolak. "Terima kasih, Pak. Saya harap Bapak bisa mengapresiasi usulan saya ini dengan bijak. Kalau gitu, saya pamit." Warna berdiri dari duduknya. Baru ia hendak meninggalkan tempatnya, kalimat Juan kembali menahan pergerakannya.

"Tunggu sebentar, Bu Warna. Sepertinya saya belum menyimpan nomor ponsel Ibu."

Alis Warna berjungkit refleks. "Maaf, Pak?" Gugup yang ada membuat Warna mendadak sulit mencerna kata-kata kepala sekolah berwajah tampan itu.

"Saya mungkin butuh nomor Bu Warna untuk memberi keputusan soal pengajuan ini." Juan menyodorkan ponselnya ke hadapan Warna. Isyarat agar perempuan itu menginput nomornya di sana.

"Ah, baiklah ...."

Bersambung
Bandung, 24 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top