Prolog
Warung kopi kecil itu berdiri di garasi rumah tua yang diwariskan oleh orang tua Barjo. Rumah itu berada di ujung jalan sempit berbentuk tusuk sate, dengan garasi sederhana di halaman depan yang luas dan asri. Namun, meskipun modern dan estetik, tetap saja menurut tetangga sekitar, rumah Barjo itu angker karena dulunya merupakan lokasi beberapa petak kuburan. Sering terdengar suara-suara aneh di malam hari, katanya. Tapi Barjo yang lebih sibuk dengan kesepiannya, tidak peduli dengan semua omongan itu. Ia hanya ingin menjalani hidup dan, kalau beruntung, mendapatkan pelanggan tetap.
Masyarakat percaya bahwa lokasi tusuk sate membawa sial, terutama untuk bisnis. Konon, posisi seperti itu memotong aliran energi baik dan membuat pemilik usaha rentan menghadapi masalah, mulai dari kerugian hingga ke perkara-perkara mistis. Tapi bagi Barjo, keberuntungan sudah lama menjadi barang mewah. Tidak ada yang bisa menangkapnya, ataupun mengusirnya.
Hari ini adalah hari pertama Barjo membuka warung kopinya, tapi sampai detik ini pun, masih belum ada pelanggan yang datang. Ia terlihat sedang sibuk bosan menunggu, sambil sesekali menghela napas berat, menatap halaman luasnya yang sepi.
"Semoga malem ini dapet pelanggan kek," gumamnya, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. "Setan juga enggak apa-apa dah, yang penting ada." Dilanjutnya dengan sedikit candaan dan kekehan tipis.
"Malam jumat yang selanjutnya, kubermaksud lewat lainnya. Malah nyasar ke hutan rimba, tempat setan pesta narkoba ...."
Lewat radio, lagu Malam Jumat Kliwon, dari OM PMR mengisi kehampaan di warung kopi tersebut. Barjo ikut bernyanyi untuk membunuh rasa jenuh. Namun, ia tak sadar, bahwa suaranya yang butut bak knalpot Supra yang tidak fit itu, bisa saja mengundang kemarahan makhluk ghaib, karena dianggap menantang mereka. Dikiranya lagi komat-kamit baca mantra.
Karena asik bernyanyi, Barjo tak sadar bahwa ada satu pelanggan wanita yang duduk mengisi meja di pojok warkop. Sambil memasang tampang cool, ia berjalan menghampiri pelanggan tersebut.
"Mau pesen apa?" tanyanya sambil menyodorkan daftar menu pada wanita itu.
"Kopi hitam ya, Mas," ucapnya dengan nada datar. Wajahnya tertunduk dan tertutupi rambutnya yang panjang menjuntai. Pakaiannya serba putih dan terlihat lusuh, sudah agak menguning.
Mendengar suaranya dan menghirup aroma melati dari wanita itu, Barjo sontak merinding. Namun, ia harus tetap profesional sebagai penjual. "Pake gula apa pait aja?"
Wanita itu mendongak perlahan, dengan gerakan yang sangat kaku. Saat wajahnya terlihat jelas di bawah lampu kuning remang-remang, Barjo hampir menjatuhkan daftar menu dari tangannya. Kulit wajah wanita itu pucat seperti kertas, dengan urat-urat kebiruan yang tampak jelas di bawahnya. Pandangannya kosong, menatap lurus ke arah Barjo, membuat tengkuk si penjual kopi itu semakin dingin.
Mulutnya melengkung menjadi senyuman kecil, tapi lebar, memperlihatkan deretan gigi yang tidak rata, seperti potongan pecahan keramik. "Pait aja, Mas. Kalo manis, nanti aku enggak bisa move on, hihihihihihi."
"Se-se-se-se-se ...." Barjo tergagap-gagap dengan tubuh kaku membeku. Inign rasanya ia kabur, tapi tidak bisa. "SETAAAAN!"
Dahulu, tanah ini adalah tempat pemakaman keramat, sebelum digusur demi berdirinya rumah tua yang kini dimiliki Barjo. Rumah yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada dinding lapuknya. Generasi demi generasi datang, masing-masing membawa tragedi kecil mereka, hingga akhirnya hanya sunyi yang tersisa.
Di atas tanah ini, kami telah menyaksikan hidup dan mati, tangis dan tawa, kebahagiaan yang singkat, dan duka yang tak berujung. Manusia datang dan pergi, tapi kami yang tertinggal tetap di sini, terikat pada cerita yang tak pernah usai. Kini, seorang pemuda bodoh mencoba mengubah takdir tempat ini. Ia menyebutnya warung kopi. Lucu sekali. Ia tak tahu, kami semua belum pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top