Prolog

Sebelum mulai jangan lupa untuk vote dan komentarnya ya🥰
❤️🧡💛💚💙💜🖤🤍🤎

🌸🌸🌸

Malam ini menjadi malam yang luar biasa bagi Adit dan Siska. Sebab, jarang sekali keempat anak perempuan mereka yang sibuk tiada ujung bisa berkumpul di meja makan untuk merayakan ulang tahun Adit yang ke-55. Ditambah lagi, Adit dan Siska tahu betul jika keempat anak perempuan mereka tidak dekat satu sama lain, seperti yang terlihat jelas saat ini. Tidak ada pembicaraan yang dimulai sama sekali sedari tadi.

Adit mengedarkan pandangan secara bergantian ke keempat putrinya, lalu berakhir melirik sang istri yang langsung menganggukkan kepala, memberi tanda secara tidak langsung agar ia segera memulai perbincangan.

Adit berdeham untuk membersihkan tenggorokannya kemudian berdiri sambil mengangkat gelas minuman, "Terima kasih kalian sudah meluangkan waktu untuk merayakan ulang tahun Papi. Papi sudah tidak muda lagi, sehingga kedatangan kalian yang lengkap saja sudah sangat menyenangkan hati Papi."

"Iya, Papi. Asal jangan lupa kasih aku uang, ya. Kemarin janji kalo aku hadir bakal dikasih uang jajan." Jeklin berucap dengan nada sok manis dan kedip-kedip merayu.

Siska geleng-geleng kepala. "Uang mulu kamu, tuh. Pusing lihatnya."

Jeklin nyengir, lalu melempar chef's kiss di udara untuk sang ayah, tanpa berniat bangun dari tempat duduknya. "Happy birthday, Papi! I wolf uuuuu!"

Joanna ikut berdiri sambil mengangkat tinggi gelasnya yang berisi air putih, "Selamat ulang tahun, Papi." Ia memberikan senyum terbaiknya kemudian berjalan mendekati Adit untuk mengecup pipinya singkat sebelum kembali ke tempatnya.

Sementara Jesslyn, si bungsu, yang duduk paling jauh dari sang ayah sedari tadi tak henti melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Ia sudah punya janji untuk ikut party bersama teman-temannya. Pertemuan keluarga ini sungguh membuatnya jengkel. Ia jadi kehilangan beberapa jam waktunya bersama teman-temannya.

"Selamat ulang tahun, Pi," ucap Jesslyn dengan nada malas dalam suaranya, dan enggan mengangkat bokongnya dari kursi.

Adit dan Siska sama-sama berpaling pada Jeklin dan Jesslyn, mendesah lelah melihat dua gadis itu yang enggan berdiri dan tampak tak antusias. Ciri khas Jeklin dan Jesslyn sekali.

Perhatian keduanya teralihkan ketika Josephine, putri ketiga mereka menghampiri Adit. Josephine memberikan kecupan singkat di pipi Adit seraya berkata, "Selamat ulang tahun, Pap."

Josephine sengaja meluangkan waktunya untuk ulang tahun Papinya malam ini. Ia hanya diam saja dan tidak berniat menyapa saudara-saudaranya.

Mengabaikan Jeklin dan Jesslyn yang masih tidak ada tanda-tanda untuk bangkit berdiri, Adit pun mengajak istri dan kedua anaknya untuk melakukan cheers.

"Cheers," ajak Adit. Ia mengangkat tinggi gelasnya sambil menyodorkannya agar gelas mereka berdenting.

"Untuk umur panjang, hidup bahagia, dan kesuksesan tiada akhir," kata Joanna. Ia menatap Adit yang terlihat bahagia, sedangkan dari ujung matanya ia masih mendapati kedua adiknya yang tidak tertarik.

"Berhubung hari ini hari yang sangat penting bagi Papi dan kalian semua berkumpul di sini, ada yang ingin Papi sampaikan," kata Adit, sembari duduk kembali di kursinya. "Karena Papi sudah semakin tua, jadi Papi ing—"

"Papi mau bagi warisan?! Oh, My God! Aku siap, Pi!" potong Jeklin secepat kilat dengan suara heboh.

Mendengar celetukan sang kakak, Jesslyn yang tadinya tidak tertarik, kini mulai melemparkan perhatian penuh pada pembicaraan yang sedang berlangsung. Sedangkan Joanna berdeham kecil, memberi peringatan pada Jeklin yang duduk di hadapannya. Ia menganggap tindakan Jeklin sangatlah tidak sopan.

Berbeda halnya dengan Josephine yang sibuk memainkan ponselnya. Hanya melirik sekilas saat mendengar warisan disebutkan. Josephine tidak begitu tertarik dengan topik warisan yang dibahas. Meskipun begitu, Jo tetap memasang telinganya dengan baik.

Adit memberi lirikannya pada Jeklin yang berceletuk sesuka hati, kembali mendesah panjang karena tingkah laku anaknya yang satu itu.

Setelah suasana kembali hening, Adit pun melanjutkan ucapannya yang belum selesai. "Jadi, selain untuk merayakan ulang tahun, Papi juga mengumpulkan kalian semua di sini untuk memberi tahu tentang warisan yang akan Papi berikan nantinya."

"Tuh, kan. Akhirnya dapat uang!" celetuk Jeklin dengan senyum riang. Di kepala Jeklin cuma ada uang, uang, uang, jadi dia tidak peduli dengan tatapan saudari-saudarinya.

Lagi-lagi Adit dibuat menghela napas panjang oleh Jeklin dan celetukan sesuka hatinya.

"Papi lanjut?" tanya Adit setelah suasana kembali hening.

"Gimana, Pi, gimana? Jadi, warisannya kapan mau dibagi?" tanya Jeklin, masih semangat menunggu kelanjutan sang ayah.

"Hush! Yang kamu tahu cuma uang," tegur Siska pada Jeklin yang sudah diperingati berulang kali, tetapi masih bersikap sama. Ia mengalihkan pandangannya pada Adit, "Gimana papimu mau lanjut kalau kamu nyeletuk terus?" Ia menyentuh punggung tangan suaminya, secara tidak langsung meminta suaminya untuk bersabar dengan tingkah anak mereka.

"Maaf, deh, maaf. Lanjut, Pi. Suwer terkowor-kowor kali ini nggak nyeletuk. Yuk, lanjut. Eki udah siap dengerin Papi, nih." Jeklin tersenyum lebih lebar. Matanya berbinar-binar membayangkan soal warisan. Bau uangnya sudah tercium.

Adit kali ini merespons Jeklin dengan decakan kecil sebelum kembali melanjutkan omongannya. "Papi memang ingin membagikan warisan untuk kalian, tetapi ada syarat yang harus dipenuhi."

"Ada syaratnya?" tanya Josephine yang merasa semakin tertarik karena dia paling suka dengan tantangan.

"Tentu," Adit menganggukkan kepalanya, "tidak ada yang gratis dan mudah di dunia ini."

Adit menatap Siska yang duduk di sebelahnya. Ia menarik napas kemudian mengembuskannya pelan, seperti meyakinkan dirinya sendiri terlebih dulu sebelum bicara. Setelah itu, ia mengedarkan pandangan kepada keempat putrinya satu persatu sambil menyampaikan keinginannya. "Papi udah buat wasiat soal warisan. Satu orang dari kalian, empat bersaudara, bisa mendapatkan warisan dalam wasiat itu jika berhasil menikahi pria pilihan Papi. Jadi, kalian bisa ambil dan pergunakan warisan itu sebelum Papi meninggal."

"HAH?!" Jesslyn yang sedari tadi tak bergerak dari posisinya, pada akhirnya bangkit berdiri dengan mata yang melotot lebar, menatap Adit dengan pandangan ngeri. "Menikah? Aku masih terlalu muda untuk menikah, Pi," protesnya.

"Siapa pria pilihan Papi?" timpal Josephine yang sekarang sudah sepenuhnya menyimpan ponselnya.

Joanna hanya diam, menunggu kalimat Adit yang tampaknya belum selesai. Ia tidak terbiasa mengungkapkan perasaannya seperti tiga adiknya.

Adit hendak menjawab, tetapi urung ketika melihat kedatangan seorang pria di antara mereka. Sosok pria tersebutlah yang dimaksud Adit.

"Selamat malam, Om. Maaf saya terlambat," ucap pria itu, sambil tersenyum.

Jeklin spontan mengangkat satu alisnya melihat laki-laki itu dan berkata, "What the fudge?"

Lagi-lagi Joanna berdeham untuk memperingati adiknya agar bertutur kata yang sopan, apalagi di depan orang lain. Meskipun sudah hidup bersama lebih dari dua puluh tahun, ia masih kesulitan untuk menyesuaikan diri menjadi kakak yang baik dan benar bagi adik-adiknya. Mereka berempat memiliki kepribadian yang terlampau berbeda.

Pria itu berjalan menghampiri Adit kemudian menyerahkan paper bag yang bertuliskan brand ternama sembari berucap, "Selamat ulang tahun, Om."

"Nah, ini dia," Adit menerima hadiah itu, kemudian menepuk punggung pria muda di sampingnya. "Kelvin Renata, pria yang Papi maksud."

🌸🌸🌸

Bab ini dibuat berempat, bersama lyanchan anothermissjo dan rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top