2 : Sahabat Kecil
Namanya rezeki, sudah ada yang atur. Sesepi-sepinya warkop di jalan tusuk sate ini, tetap saja pada akhirnya akan menemukan pembelinya. Siang ini, beberapa meja terisi oleh manusia betulan. Namun, tetap saja, rumor mengenai rumah Barjo tidak perna lepas dari hal-hal berbau mistis.
"Katanya di sini tempat pesugihan tau," ucap seorang pelanggan yang duduk berdua dengan temannya.
"Eh, Bang, kalo semisal gua pake pesugihan, warkop gua udah lebih rame dari Starbucks kali! Mata lu keringetan apa gimana sih? Menurut lu—warkop gua rame?" sahut Barjo yang kebetulan datang membawakan dua mangkok indomie rebus dan es temulawak.
"Ya rumornya sih gitu, Bang," balasnya dengan tampang tak enak pada Barjo.
"Kalo rumor angker, gua masih terima. Di sini emang banyak setannya, tapi kalo pesugihan sih—gua kagak terima, nanti pada bangga setan di sini. Setan di sini pada miskin, ngopi aja kagak bayar, gimana mau ngasih gua kekayaan coba?"
"Jo, kita dengar, loh!" seru Pak Mardjo yang sedang berkumpul dengan demit lainnya di meja paling ujung, benar-benar di ujung, dekat pohon beringin tua raksasa yang membuat warkop milik Barjo teduh dan syahdu.
"Kalo meja yang di ujung itu buat apa, Bang? Kok misah sendiri?" tanya pelanggan itu saat melihat Barjo yang tiba-tiba terdistraksi ke arah sana. "Jangan-jangan buat ritual, ya?"
"Iya, itu sejenis syarat. Biar mereka kagak ganggu, jadi saya pasang meja di sana, biar energi negatifnya ketarik ke deket pohon," jawab Barjo.
Pelanggan yang satunya baru saja menyuap indomie buatan Barjo. "Bang, indomienya enak banget! Jangan-jangan, pake ludah pocong, ya?"
"Wah, Ma, parah, Ma." Mang Didi langsung menepok bahu Darma yang sedang duduk menatap kosong ke arah sembarang. Darma pun tersadar dari lamuannya dan menatap marah pada pelanggan yang sudah memfitnahnya. "Kasih mereka paham, Ma."
"WOY! SIAPA TUH BAWA-BAWA LUDAH POCONG?! ITU SI BARJO SENDIRI YANG NGELUDAH! DIA ITU BENTUK SEJATI DARI PESUGIHAN ITU SENDIRI!" teriak Darma yang tiba-tiba kehilangan skill pujangganya karena emosi difitnah. Ia bangun dari kursi, lalu melompat-lompat ke arah Barjo dan dua pelanggannya. Sempat terpeleset embun rumput, tapi bangun lagi seperti ulat dan kembali melompat meskipun susah payah.
Barjo sejujurnya agak takut dengan hantu difable itu. Entah, meskipun selalu melayangkan pantun jenaka dan kata-kata berdiksi dewa, tetap saja melihat sosok pocong itu agak menyeramkan. Seperti hanya Mbak Kun.
Darma kini sudah berada di sebelah pelanggan yang tadi sempat memfitnahnya. Napas pocong itu ngos-ngosan, engap. Ia agak mendongak, lalu menarik napas dalam-dalam meskipun tidak bisa bernapas, lalu ... "KHUEEEKKKK." Ia kumpulkan reak astralnya, setelah itu .... "CUIH!" Ia meludahi wajah orang tersebut.
"Hihihihihihi." Mbak Kun ngikik brutal melihat Darma yang marah dan meludahi manusia itu.
"Sukurin!" timpal Mang Didi. "Jadi enak dah lu!"
Darma mendongakkan kepalanya, matanya kosong menatap langit, lalu dengan nada yang berat, ia berkata. "Mengapa lisanmu lebih tajam dari pedang? Adakah kau tahu kisah yang kau lemparkan, atau hanya bisikan yang kau telan buta? Ketahuilah, wahai manusia. Penilaian yang tiada dasar adalah racun bagi jiwa. Berhati-hatilah dalam menuding perkara yang tak kau mengerti, sebab, mungkin kau justru akan melukai dirimu sendiri."
"Hahahanjasss ...," lirih Barjo cengegesan mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Darma.
***
Menjelang sore, para pelanggan asli Barjo berhamburan setelah membayar. Mereka yang sedang asik mengobrol, dan bahkan belum menghabiskan santapan mereka pun pamit undur diri. Pasalnya, mereka semua merinding berjamaah.
Kini, Barjo sedang menata kursi-kursi plastik di warkopnya untuk menghapus sepi yang kembali hadir. Suara langkahnya lembut, cukup untuk membuat si pemilik warkop menoleh. Seorang wanita melangkah masuk perlahan, ia mengenakan blouse putih polos dengan scarf abu-abu melingkar di lehernya.
Barjo menghentikan aktivitasnya, mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan sosok itu bukan salah satu makhluk hologram. Wanita itu menatap sekeliling sebelum akhirnya pandangan mereka bertemu. Ia memicingkan mata ketika melihat komuk Barjo. "Barjo? sapanya agak ragu, terdengar seperti sedang memastikan bahwa penjaga warkop itu adalah pemilik nama yang ia sebut.
Di sisi lain, Barjo mengerutkan kening, berusaha mengingat siapa wanita itu, sampai pada satu titik, matanya membulat utuh dan menatap balik mata wanita tersebut. "Jodohku?"
Wanita itu tertawa mendengar celetukan Barjo. "Kamu enggak pernah berubah, Jo, selalu lucu kalo ngomong."
Barjo mengamati wajah itu lebih saksama. Sebuah kilasan kenangan melintas di benaknya—seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua yang suka memukul pundaknya dengan buku pelajaran saat SD dulu.
"Tata?" gumamnya lirih.
Wanita itu tersenyum kecil, sambil mengangguk pelan. "Iya, ini aku. Aghata."
Barjo dan Aghata merupakan teman masa kecil. Mereka sering bersama karena rumah mereka dekat, dan kebetulan mereka satu sekolah dan satu kelas pula selama empat tahun. Di kelas lima, Barjo pindah ke pusat kota karena orang tuanya dimutasi kerja ke luar negeri. Sejak saat itu, Barjo tinggal bersama neneknya di kota dan tidak pernah bertemu dengan Tata lagi sampai hari ini.
Barjo tertawa kecil, ia agak canggung. Wajar, Tata sudah jauh berbeda dari terakhir mereka bertemu. Dahulu, Tata ini adalah gadis yang paling hindari karena buas dan berbahaya. Namun, saat ini, wanita itu terlihat sangat cantik dan menggugah selera. "Wah, belasan tahun kagak ketemu, eh, udah bermetamorfisis jadi cakep gini lu. Apa kabar, Ta?"
Tata menghela napas, lalu menarik kursi plastik di depannya. Ia duduk tanpa menunggu dipersilakan, terlihat nyaman, seolah-olah warkop Barjo adalah rumah lama yang dirindukannya.
"Baik," jawabnya sambil tersenyum. "Enggak nyangka kita bakal ketemu lagi. Dulu lu ninggalin gua tanpa pamitan."
"Hehe." Barjo menggaruk belakang kepalanya. "Gue kira lu udah lupa sama gua dan tempat ini."
"Enggaklah, Jo. Di sini tempat kita tumbuh dan main sama-sama. Kata orang-orang sih rumah lu serem, tapi bagi gua enggak, karena gua ngerasa punya ikatan batin sama tempat ini, terutama sama lu. Makanya, waktu enggak sengaja lewat sini dan liat ada plang warung kopi, gua sengaja melipir buat minum bentaran, dengan harapan ketemu lu."
"Eh, ketemu beneran," balas Barjo terkekeh.
Keduanya terdiam sejenak, menikmati keheningan yang anehnya terasa akrab. Di sudut warkop, Pak Mardjo, Darma, dan Mang Didin hanya memandang dari jauh, membiarkan percakapan itu mengalir tanpa gangguan. Bahkan Mbak Kun menahan diri untuk tidak mengusili Barjo kali ini.
"Eh, lu mau pesan apa, Ta?" Barjo akhirnya memecah keheningan. "Indomie rebus gue sekarang udah next level, lu harus coba."
Tata tertawa kecil. Suara itu yang membuat Barjo merasa mereka kembali ke belasan tahun lalu. "Kok bisa?"
"Gua udah tau triknya, Ta," jawab Barjo.
"Apa tuh triknya?" tanya Tata.
"Air rebusannya jangan diganti seminggu, terus kalo airnya nyusut, tambahin air rendeman cucian."
"Ya udah deh, kalo gitu gua ngopi aja, daripada keracunan," balas Tata.
"Just kidding, Ta," timpal Barjo. "Lu mau kopi apa? Saset apa kopi asli?"
"Oh, lu main kopi asli juga, Jo? Biasanya warkop model gini cuma jual kopi sasetan?" tanya Tata.
"Setannya bener, tapi kalo statement lu salah. Warkop gua mah buat semua kalangan, Ta. Dari segmen ekonomi ke bawah bisa, sampe pejabat juga ayo. Gua ada robusta sama arabica, tinggal pilih aja."
"Kopi luak ada, Jo?" tanya Tata.
"Tapi luaknya gua, Ta. Mau lu?"
"Ih, kopi bekas tai lu dong? Ogah ah. Gua robusta pake SKM aja, Jo," jawab Tata. "Pokoknya, gua pesen kopi spesial racikan lu aja deh."
"Siap! Kopi robusta pake susu kental manis."
Saat Barjo beranjak ke dapur kecilnya, Tata menghela napas panjang. Matanya memandang pohon beringin di ujung warkop, tempat meja khusus para pelanggan tetap warkop itu berada.
"Tempat ini masih sama," gumamnya pelan, bermonolog.
Namun, Darma yang mendengar dari jauh hanya tersenyum samar. "Tidak, Nona. Tempat ini berubah. Seperti kami, seperti kalian. Hanya saja, kenangannya yang tak pernah benar-benar pergi."
Tak lama berselang, Barjo kembali ke meja membawa secangkir kopi robusta dengan susu kental manis. Uapnya mengepul lembut di udara yang mulai menggigil. Ia menyajikan cangkir itu dengan senyum yang membuat Tata kembali teringat masa kecil mereka.
"Nih, kopi spesial gua. Rasanya kagak cuma nikmat di lidah, tapi juga bikin hati angeti," katanya setengah bercanda.
Tata meraih cangkir itu, menghirup aroma kopi yang pekat sebelum menyeruput perlahan. Matanya menatap Barjo dengan senyum samar. "Enak, Jo, gua suka."
Barjo tertawa kecil, menyembunyikan sedikit rasa gugup yang muncul tanpa alasan jelas. Ia duduk di seberang Tata. "Tapi gua penasaran, Ta. Lu ke mana aja selama ini? Hidup lu pasti jauh lebih seru dibanding gua yang cuma buka warkop, kan?"
Tata tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Ia mulai menceritakan beberapa kejadian dalam hidupnya, semenjak Barjo pergi tanpa ada kata perpisahan.
***
Waktu bergulir kembali.Di pagi buta, sekitar jam empat, suara gaduh dari arah warkop Barjo kembali mengusik tidur Bu Leha, pemilik kos-kosan sebelah. Dengan rambut yang masih diikat asal-asalan dan daster polkadot yang lusuh, ia keluar dari rumahnya dengan muka dongkol. Dari luar pagar kos, Bu Leha menatap tajam ke arah gapura depan rumah Barjo. Meskipun tidak terlihat apa-apa, tapi suara di tempat itu sangat riuh oleh gelak tawa pengunjung.
"WARKOP APAAN SIH INI?! RAME TERUS 24 JAM, WOY! STARBUCKS BUKA CABANG DI SINI APA GIMANA SIH?!" gerutunya sambil melipat tangan di dada. "Astaghfirullah, ini pasti si Barjo pake pesugihan nih! Ramenya enggak masuk akal. Masa sampe jam empat pagi?" gumam Bu Leha penuh kecurigaan.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top