Bab 8

“Gue masih belum bisa, Rin,” lirih Jesslyn, yang kini sudah berada di apartemennya, duduk bersandar pada headboard ranjang sembari memeluk boneka bantalnya.

Pikiran Jesslyn kacau. Hatinya juga ikut merasa waswas. Sudah empat tahun berlalu, tetapi rasa traumatisnya akan kantor polisi belum juga pulih. Jesslyn masih sering terserang panik bila berada di kantor polisi.

Selama empat tahun ini, Jesslyn memang tak pernah menginjakkan kakinya di kantor polisi mana pun. Bahkan, di tahun pertama, Jesslyn bisa menjerit histeris hanya karena melihat kantor polisi dalam perjalanan. Untuk itu, ia terkadang lebih memilih menutup matanya di sepanjang perjalanan.

Beruntung di masa-masa sulitnya ia bertemu  dengan Orin, yang merupakan anak dari psikiater yang menanganinya. Orin yang seumuran dengannya sangat membantunya dalam proses penyembuhan. Apalagi saat itu Jesslyn benar-benar tidak punya siapa pun. Kedua orang tuanya sibuk. Begitu pula dengan ketiga kakaknya yang acuh tak acuh. Dan teman-temannya juga meninggalkannya begitu saja.

“Lo kenapa bisa ke kantor polisi, sih? Mana tiba-tiba banget lagi,” omel Orin, yang baru kembali dari dapur dengan membawa segelas minuman hangat untuk Jesslyn.

“Ceritanya panjang.” Jesslyn berdeham di akhir kalimat. Tenggorokannya serak karena hampir satu jam ia terus-terusan menangis.

Orin menghela napas panjang, kemudian duduk di pinggir ranjang seraya menyerahkan segelas minuman hangat tersebut pada Jesslyn.

“Minum dulu.”

Gelas tersebut sudah berpindah tangan ke Jesslyn. Aroma dari teh chamomile yang mirip dengan buah apel langsung terendus oleh hidungnya. Serta-merta membuat tubuhnya jadi agak rileks dan pikirannya jadi sedikit lebih tenang.

Bibir Jesslyn sudah menyentuh pinggiran gelas, pelan-pelan menyesapnya dengan matanya yang memejam, menikmati teh chamomile yang segar dan membuat tenggorokannya terasa hangat seketika.

Panik dan rasa takut yang menyerangnya bertubi-tubi membuat pikiran Jesslyn jadi berantakan. Otaknya tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Ia hanya ingin pergi dari kantor polisi yang berhasil mengundang memori buruk dan mencabik-cabik pertahanan dirinya.

Hal terakhir yang Jesslyn lakukan sebelum pikirannya semakin menggila adalah memanggil taksi untuk membawanya pergi sesegera mungkin dari kantor polisi. Juga meninggalkan Arai yang mungkin akan menganggapnya gila setelah ini.

“Kalau memang belum bisa, jangan dipaksain, Jess.” Orin kembali buka suara setelah melihat Jesslyn menghabiskan tehnya. Tepukan ringan juga diberikan di paha Jesslyn. “Pelan-pelan aja,” tambahnya, dengan suara yang melembut.

Jesslyn meletakkan gelas yang kosong di atas nakas terlebih dahulu sebelum memindahkan pandangannya pada Orin. “Kenapa rasanya susah banget ya, Rin?”

Orin mengangkat kedua kakinya dan naik ke ranjang, duduk di sebelah Jesslyn yang tampak kembali berkaca-kaca. Digenggamnya kedua tangan Jesslyn seraya berkata, “Karena lo selalu nyalahin diri lo sendiri. Udah cukup, Jess. Lo nggak perlu lagi terlibat sama masalah itu.”

Bibir Jesslyn bergetar. Tatapannya turun ke bawah, menghindari Orin. “Tapi semua itu memang salah gue.” Suaranya memelan di akhir kalimat karena tenggorokannya terasa tercekat.

Orin menarik punggung Jesslyn dengan lembut, membawa temannya itu ke dalam pelukannya. Dan pada saat itu pula tangis Jesslyn kembali pecah, mengeluarkan semua sesak dan rasa takut yang mendiami hatinya.

“Kejadian itu nggak sepenuhnya salah lo. Dan lo udah cukup bertanggung jawab. Sekarang cari dua temen bangsat lo itu, Jess. Minta mereka untuk gantian tanggung jawab,” ucap Orin, terdengar agak penuh dendam. Meski begitu, ia tetap menepuk-nepuk pelan punggung Jesslyn untuk menenangkannya.

Jesslyn tak menanggapi kalimat Orin, ia hanya mengeratkan dekapannya di tubuh temannya itu sembari menumpahkan segala kepiluannya.

Tak salah Jesslyn langsung menelepon Orin untuk datang ke apartemennya begitu ia tiba di sini.

•••

Arai tidak bisa menemukan Jesslyn di mana pun bahkan setelah ia berkeliling selama satu jam. Entah ke mana perginya gadis itu.

Kepergian Jesslyn pun tak pelak menghadirkan rasa khawatir tersendiri baginya. Sebab, Jesslyn terakhir kali pergi bersamanya. Bisa-bisa Arai dituduh menculik Jesslyn kalau saja gadis itu menghilang dan tidak kunjung kembali.

Helaan napas panjang menguar dari mulut Arai. Mobilnya baru saja diparkirkan di basemen kantornya. Masih dengan kedua tangan yang menggenggam kemudi, Arai melirik ke sisi kiri dan menemukan tas milik Jesslyn yang tertinggal di mobilnya.

Entah bagaimana caranya ia menghubungi gadis itu. Mereka tidak saling mengenal, hanya sempat terlibat dalam beberapa kejadian yang sama secara kebetulan.

Arai akan memikirkannya nanti. Masih ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. Barangkali jalan terakhir yang bisa diambilnya adalah dengan mengandalkan sosok ibunya yang berprofesi sebagai rektor di kampus yang menjadi tempat kuliah Jesslyn. Data-data Jesslyn pasti tercantum di portal mahasiswa dan ia bisa membukanya atas izin dari sang ibu.

Katakanlah perbuatan itu ilegal, tetapi Arai tidak punya pilihan lain. Ia harus menemukan Jesslyn secepat mungkin dan memastikan jika gadis itu baik-baik saja.

Sisa-sisa hari ini, yang cucup melelahkan baginya, dihabiskan dengan bekerja meski pikirannya terus dibayang-bayangi oleh sosok Jesslyn yang terlihat jauh berbeda dengan sosok gadis yang sempat membuatnya ilfeel.

Begitu jam pulang tiba, Arai langsung membereskan mejanya, tak peduli dengan pekerjaannya yang masih belum rampung. Ia buru-buru mengambil dompet, ponsel, dan kunci mobilnya. Tak lupa pula pamit kepada rekan kerjanya yang lain yang menatapnya dengan pandangan heran karena Arai tidak pernah pulang tenggo. Ia terkenal dengan julukan Si Paling Gila Kerja alias workaholic.

Setibanya di parkiran, Arai langsung masuk ke dalam mobil, tetapi tidak segera melesatkan mobilnya ke jalan raya. Arai terlebih dahulu memeriksa tas Jesslyn yang sedari tadi tak disentuhnya sama sekali. Berharap jika di sana terdapat alamat rumah gadis itu atau paling tidak nomor ponselnya.

Sayangnya, harapan Arai memuai begitu saja saat tak menemukan apa pun di dalam tas Jesslyn selain buku hasil karyanya, satu buah pulpen, dan pouch makeup.

Arai mengembuskan napas panjang. Sepertinya ia memang harus menggunakan cara ilegal untuk menemukan keberadaan Jesslyn. Ia tidak bisa menunggu sampai besok. Yang ada pikirannya tidak tenang dan ia tidak akan bisa tidur semalaman ini.

Namun, rupanya Tuhan sedang berbaik hati padanya. Saat Arai sedang ingin menyeberang, netranya menangkap sosok Jesslyn yang baru saja memasuki restoran yang terletak di seberang gedung kantornya.

Arai memajukan kepalanya, menyipitkan kedua matanya untuk memastikan jika penglihatannya memang tidak salah. Lantas, ia memundurkan mobilnya, tidak jadi menyeberang dan berbelok untuk memarkirkan mobilnya di halaman depan kantor.

Arai tak ingin lagi kehilangan jejak Jesslyn dan buru-buru turun dari mobilnya. Langkahnya berjalan dengan cepat, sesekali berlari-lari kecil sambil berharap jika sosok yang dilihatnya adalah Jesslyn.

Kalau memang sosok itu adalah Jesslyn, maka saat ini menjadi pertemuan keempat mereka yang terjadi secara kebetulan lagi. Entah kenapa setelah pertemuan pertama mereka, keduanya jadi lebih sering bersinggungan. Tetapi pertemuan kali ini tidak disesali oleh Arai sama sekali sebab timing-nya sangat pas.

“Jesslyn?”

Arai langsung menyerukan nama Jesslyn begitu langkahnya tiba di belakang gadis itu. Yang dipanggil pun segera menoleh ke belakang dan betapa leganya Arai saat melihat dengan mata kepalanya sendiri jika sosok itu memanglah Jesslyn.

“Saya nyariin kamu dari tadi,” ucap Arai, menarik kursi kosong di sisi Jesslyn untuk didudukinya tanpa repot-repot meminta izin. “Kamu baik-baik aja?”

Jesslyn tidak langsung menanggapi. Kehadiran Arai malah membuatnya terkejut luar biasa, terlihat dari kedua matanya yang melotot, juga mulutnya yang menganga lebar, seakan-akan baru saja melihat sosok hantu yang menyeramkan.

“Siapanya kamu, Jess?”

Pertanyaan itu datang dari sosok pria di hadapan Jesslyn, pria yang mungkin seumuran dengan Arai. Keduanya lantas menoleh ke depan secara bersamaan.

Berbeda dengan Arai yang mengerutkan keningnya karena ia baru menyadari jika Jesslyn tidak sendirian, Jesslyn malah melebarkan pelototannya dan buru-buru menggoyangkan kedua tangannya di depan sosok pria tersebut.

“Bukan, Kak. Bukan siapa-siapanya aku, kok. Aku nggak kenal sama dia,” jawab Jesslyn dengan gelagapan.

Sementara jawaban Jesslyn mengundang Arai untuk kembali berpaling pada gadis itu. Dahinya makin membentuk kerutan dalam karena tiba-tiba saja Jesslyn berlagak tidak mengenalinya.

Jadi, ada berapa kepribadian yang Jesslyn miliki? Arai benar-benar tidak bisa menebak jalan pikiran gadis yang satu ini.

•••

Hayoo.. siapa tuh yang lagi sama Jesslyn? Ada yang bisa nebak?🤭

Ditunggu komen-komen gemesnya ya, guys! Luv you😘❤

Jangan lupa baca ketiga cerita kakak-kakaknya Jesslyn di akun lyanchan azizahazeha dan anothermissjo. Dijamin seruuuuu💜❤💜❤💜❤

27 April, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Innovel/Dreame: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top