II | Perawan Tua
"MBAK masukin kamu ke club Taekwondo itu bukan buat berkelahi sama orang lain, Tera."
Tera memutar bola mata jemu. Tak ingin terlalu banyak peduli dengan cerocosan Warna di beberapa menit terakhir ini, gadis berambut panjang itu justru melarutkan diri bersama pop mi rasa sotonya yang sudah tinggal setengah, tetapi masih terasa panas. Uap panas yang mengepul, tak lantas membuat gadis itu menjadi lebih hangat. Ekspresi wajahnya tetap dingin dan kaku.
"Lagian, kenapa, sih, kamu yakin banget kalau yang bajak Facebook dan Twitter kamu itu si Faran? Dia enggak keliatan pinter-pinter banget buat jadi hacker, deh." Warna mengambil posisi di sebelah Tera. Duduk dengan kaki terangkat ke atas sofa. Selagi mengunyah buah melon yang turut dibawanya dari dapur, tangannya sibuk membalas pesan yang baru saja masuk ke room chat-nya.
"Berisik banget, sih!" dengkus Tera. Kadang, ia heran kenapa sikap dan kepribadian Warna di sekolah dengan di rumah begitu berbeda. Tidak ada image lembut, ramah, baik hati, yang ada hanya urakan, bawel, dan seenaknya saja. Tera jadi curiga, kendati si Kakak merupakan mahasiswa lulusan fakultas psikologi, tidak menutup kemungkinan kalau Warna adalah penderita DID (Dissociative Identity Disorder) yang kepribadiannya tak hanya satu.
"Apa jangan-jangan ..." Warna mengubah posisi duduknya, menghadap ke arah Tera. Ditatapnya mata cokelat gadis itu dengan penuh prasangka.
"Mbak Warna, tuh, terlalu banyak ngurusin hidup orang, makanya sampai sekarang belum juga nemu jodoh." Tera memotong cepat, kalimatnya refleks membuat Warna mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
"Kamu tuh, ya!" Warna memasukkan sisa potongan melon terakhirnya dalam satu suap saja, lantas menatap si Adik dengan runcing.
"Kak Sabit bahkan udah punya cewek." Masih dengan nada datar khasnya, Tera semakin semangat melihat Warna terpojok. Wajah si yang lebih tua bahkan tampak memerah saat ini. Sepertinya Warna siap meledak hanya dalam hitungan detik saja.
"Sabiiiiiitttt!"
Benar saja, di detik ke sepuluh, wanita berkepala tiga itu tiba-tiba bangkit. Berjalan dengan langkah lebar-lebar ke arah salah satu kamar di rumah minimalis itu.
Di tempatnya, Tera berdecak. Kembali fokus menandaskan sisa Pop Mi-nya, sebelum bersiap-siap menonton adegan Tom and Jerry yang akan diperankan oleh kedua kakaknya.
***
Selepas lulus kuliah, Warna bekerja keras selama ini untuk membantu Yeyen—-ibundanya yang sudah menginjak usia senja—-membiayai kehidupan keluarga. Warna bahkan harus menunda kuliah S2-nya agar bisa menyekolahkan Sabit dan juga Tera. Maka dari itu, saat tahu kalau Sabit tak serius dengan sekolahnya dan malah berpacaran, membuat Warna sedikit emosi.
"Bilang aja Mbak itu iri karena udah tiga puluh dua tahun, tapi masih jones." Sabit membanting pintu kamarnya sesaat setelah berhasil mengusir Warna keluar dari wilayah kekuasaannya.
Amarah Warna perlahan naik menjalar hingga ke ubun-ubun. Wanita itu menggedor-gedor pintu kamar si Adik dengan brutal. "Heh, denger, ya! Mbak kerja keras buat biayain sekolah kamu itu bu—-"
"Temen aku tiga puluh dua tahun, udah jadi janda dua kali loh, Mbak," teriak Sabit dari balik pintu kayu berwarna putih di hadapan Warna. Memutus kalimat si Kakak.
"Mbak enggak peduli ya temen kamu mau jadi janda berapa kali pun. Pokoknya-—"
"Pokoknya, kalau tahun depan Mbak belum nikah juga, aku bakal naik ke pelaminan lebih dulu bareng cewekku." Kembali, Sabit memotong susunan kalimat Warna yang belum usai dilafalkan.
Di balik pintu sana, Warna semakin geram. Suara gedoran pintu semakin keras saja. "Heh, bocah sialan, ya!"
"Dia udah dua puluh lima tahun, bukan bocah lagi. Tahun depan dia bahkan lulus kuliah."
Tahu-tahu saja, suara itu menusuk gendang telinga Warna. Selagi tepuk keras di punggungnya terasa. Warna secepat kilat menoleh ke arah sumber suara dan sudah menemukan Yeyen melintas di hadapannya. Sebelum kemudian wanita yang sudah nyaris menginjak usia enam puluh tahun itu mengambil posisi di samping Tera yang masih duduk anteng di sofa sejak tadi.
"Tetep aja dia enggak boleh ngeduluin Mbaknya." Warna merengut kesal. Ia melangkah menghampiri Yeyen, ikut bergabung bersama Ibu dan adiknya di sofa.
"Ya makanya, kamu terima aja lamarannya juragan Dirsa. Selain enggak bakal keduluan sama adik kamu, kita juga bisa bayar hutang-hutang ayahmu sama para rentenir itu!" Yeyen memberi kode kepada Tera untuk segera pergi jaga warung, sementara ia akan istirahat sore ini.
Setelah suaminya meninggal lima tahun lalu, kehidupan cukup sulit untuk Yeyen dan juga keluarganya yang lain. Usaha toko bahan-bahan kue yang dirintis bersama suaminya terpaksa gulung tikar sebab banyaknya hutang yang harus dilunasi. Padahal, usaha mereka tengah melesat waktu itu. Kepergian sang suami tak hanya menitipkan luka, juga menambah beban berat di pundak Yeyen dan juga anggota keluarganya yang lain.
Sekarang, Yeyen membuka warung kecil-kecilan di pinggir jalan sana, hanya sepuluh menit dari rumah dengan berjalan kaki. Warung mereka buka dua puluh empat jam. Bergiliran mereka berjaga. Warna sendiri kerap kebagian berjaga dari jam delapan malam sampai jam sebelas, setelah itu bagian Sabit hingga menjelang subuh. Selama siang hari sampai Tera pulang sekolah, biasanya Yeyen yang menjaga. Warung mereka cukup ramai, setidaknya itu cukup untuk makan sehari-hari. Sementara gaji Warna yang tak seberapa disisipkan untuk biaya sekolah kedua adiknya.
"Emang Ibu mau lihat anaknya berdiri di pelaminan bareng pria tua yang udah bau tanah? Nanti digunjingin tetangga, gimana coba?" Kembali ke tema perbicangan antara Warna dan juga Yeyen sore itu. Tanpa diminta, Warna memijat pelan pundak si Ibu. Terenyuh dalam begitu tulang-tulang di balik tubuh yang kian rapuh di makan usia itu teraba. Warna sadar kalau si Ibu semakin tua, tetapi beban yang ditanggung sosok itu justru semakin tak berbelas kasih.
"Ibu malah bakal lebih malu kalau punya anak perawan tua."
Warna kontan menghentikan aksinya memijit Yeyen. Perempuan berpipi tembem itu kemudian melipat kedua tangan di dada, memasang ekspresi pura-pura kesal. "Seenggaknya jodohin aku sama yang lebih baik, Bu. Kayak Mas Al di Ikatan Cinta, aku serius enggak bakalan nolak, deh."
"Tolong bangun, Mbak!" Sabit muncul dari balik pintu kamarnya. "Mbak itu enggak pantes dapetin cowok segangteng itu bahkan di dunia mimpi sekalipun."
Mendengar itu, Warna seketika bangkit. Menatap horor sosok Sabit yang tengah cengengesan di ambang pintu kamarnya. "Mulut kamu tuh, ya, Mbak sumpel pakai cimol goang mau?!"
Sedetik setelah ancaman Warna terdengar, Sabit segera membiarkan pintu kamarnya menelan tubuhnya kembali. Menyelamatkan diri dari amukan Warna dengan mengunci pintu itu dari dalam. Gerak kaki Warna yang hendak bangkit guna menerjang Sabit, terhenti kala kalimat bernada sedih yang lolos dari mulut wanita tua di sampingnya mengudara.
"Kalau aja Abang kamu masih ada, Ibu mungkin udah gendong cucu sekarang."
Kalimat itu menelusup perlahan ke dalam sanubari Warna. Gerbang ingatan yang sempat tertutup itu perlahan terbuka, membawa kembali luka lama yang bahkan sampai saat ini tak kunjung mengering. Warna tahu, tak hanya dirinya yang menyimpan luka itu, tetapi juga wanita dengan wajah penuh keriput yang kini memenuhi fokus matanya. Atau mungkin luka di dalam hati si Ibu jauh lebih parah dari dirinya, Warna tak pernah tahu.
Bersambung
Bandung, 19 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top