Bab 35
Alarm tanda bahaya bergaung dalam kepala Jesslyn. Kakinya menapak erat pada lantai, menjaga agar tubuhnya tetap seimbang meski lututnya mulai terasa bergetar. Sebisa mungkin mengatur air mukanya agar tetap tampak tenang. Dalam keadaan seperti ini, Jesslyn tidak boleh panik.
Masih dengan seringaiannya, Sani menarik punggungnya dari daun pintu sebelum berbalik menghadap ke arah Jesslyn. Kedua tangannya berada di dalam saku celana seiring dengan kakinya yang mulai mengambil langkah ke depan, perlahan dan penuh intimidasi.
Untuk sesaat Jesslyn menahan napasnya. Sekali lagi mensugesti dirinya untuk tetap tenang. Syukurlah dalam keadaan genting seperti ini otaknya masih bisa dipergunakan dengan baik. Beruntung pula ponselnya kini masih berada dalam genggaman tangannya sehingga ia bisa langsung melakukan panggilan darurat.
Sebelum Sani benar-benar tiba tepat di depannya, Jesslyn menggunakan kesempatan itu untuk mengirim sinyal SOS ke kontak darurat yang ada di ponselnya. Entah itu akan berhasil atau tidak, yang penting ia sudah berusaha.
"Kamu mau apa?" Jesslyn sempat berdeham sebelum melontarkan pertanyaan tersebut, dan syukurlah ia bisa mengucapkannya dengan jelas.
Sani kini sudah berdiri tepat di depannya. Gadis itu mendengkus sinis usai mendengar pertanyaan Jesslyn yang terdengar penuh basa-basi. "Nggak perlu aku jawab, kan? Kamu juga udah tahu jawabannya."
Kendati jantungnya di dalam sana sudah bergemuruh kuat, Jesslyn tetap berakting seolah-olah ia tak terusik ataupun merasa takut dengan kehadiran Sani. Ekspresinya tampak normal dengan dagu yang sedikit diangkat.
Sani mencondongkan wajahnya ke depan, membuat jarak di antara mereka begitu tipis. "Jadi, mau bayar kesalahan kamu ke Sina pake apa, Jess?" tanyanya kemudian.
Jesslyn kembali menahan napasnya hingga membuat perutnya mengempis. Ia juga memilih untuk menghindari kontak mata dengan Sani. Di detik ini, pertahanannya untuk tetap tenang mulai surut perlahan. Genggamannya di ponselnya pun kembali mengerat.
Sani tertawa sinis sembari menarik kembali wajahnya menjauh dari Jesslyn, tetapi tetap pada posisi sebelumnya.
Hal itu tak ayal membuat Jesslyn akhirnya bisa kembali menghirup napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya yang hampir tak berfungsi. Dan ia sudah benar-benar tak lagi bisa mengontrol ketakutan yang ada dalam dirinya. Otot-otot wajahnya tampak tegang dengan bibir yang mengering dan pucat.
Plak!
Jesslyn tersentak dan nyaris kehilangan keseimbangannya setelah menerima satu tamparan kuat di satu sisi wajahnya dari Sani.
"Apa itu cukup?" tanya Sani, setelah Jesslyn bisa kembali berdiri dengan tegak.
Napas Jesslyn mulai tak beraturan. Satu tangannya memegang bekas tamparan Sani yang terasa panas dan menyengat kulitnya. Pupilnya membesar, mulai merasa panik.
"Nggak cukup, ya?" Sani kembali menyuarakan pertanyaan lainnya. Yang satu ini diucapkan dengan nada mencemooh dan senyum remeh yang tak kunjung hilang dari bibirnya.
Jesslyn membeku di tempatnya. Ia sangat ingin kabur saat ini juga, tetapi kedua kakinya tak bisa digerakkan sama sekali. Ia seakan tak memiliki kekuatan apa pun lagi yang bisa membawanya pergi dari sini. Bahkan, otaknya pun mulai ikut berhenti bekerja. Seluruh tubuhnya diambil alih oleh rasa takut.
Sani mundur selangkah, membuat Jesslyn merasakan sedikit kelegaan karena ia pikir Sani tidak akan lagi menyerangnya secara fisik. Namun, dugaannya salah, sedetik kemudian, Jesslyn malah menerima tendangan yang cukup kuat di perutnya hingga membuatnya tersungkur ke lantai.
"Uhuk ... uhuk." Jesslyn terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya yang terasa begitu nyeri. Untuk sesaat ia sempat kesusahan bernapas.
Dengan langkah ringan Sani berjalan menghampiri Jesslyn, lalu berjongkok di depannya dengan bibir yang mengukir senyum lebar, merasa senang melihat Jesslyn yang terlihat kesakitan.
"Masih kurang, Jess?"
Jesslyn meringis pelan, mencoba menahan rasa sakit yang bercokol di perutnya sembari mengangkat kepalanya untuk menatap Sani. Kedua matanya tampak bergetar dan basah, menandakan kegentarannya yang tak lagi bisa disembunyikan.
"Ma-maaf." Suaranya hanya berupa bisikan halus saat Jesslyn mencoba buka suara. Air mata perlahan mulai jatuh satu per satu membasahi wajahnya.
Sani memutar kedua bola matanya sembari mendengkus sinis, merasa muak dengan permintaan maaf Jesslyn yang ia yakini hanya berupa omong kosong.
"Gue udah nggak butuh permintaan maaf lo, Jess. Gue cuma pengin lo bayar semua perbuatan buruk lo ke Sina di masa lalu," cetus Sani, penuh penekanan dan terlihat berapi-api.
Jesslyn menggigit bibirnya kuat-kuat. Mulutnya seolah membisu hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Tenggorokannya juga seperti disumbat oleh sesuatu yang padat. Hanya air mata yang kini mengalir kian deras.
Jesslyn mengakui segala kesalahannya. Ia merasa sangat amat menyesal dengan apa yang pernah dilakukannya terhadap Sina. Ia tak berhak untuk membela diri. Ia memang pantas diperlakukan seperti ini oleh Sani untuk menebus segala dosanya di masa lalu.
"Maaf." Sekali lagi Jesslyn mengucap kata maaf meski yang terdengar dari mulutnya hanya sebuah lirihan tak berdaya. Dan isakannya perlahan mulai terdengar, tersendat-sendat bersamaan dengan napasnya yang makin dangkal.
"CUKUP!" Teriakan Sani menggema kuat, benar-benar muak dengan permintaan maaf Jesslyn.
Teriakan itu secara refleks membuat kedua mata Jesslyn tertutup rapat. Namun, hal itu hanya terjadi sekian detik saja sebelum matanya membelalak lebar saat ia merasakam cekikan di lehernya.
"Lo juga harus mati, Jess!" jerit Sani seraya mencekik leher Jesslyn dengan kuat. Wajahnya memerah dengan manik yang menggelap. Terlihat jelas jika dirinya sudah diliputi amarah dan dendam yang membutakan akal sehatnya.
Mulut Jesslyn terbuka seiring dengan kedua tangannya yang hinggap di lengan Sani, mencoba menariknya dari lehernya walaupun berakhir dengan kesia-siaan karena Jesslyn sudah kehilangan tenaganya sejak Sani menendang perutnya.
Tak banyak yang bisa Jesslyn lakukan. Ia hanya pasrah pada keadaan. Tubuhnya mulai terasa lemas. Jesslyn tak lagi bisa menghirup oksigen. Kepalanya pusing dan pandangannya mulai menggelap.
Jesslyn benar-benar pasrah, dan ia sudah hampir kehilangan kesadarannya. Namun, telinganya masih dapat mendengar suara segerombolan orang yang sedang berlari mendekatinya. Disusul oleh beberapa teriakan dari seseorang yang cukup familier sebelum akhirnya kegelapan merenggut kesadarannya sepenuhnya.
•••
Suara yang cukup berisik di sekitarnya berhasil menarik Jesslyn dari alam bawah sadarnya. Kedua matanya mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya sebelum membuka lebar matanya.
Pupilnya bergerak ke kanan dan kiri beberapa kali, mencoba mengenali tempatnya berada saat ini sebelum berlabuh pada punggung tegap seseorang yang tak jauh darinya, yang kini tengah berdiri membelakanginya seraya berbicara dengan seseorang di seberang telepon.
Tercium bau obat-obatan dan bahan kimia yang refleks membuat hidungnya mengerut. Jesslyn kini mulai menyadari jika ia sedang berada di rumah sakit. Dan kepalanya mulai berusaha mengais memori yang masih tertinggal di alam bawah sadarnya. Jesslyn perlu mengingat apa yang terjadi padanya sebelum ia berakhir di tempat ini.
“Hey! Are you good?”
Satu suara bernada lembut itu menginterupsi Jesslyn. Segera maniknya beralih ke sumber suara dan mendapati Arai yang terang-terangan menatapnya dengan penuh kecemasan.
Belum sempat Jesslyn menjawab pertanyaan Arai, pria itu sudah lebih dulu beranjak dari sisinya. Tak lama. Hanya beberapa menit saja sebelum ia kembali menemukan Arai menghampirinya bersama seorang perawat.
Jesslyn diperiksa sedemikian rupa. Ia hanya diam dan menurut. Sesekali menjawab jika sang perawat melontarkan pertanyaan untuknya. Proses pemeriksaan tersebut Jesslyn lalui sambil mengingat-ingat kejadian yang ia alami sebelum ini. Dan otaknya mulai bisa mengingat adegan demi adegan secara detail.
Setelah perawat selesai memeriksanya, perlahan Jesslyn mencoba mengubah posisinya menjadi duduk. Arai yang menyadari hal itu segera meletakkan bantal di depan headboard sebelum membantu Jesslyn dengan cara memegang kedua bahunya.
“Dia sekarang di mana?” Jesslyn tak perlu menyebut namanya. Ia yakin Arai tahu siapa sosok yang dimaksudnya.
Arai menarik kursi kosong, mengambil duduk tepat di sisi Jesslyn. “Kamu jangan mikirin itu dulu. Dokter bilang kamu perlu banyak istirahat, dan jangan banyak pikiran.” Ia mengambil tangan Jesslyn di akhir kalimat, membawanya ke dalam genggamannya.
Jesslyn menarik napas panjang. Netranya mengarah lekat ke Arai yang sedari tadi tak henti menatapnya dengan pandangan sendu. “Biarkan aku yang menyelesaikan masalah ini dengan caraku sendiri.”
“Jess ... untuk kali ini aja, tolong turuti perkataanku. Bisa, kan?” Sama seperti Jesslyn, Arai pun menatap Jesslyn dengan intens.
“Ta—”
“Jess, aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kamu mengalami kejadian seperti itu lagi.” Arai memotong langsung ucapan Jesslyn, tak memberi ruang pada gadis itu untuk kembali membantahnya. “Jadi, biarkan aku yang mengurus semua kekacauan ini. Serahkan semuanya ke aku,” lanjutnya sembari meremas pelan tangan Jesslyn yang masih berada dalam genggamannya.
Sesaat Jesslyn hanya diam dengan mata yang tak lepas dari Arai. Ia terlihat sedang menimbang-nimbang sesuatu di dalam benaknya. Namun, jawaban akhir yang Jesslyn berikan adalah menyetujui perkataan Arai.
Jesslyn menganggukkan kepalanya, menerima fakta bahwa ia mungkin memang tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri. Ia hampir mati di tangan Sani, dan kejadian itu semakin menimbulkan ketakutan yang luar biasa dalam dirinya.
Rasanya sudah cukup Jesslyn berurusan langsung dengan sosok seperti Sani. Ia tak ingin lagi mengambil risiko walau ia masih terus menganggap jika hal itu adalah bentuk dari karma yang sudah seharusnya ia terima.
Jesslyn takut.
Sangat amat takut.
•••
Besok kita ketemu lagi ya, man-teman. Jangan lupa tinggalkan vote dan komen yang buanyaaakk oghey. Luv luv❤🌻
31 Mei, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Innovel/Dreame: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top