I | Guru Paling Gabut

WARNA PELANGI tidak berhenti menggerutu di satu jam terakhir ini. Dengan aura gelap yang terpancar di balik wajahnya, perempuan 32 tahun itu membolak-balik berlembar-lembar kertas berisi data seluruh siswa di hadapannya. Ia harus mendata seluruh siswa, tetapi beberapa guru tak berhenti mengganggunya. Menyuruhnya melakukan banyak hal sehingga pekerjaannya tersendat-sendat.

"Mereka pikir, karena aku selalu terlihat gabut, mereka bisa seenaknya nyuruh aku ini dan itu? Sial!" Rutukan kesal itu mengudara, semakin menambah aura negatif di ruangan bimbingan konseling SMA Yuasa siang itu.

Kerjaan guru BK apa sih, Bu Warna? Berasa makan gaji buta kali ya?

Refleks tangan Warna terkepal kala sindiran salah satu guru mata pelajaran itu kembali terngiang. Semakin menyulut cepat sumbu amarah dalam dada saja. "Memangnya yang aku kerjain ini tugas siapa?!" Warna ingin sekali berteriak. Ia juga nyaris membanting pena yang tengah digenggamnya. Namun, suara pintu yang terbuka menahan niatnya. Saat itu juga, Warna terpaksa menenggelamkan seluruh ekspresi negatifnya. Sebisa mungkin si Guru BK itu mengubah air mukanya menjadi lebih tenang, lebih ramah.

Bola mata cokelat tua milik Warna kontan saja membulat saat Ema—guru mata pelajaran  yang juga wali kelas XI IPS 2—menyeret dua murid masuk ke dalam ruangannya. Kondisi mereka acak-acakan bukan buatan. Sepertinya, kedua murid berbeda jenis kelamin itu baru saja melakukan perkelahian. Melihat bekas luka di sudut bibir si murid laki-laki, membuat Warna kontan menatap tajam si murid perempuan.

"Bu Warna kayaknya perlu lebih tegas, deh. Karena guru BK-nya terlalu lembek, anak-anak malah jadi makin rebel kayak gini!"

Warna tidak tahu kenapa setiap kali terjadi kasus di sekolah, guru-guru selalu menyalahkan dirinya. Padahal, memahami manusia itu tidak semudah memahami pelajaran-pelajaran eksakta. Malah terkadang, untuk memahami diri sendiri saja begitu sulit, apalagi memahami orang lain. Selama ini, Warna sudah mencoba yang terbaik, tetapi memang mengubah pola pikir dan prinsip semua orang itu sesuatu yang sangat sulit.

"Kalian berdua, duduklah!" Berusaha menahan emosi sebab perkataan pedas Ema, Warna memberi perintah kepada anak-anak berseragam di sana untuk duduk di kursi yang disediakan. Bersamaan dengan itu, Ema memilih meninggalkan ruangan. Hentak kasar sepatu berhaknya, menandakan guru yang dikenal paling sarkastis dan judes itu begitu marah saat ini.

Panjang, Warna menarik napas. Mengontrol emosi yang tengah meletup-letup dalam dada. "Faran, Tera ...." Bergantian perempuan enam Januari itu melirik kedua remaja di hadapannya, selagi mulutnya mengudarakan nama anak-anak didiknya itu. "Jadi, bagaimana ceritanya?"

Mendengar tanya Warna, bola mata Tera kontan berputar, selagi decak kesal meluncur begitu saja dari mulutnya. Reaksi yang cukup eksplisit untuk menunjukkan kalau gadis itu tidak suka berhadapan dengan Warna.

Melihat reaksi Tera, Warna hanya bisa menghela napas. Semakin berusaha membuat benteng kokoh agar amarah dalam dadanya tak menyembur keluar. "Faran?" Kemudian, tatapnya terfokus penuh ke arah si murid laki-laki di hadapannya.

"Ibu Warna makin cantik aja, deh. Aku jadi suka lama-lama ada di sini," celetuk Faran kelewat santai.

"Kalau enggak serius, kali ini Ibu enggak bakal segan kasih kamu hukuman yang lebih serius!" Demi apa pun itu, jika ada kendaraan yang bisa membawanya, Warna ingin pindah saja ke Eris ketimbang menghadapi makhluk semacam Faran. Siswa langganannya, yang terlihat begitu asyik, ceria, tetapi sampai saat ini Warna tidak pernah bisa menebak permasalahan apa yang disembunyikan muridnya yang satu ini sampai-sampai dia begitu suka berbuat onar. Jika dihitung-hitung, ini sudah ketiga kalinya Faran berhadapan dengannya di bulan ini.

Mendengar ancaman Warna, Faran nyengir lebar. Sesaat itu membuat ringis lolos sebab luka di sudut bibirnya sedikit berdenyut. "Jadi ceritanya gini, Bu ...."

***

"FARAN, LO GILA YA?"

"Eh, kok, gue denger suara, ya? Apa sepatu gue kali, ya, yang ngomong?" Faran melirik Air Jordan abu-abunya dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat. Ruka dan Riku—kedua teman baiknya—yang saat itu ada di sana kontan tertawa melihatnya.

"Kayaknya bukan, deh, Ran. Pantat lo kali, tuh, yang ngomong," tukas Riku disusul oleh tawa membahana. Tawanya sampai mengundang perhatian seluruh pengunjung kantin siang itu.

"Kentut lo merdu banget, anjer!" timbrung Ruka membuat Tera semakin mendidih di tempatnya.

Tak sabar, Tera menarik kerah seragam Faran hingga remaja laki-laki itu kontan berdiri dari duduknya. "Karena gue cewek, lo pkir gue enggak berani, ya, sama lo?!" Tanpa peduli dengan seluruh siswa yang kini mulai berkerumun, Tera mendorong kasar tubuh Faran hingga sosok itu terjerembab di bawah meja kantin. Sigap, Ruka dan Riku membantu temannya itu untuk bangkit.

Faran mendengkus. Sejauh ini ia tahu siapa Tera. Selain galak dan judes, kabarnya Tera juga salah satu anggota club Taekwondo. Tentu saja, bukan hal sulit untuk gadis bernama lengkap Tera Alora itu melumpuhkan Faran yang bahkan pengetahuan ilmu beladirinya nol besar.

"Gue suka banget liat lo pas lagi mode galak gini. Manis banget masa?" Faran maju selangkah, berdiri di hadapan Tera dan menatap sosok itu dengan intens.

Si Kembar cengengesan di tempatnya. Sementara itu, desas-desus seluruh pengunjung kantin mulai terdengar.

"Balikin semua password sosial media gue, buruan!" Tera hanya yakin, di antara semua orang, hanya Faran yang bisa membajak Facebook, Twitter, dan semua sosial medianya kemudian mengubah kata sandinya.

"Yakin banget, sih, lo kalau gue yang bajak. Enggak ada kerjaan apa, ya, gue?!"

"Emang. Lo itu manusia paling gabut di muka bumi ini. Saking enggak punya kerjaan lo bahkan punya banyak waktu buat ganti password sosmed orang."

"Tapi, itu bukan gue, Tera Alora. Lo enggak tahu aja kalau gue ini sibuk banget akhir-akhir ini. " Sengaja, Faran memarkirkan tangannya di pundak Tera. "Gue sibuk banget mikirin lo, asal tahu aja."

Begitu rentetan kalimat terakhir yang Faran ungkap itu menyentuh gendang telinganya, emosi Tera meledak seketika. Dalam satu jurus, dilayangkannya tinju ke arah wajah Faran. Saat itu juga sorak ramai para siswa menggema di penjuru kantin. Sebagian di pihak Tera, sebagian lagi berada di pihak Faran.

"Lawan elah, Ran." Riku memprovokasi. Ia mendorong tubuh Faran cukup keras sampai tubuhnya menabrak Tera, sebelum akhirnya kedua siswa berseragam Yayasan SMA Yuasa itu sama-sama jatuh di atas lantai dengan posisi Faran di atas dan Tera d bawahnya.

Melihat posisi mereka yang dramatis, sontak sorak seluruh orang makin bergemuruh.

Melupakan semua jurus yang pernah dipelajarinya, dalam sekali gerakan saja, Tera menjambak kasar rambut Faran. Merasa rambutnya ditarik hingga rasanya akan lepas, Faran pun refleks menarik rambut panjang Tera. Alhasil, siang itu di jam istirahat, terjadi aksi saling jambak sampai kemudian kedatangan waka kesiswaan memutus perkelahian itu.

***

"Saya lebih setuju kalau Faran itu dikeluarkan saja. Dia bahkan berani menyerang siswa perempuan, bukankah itu sangat keterlaluan?"

Warna baru saja menceritakan kejadian yang sebenarnya—berdasarkan dari pengakuan Faran. Namun, respons Ema sebagai wali kelas Faran dan juga Tera sungguh diluar dugaan. Deretan kalimat yang baru saja bertepi di telinga, membangkitkan kembali emosi negatif yang sempat terlelap dalam diri Warna. Ingin Warna meledak-ledak, membludakkan semua kosakata kasar yang ada di dalam kepalanya. Demi Tuhan, ia berjuang untuk memahami semua siswa-siswanya yang bermasalah, terlebih Faran, tetapi kenapa Ema terlihat begitu mudah mengatakan hal itu. Kata-kata itu, membuat Warna merasa telah gagal menjadi guru BK.

Dalam hati Warna menghitung mundur dari sepuluh sampai satu guna kembali menata emosi dalam dadanya. Namun, Teori Thomas Jefferson itu tak lantas membuat sumbu dalam dadanya padam kendati kini ia mulai menghitung mundur dari angka seratus. Terlebih ketika ...

"Iya, emang anak itu keterlaluan. Sering bolos, tidur di jam pelajaran, malah katanya bener enggak, sih, kalau si Faran ini ngobat?"

"Iya, tuh. Saya pernah dengar beberapa siswa membicarakan hal itu. Katanya mereka pernah lihat dia ngonsumsi obat gitu."

"Tuh, kan, bener? Makanya saya lebih setuju kalau dia dikeluarkan dari sekolah saja."

... gunjingan para guru itu, Warna kira benar-benar sudah keterlaluan.

"Bagaimana bisa kalian berkata seperti itu tentang murid kalian sendiri? Seenggaknya, sebelum memutuskan tindakan apa yang perlu diambil, kita perlu mencari tahu alasan apa yang membuat si murid seperti itu. Kalau kita sebagai gurunya saja menyerah dengan mereka, mereka mungkin lebih menyerah dengan dirinya sendiri."

Dalam bayangan Warna sekarang, dia sudah berdiri seraya menggebrak meja. Menunjuk-nunjuk ketiga guru di hadapannya dengan amarah berkobar. Namun, image kalem nan anggun, ramah dan lemah lembut yang tertanam dalam dirinya di sekolah ini, membuat perempuan pekerja keras itu hanya bisa berujar dengan nada suara lembut, tetapi agak menusuk.

Mendengar kalimat Warna ketiga guru itu kontan mendelik.

"Bu Warna ngomong gitu, kan, enggak tahu rasanya di posisi kita. Orang Bu Warna kerjanya cuma duduk manis di ruang BK."

Tangan warna terkepal, merasa tersinggung. Ingin ia kembali menyuarakan pendapatnya. Namun, sadar kalau berdebat dengan orang yang tak benar-benar mampu menatap permasalahan melalui kacamata psikologi, dan hanya berpegang teguh pada prinsip logika yang salah tetap salah dan yang benar tetap benar, tidak akan pernah menemui ujungnya.

Alhasil, Warna hanya bisa menghela napas lelah. Ia membereskan beberapa alat-alat tulisnya, berniat untuk menghindar. Namun, sebelum pergi Warna sempatkan diri untuk berujar, "Anak-anak seperti Faran itu, perlu tahu siapa dirinya. Dan tugas kita sebagai orang yang lebih dewasalah yang harus mengarahkannya. Bukan malah semakin memukul mundur dirinya."

Kadang Warna heran, kenapa di antara sekian banyak pengajar, mereka hanya memperhatikan siswa-siswa yang bersinar, berprestasi, dan membanggakan. Padahal, jelas yang membutuhkan perhatian lebih itu justru siswa-siswa bermasalah.

Bersambung
Bandung, 17 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top