Bab 7

Selama 21 tahun hidup, Jesslyn sudah pernah mengencani berbagai macam jenis laki-laki. Mulai dari bad boy, good boy, cupu, bahkan om-om pun pernah. Jesslyn terkenal pandai merayu kaum pria. Jadi, tidak heran jika ia menyandang gelar sebagai playgirl.

Kali ini, yang menjadi sasarannya adalah Arai. Pertemuan mereka kemarin malam sangat membekas baginya. Jesslyn percaya jika Arai tidak menyentuhnya sama sekali. Namun, hal itu malah membuatnya penasaran sekaligus beruntung.

Tentu saja Jesslyn merasa sangat beruntung. Kalau saja malam itu Jesslyn masuk ke kamar pria hidung belang dengan pakaian seminim itu, ditambah dirinya yang sedang mabuk, maka keperawananya pasti akan hilang detik itu juga. Membayangkannya saja mampu membuatnya bergidik.

Bahkan, saat mengecek cctv-nya saja Jesslyn dibuat cukup kagum dengan bagaimana cara Arai menyikapi orang asing sepertinya. Ia memang tidak tahu kenapa Arai lebih memilih membawanya masuk ke kamar hotel pria itu dibanding memanggil petugas hotel dan langsung menendangnya dari sana.

Ah, iya! Jangan tanyakan bagaimana Jesslyn bisa mendapatkan cctv tersebut tanpa perlu repot-repot datang ke lokasi. Sebab, pemilik hotel yang dikunjunginya kemarin malam adalah milik keluarga Reyhan.

Sejak kemarin, yang membuatnya paling heran adalah Arai yang sengaja membawanya masuk tanpa melakukan apa pun terhadap tubuhnya. Kalau tidak salah ingat, Arai berkata jika pria itu tidak tidur sama sekali dan membiarkan Jesslyn terlelap di atas ranjang yang seharusnya menjadi milik Arai.

Aneh, bukan?

Karena itulah Jesslyn ingin sekali bertemu kembali dengan Arai. Namun, saat Tuhan dengan baik hati mempertemukan mereka kembali, Jesslyn malah salah mengambil langkah. Bukannya tertarik padanya, Arai malah hendak membawa Jesslyn ke kantor polisi, tempat yang paling ditakutinya.

Arai benar-benar merealisasikan ancamannya. Mereka memang sudah pergi ke hotel untuk mengecek cctv. Dan memang benar Jesslyn hanya mengambil sepotong video saja, tidak secara keseluruhan.

Jesslyn merutuki dirinya sendiri. Langkah yang diambilnya tidak dipikir secara matang terlebih dahulu dan malah menjadi boomerang baginya.

Jesslyn benar-benar merasa bodoh dan ceroboh.

Mobil yang ditumpanginya sudah tiba di pekarangan kantor kepolisian. Dan Jesslyn bolak-balik menarik napas panjang untuk menetralkan jantungnya yang mulai berdetak kencang di dalam sana. Bahkan, ujung kausnya sudah menjadi sasaran genggamannya yang begitu erat.

Jesslyn terserang panik. Bukan karena Arai yang akan melaporkannya ke polisi, melainkan traumanya yang kembali hadir ke permukaan. Tubuhnya kini gemetar dengan pandangan kosong ke depan. Napasnya pun berubah jadi tidak beraturan.

Beberapa tahun silam, Jesslyn pernah punya pengalaman buruk yang menyangkut kantor polisi dan membuatnya berjanji untuk tidak menginjakkan kakinya di kantor polisi mana pun. Sialnya, ia malah berada di sini karena Arai benar-benar enggan menurunkannya meski ia sudah memaksa sedari tadi.

Apa yang terjadi pada Jesslyn tertangkap oleh kedua mata Arai. Ia sudah memarkirkan mobilnya dan bersiap untuk menyeret gadis itu keluar, tetapi niatnya langsung terurungkan begitu melihat Jesslyn hanya diam dengan tatapan lurus ke depan.

Tadinya Arai sempat berpikir jika Jesslyn sedang berakting agar ancamannya tidak jadi dilaksanakan, tetapi saat ia melihat gadis itu dengan saksama, ia malah mendapati tubuh Jesslyn gemetar hebat dengan kedua tangan yang mengepal di sisi tubuhnya. Bukan hanya itu saja, dahinya juga sudah dipenuhi keringat dan napasnya terdengar tersendat-sendat.

"Hey." Arai mencolek lengan Jesslyn. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak.

Jesslyn tersentak kaget. Ia mengerjap sebanyak dua kali sebelum memalingkan pandangannya pada Arai. Ekspresinya seakan menyiratkan rasa pilu yang mendalam.

Seketika Arai terenyuh. Jesslyn memang sedang tidak berakting. Gadis itu benar-benar sedang menahan rasa sakit yang seperti tengah merobek-robek hatinya. Terlihat jelas dari kedua matanya yang sayu dan berkaca-kaca.

"Maaf," lirih Jesslyn, yang setelahnya langsung melepas sabuk pengaman dan segera keluar dari dalam mobil Arai.

Pupil Arai membesar, kaget dengan kepergian Jesslyn yang tiba-tiba. Ia lantas buru-buru keluar, menyusul Jesslyn yang pergi dengan cara berlari kencang sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangannya.

"Jess!"

"Jesslyn!"

Arai tidak peduli jika kini ia menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Ia terus berlari sembari memanggil-manggil nama Jesslyn.

Kedua kakinya baru berhenti berlari begitu ia tiba di depan gerbang kantor polisi dan melihat Jesslyn yang sudah berjongkok masih dengan kedua tangannya yang berusaha menutupi telinganya, seolah-olah berusaha meredam suara-suara yang menelusup ke dalam sana.

"Hey." Arai ikut berjongkok, mengambil posisi di hadapan Jesslyn sambil berusaha menormalkan napasnya yang sedikit ngos-ngosan. "Jess? Kamu kenapa?" Ia mencoba menarik tangan Jesslyn.

Tak ada tanggapan apa pun dari Jesslyn, tetapi perlahan bahunya tampak bergetar dan Arai mendengar isakan kecil dari mulut gadis itu.

Apa Jesslyn tengah menangis?

Arai tidak bisa melihat wajah Jesslyn dengan jelas karena gadis itu menunduk dalam dan menggunakan rambutnya untuk menutupi wajahnya.

"Jess?"

Arai masih berusaha menarik perhatian Jesslyn. Bermacam upaya sudah dilakukannya, tetapi gadis itu tetap mempertahankan posisinya saat ini.

Pada akhirnya, Arai menyerah, tetapi bukan untuk meninggalkan Jesslyn, melainkan merangkul pundak gadis itu dan mendekapnya sembari mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

Pada saat itu pula dua orang petugas kepolisian menghampiri keduanya, menanyakan apa yang terjadi dengan mereka. Syukurlah Arai bisa menjelaskannya dengan mudah walau harus dibumbui oleh kebohongan dan membuatnya tidak diusir dari sini.

Tiga menit berlalu, tangisan Jesslyn mulai mereda. Arai pun menarik dirinya dari gadis itu saat Jesslyn perlahan mengangkat kepalanya.

"Saya mau pulang," ucap Jesslyn dengan suaranya yang bergetar dan isakan-isakan kecil yang masih tersisa dari tangisannya.

Arai menatap Jesslyn lamat-lamat, agak terkejut karena menemukan Jesslyn yang tampak begitu lemah dengan cucuran air mata yang membasahi wajahnya. Gadis itu sangat berbanding terbalik dengan Jesslyn yang ditemuinya beberapa saat yang lalu.

"Please, saya mau pulang." Jesslyn menarik tangan Arai, memohon pada pria itu dengan air mata yang masih belum berhenti berproduksi.

"Kamu tunggu di sini sebentar. Saya ambil mobil dulu," ucap Arai, menepuk pelan punggung tangan Jesslyn sebelum bangkit berdiri. "Jangan ke mana-mana."

Arai berjalan setengah berlari, bergegas mengambil mobilnya yang terparkir jauh di dalam kantor polisi. Perasaannya campur aduk dan ia merasa iba dengan Jesslyn. Entah apa yang terjadi pada gadis itu, yang jelas Arai merasa jika Jesslyn sedang tidak baik-baik saja. Ia juga sempat berpikiran jika gadis itu memiliki rasa trauma tersendiri akan kantor polisi.

Begitu tiba di mobilnya, Arai langsung menyalakan mesin mobilnya tanpa repot-repot memasang sabuk pengaman. Segera tancap gas untuk menghampiri Jesslyn yang menunggunya di depan.

Namun, keberadaan Jesslyn sudah tidak lagi ditemukan di sana. Seketika Arai kalang kabut dan memarkirkan mobilnya sembarangan. Ia langsung berlari menuju pos jaga untuk bertanya tentang Jesslyn.

"Perempuan yang sama Mas tadi udah pergi naik taksi, Mas."

Itulah jawaban yang Arai dapat. Ia kehilangan Jesslyn. Dan entah atas dasar apa, perasaan bersalahnya hadir begitu saja.

•••

Roda itu berputar ya, guys. Tadinya Jesslyn yang ngejar Arai, sekarang gantian wkwk

Hayuk atuh komen yang banyak biar cerita ini gak sepi-sepi amat🥲

Ketemu lagi besok?

Jangan lupa baca ketiga cerita kakak-kakaknya Jesslyn di akun lyanchan azizahazeha dan anothermissjo. Dijamin seruuuuu💜❤💜❤💜❤

24 April, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Innovel/Dreame: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top